Liputan6.com, Purwokerto - Tubuh kurus Muhammad Dian (10) tergolek lemah di kamarnya yang temaram. Kamar itu, boleh jadi satu-satunya tempat yang dia kenal, selain tumpukan sampah di sekitar rumahnya di RT 01 RW 05, Kelurahan Mersi, Kecamatan Purwokerto Utara, Banyumas, Jawa Tengah.
Sejak kecil, Dian memang lumpuh. Ibunya, Yanti (42) tak paham penyebabnya. Hanya saja, ketika berumur sekitar 2 tahun, Dian, mengalami demam tinggi. Setelah itu, Dian benar-benar lumpuh, sampai saat ini.
Ayahnya, Sunarko, paham betul dengan tabiat anak satu-satunya itu. Pria berumur 60-an tahun itu lah yang menjaga Dian kala ibunya bekerja paruh waktu mencuci baju di rumah-rumah tetangganya.
Baca Juga
Advertisement
Sunarko harus bolak-balik halaman rumah dan kamar anaknya untuk memastikan, Dian tak bangun dan menangis. Itu sebabnya pula, ia pun tak tega, jika meninggalkan Dian di rumahnya sendirian.
"Tadinya saya tidak tahu kenapa anak saya ini sering menangis kalau saya pergi. Tetapi, ternyata dia ingin ikut saya memulung," kata Sunarko, Rabu, 20 September 2017.
Kesehariannya, Sunarko dipercaya untuk memulung sampah di sebuah Gedung Bioskop Purwokerto. Jarak dari rumahnya sekitar 5 kilometer. Pertama kali ikut, Dian ternyata sangat suka dengan banner dan poster film di bioskop. Dian pun suka dengan suara klakson mobil, serta keriuhan anak-anak di Alun-Alun Kota.
"Saya lalu nekat membuat becak sampah agar bisa ditumpangi anak saya. Biar dia bisa ikut saya ke mana-mana," tutur Sunarko.
Sejak saat itu lah, Sunarko mengajak anaknya, hampir tiap sore untuk memungut sampah di bioskop dan sejumlah tempat langganan. Itu dilakukannya dua tahun terakhir ini.
Menurut Sunarko, sejak diajak memulung, Dian suka menggumamkan apa yang dilihatnya hari itu. Kadangkala, Dian memimpikan apa yang disaksikannya. Itu lah hal yang menggembirakan bagi Sunarko dan istri. Dian jadi lebih aktif sejak sering diajak berjalan-jalan menggunakan becak sampahnya.
"Sekarang jadi sering bergumam. Anuk, berarti manuk (burung-red). Saya senang sekali," ujar Sunarko.
Dia mengaku sudah memeriksakan Dian ke klinik hingga ke rumah sakit. Namun, itu hanya bisa dilakukan beberapa kali. Keluarga itu terbentur biaya untuk mengobati Dian.
Ironisnya, keluarga kecil ini juga bukan penerima program sosial pemerintah, seperti BPJS maupun PKH. Pasalnya, Sunarko dan Yanti belum resmi tercatat sebagai suami istri. Hal ini karena keterbatasan dana sehingga mereka tak sanggup mengurus akta cerai dari istri dan suaminya terdahulu.
"Saya ini buta huruf. Tidak tahu apa-apa. Saya hanya kasihan dengan Yanti dan Dian. Saya ingin mengurus mereka," ujar Sunarko dengan terbata-bata menahan tangis.
Sekarang, pengobatan alternatif lah yang diandalkan Sunarko demi kesembuhan Dian. "Saya juga rutin mengoleskan minyak goreng hangat sambil dipijat-pijat ruas jarinya. Tulang-tulangnya. Ini kan kaku. Harapan saya agar bisa cepat pulih," ujar dia.
Dukungan Pihak Pemerintah Daerah untuk Keluarga Sunarko
Sekretaris Kelurahan Mersi, Solikhin membenarkan keluarga Sunarko tak menerima program perlindungan sosial. Sebab, keluarga ini tak memiliki kartu keluarga, surat nikah, bahkan tak memiliki KTP Mersi.
Namun, dia mengklaim pihak kelurahan tengah mengupayakan pemindahan Yanti menjadi warga Mersi dari KTP aslinya di Purbalingga. Pemindahan itu dilakukan agar keluarga ini bisa menerima berbagai program yang dijalankan pemerintah.
"Kalau Sunarko itu malah tidak memiliki KTP. Kami sedang berkoordinasi dengan Kelurahan Berkoh, tempat Sunarko berasal," ucap Solkihin.
Solikhin berujar, keberadaan keluarga Sunarko pun sudah dilaporkan ke Bupati Banyumas, Achmad Husein, dan ditembuskan ke Dinas Kesehatan Kabupaten Banyumas. Sementara, kelurahan juga membantu dengan memenuhi prasyarat penerimaan jaminan perlindungan sosial dengan melengkapi dokumen kependudukan.
"Sementara ini kita hanya bisa membantu sebatas itu. Kalau nanti sudah lengkap, Insyaallah akan menerima bantuan. Akan kami usulkan segera," Solikhin menandaskan.
Advertisement