ATVSI: Penerapan Single Mux Tak Sesuai Demokratisasi Penyiaran

Menurut Ketua ATVSI Ishadi SK, penerapan single mux berpotensi menciptakan praktik monopoli.

oleh Agustinus Mario Damar diperbarui 25 Sep 2017, 16:45 WIB
Ketua ATVSI Ishadi S. K. (tengah) menunjukan Naskah Akademik dan RUU Penyiaran Usulan ATVSI saat World Press Freedom Day di JCC (4/5). Dalam keteranganya ATVSI menanggapi revisi UU No.32 Tahun 2002. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta - Pembahasan Rancangan Undang-Undang Penyiaran saat ini telah memasuki tahap harmonisasi, pembulatan, dan pemantapan antara Badan Legislasi (Baleg) dengan Komisi I DPR RI.

Apabila terjadi kesepakatan, Baleg akan menyerahkan draf RUU ke Komisi I DPR yang selanjutnya akan membawa draf tersebut ke Sidang Paripurna DPR sebelum sah menjadi RUU Penyiaran Inisiatif DPR.

Meski proses tersebut sedang berjalan, konsep RUU Penyiaran tersebut dinilai masih jauh dari harapan. Alasannya, masih ada sejumlah poin yang secara substansi belum menemukan titik temu, terutama untuk menciptakan industri penyiaran yang sehat.

Salah satu yang menjadi perhatian adalah mengenai model bisnis migrasi sistem penyiaran televisi terrestrial penerimaan tetap tidak berbayar (TV FTA) analog menjadi digital.

Dalam hal ini, Komisi I tak bersedia untuk mengubah konsep single mux operator dan penetapan Lembaga Penyiaran Publik Radio Televisi Republik Indonesia (LPP RTRI) sebagai satu-satunya penyelenggara penyiaran multipleksing digital.

Menurut Ketua Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI) Ishadi SK, penerapan konsep single mux berpotensi menciptakan praktik monopoli dan bertentangan dengan demokratisasi penyiaran. Sekadar informasi, konsep tersebut menetapkan frekuensi siaran dan infrastruktur dikuasai oleh single mux operator dalam hal ini LPP RTRI.

"Kami tegas menolak konsep single mux tersebut. Bisa dilihat konsep yang sarat dengan praktik monopoli itu jelas-jelas bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, sekalipun hal itu dilakukan lembaga milik pemerintah," ujarnya melalui keterangan resmi, Senin (25/9/2017) di Jakarta.

Ia mengatakan, konsep single mux bukan menjadi solusi dalam migrasi TV analog ke digital. Penetapan single mux akan berdampak pada LPS yang saat ini sudah ada akan menghadapi ketidakpastian karena frekuensi sebagai roh penyiaran sekaligus jaminan kegiatan penyiaran dikelola satu pihak saja.

Juga akan terjadi pemborosan investasi infrastruktur yang sudah dibangun. Akibat lain adalah terjadinya pemutusan hubungan kerja karyawan stasiun televisi yang selama ini mengelola infrastruktur transmisi.

"Solusinya adalah memajukan penyiaran multipleksing yang dilaksanakan oleh LPP dan LPS atau yang dikenal sebagai model hybrid. Model ini merupakan solusi dan bentuk nyata demokratisasi penyiaran yang merupakan antitesa dari praktik monopoli (single mux)," ujarnya.

Ishadi mencontohkan, konsep single mux operator hanya diterapkan oleh dua negara anggota International Telecommunication Union (ITU), yakni Jerman dan Malaysia.

Akan tetapi, di kedua negara itu, pangsa pasar TV FTA hanya 10 persen dan 30 persen, sedangkan sisanya didominasi oleh TV kabel dan DTH.

"Berbeda di Indonesia yang memiliki pangsa pasar TV FTA 90 persen dan sisanya adalah TV kabel," tuturnya.

Namun, konsep itu tak berjalan mulus dan bermasalah sejak diluncurkan. Tingkat layanannya rendah dan harga tak kompetitif sehingga stasiun televisi termasuk milik pemerintah tak mau membayar biaya sewa kanal, sehingga tak sehat bagi industri penyiaran.

(Dam/Isk)

Simak Video Pilihan Berikut Ini: 

 

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya