Liputan6.com, Vladivostok - Rusia dan China menggelar latihan gabungan dekat dengan Korea Utara. Latihan itu berlangsung pada pekan yang sama ketika Presiden Amerika Serikat Donald Trump mengumbar keinginannya untuk menghancurkan Korut saat berpidato di Sidang Majelis Umum PBB di New York.
Latihan militer itu dilaksanakan di Vladivostok, Rusia --sekitar 160 km dari Korea Utara-- yang dimulai pada 18 September 2017 dan berlangsung selama delapan hari. Demikian seperti dilansir Los Angeles Times, Jumat (21/9/2017).
Baca Juga
Advertisement
Komposisi peserta yang ambil bagian dalam latihan tersebut adalah angkatan darat dan laut dari kedua negara. Serdadu akan melaksanakan latihan tempur di Vladivostok. Sementara armada laut akan melakukan simulasi peperangan maritim di lepas pantai kota yang terletak di Timur Jauh Rusia tersebut.
Meski latihan antara Rusia dan China merupakan sebuah kegiatan tahunan rutin, pemilihan waktu penyelenggaraan edisi tahun ini dinilai mengandung pesan politik yang signifikan, ujar LA Times. Sebab, simulasi tempur itu berlangsung pada pekan yang sama saat Sidang Majelis Umum PBB di New York tengah terlaksana.
Sidang Majelis Umum PBB menjadi ajang pertemuan dan dialog tahunan para pemimpin eksekutif dunia setingkat presiden (atau yang ekuivalen) untuk membahas sejumlah isu internasional yang signifikan. Termasuk salah satunya, isu rudal dan hulu ledak nuklir Korea Utara.
Retorika Trump Soal Korut di Sidang Majelis Umum PBB
Isu soal rudal dan hulu ledak nuklir Korea Utara sangat digaungkan oleh Presiden Trump, melalui pidatonya di hadapan seluruh delegasi negara partisipan sidang.
"Sekarang program senjata nuklir dan rudal Korut mengancam seluruh dunia," ujar Trump. Ia juga menyebut soal rencana untuk "memusnahkan Korut sehancur-hancurnya".
Ia juga menjelaskan bahwa, "Sudah saatnya Korut menyadari bahwa denuklirisasi adalah satu-satunya masa depan yang bisa diterima. DK PBB belum lama ini mengadakan pemungutan dan dengan suara bulat 15-0 mengadopsi resolusi keras terhadap Korut, dan saya ingin berterima kasih kepada China dan Rusia karena telah mendukung dijatuhkannya sanksi. Tapi kita harus melakukan lebih banyak hal lagi."
Merespons pidato itu, Presiden Rusia Vladimir Putin --yang tak hadir ke New York-- justru lebih memilih upaya penyelesaian isu Korut melalui jalur diplomasi, ketimbang retorika ancaman dan sanksi seperti yang diumbar oleh Trump.
Sementara itu, seperti dikutip dari The Star, sebagai bentuk respons atas retorika Trump, China memiliki nada serupa dengan Rusia dalam menanggapi isu Pyongyang.
"Trump mengancam Korut dengan kehancuran total, sementara China memilih untuk penyelesaian secara damai," jelas editorial salah satu harian Tiongkok, People's Daily.
The Star juga menulis bahwa juru bicara Kementerian Luar Negeri China, Lu Kang, turut memiliki aspirasi yang serupa.
Saksikan video pilihan berikut ini:
Advertisement