Liputan6.com, Jakarta - Ketua Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI) Ishadi SK menolak penerapan metode single mux yang tengah disiapkan dalam Rancangan Undang-Undang Penyiaran. Ia beralasan, penerapan metode itu berpotensi menciptakan praktik monopoli dan bertentangan dengan demokratisasi penyiaran.
Dalam konsep itu frekuensi siaran dan infrastruktur akan dikuasai oleh operator tunggal, yakni Lembaga Penyiaran Publik Radio Televisi Republik Indonesia (LPP RTRI). Penetapan itu berpotensi disalahgunakan untuk membatasi pasar industri penyiaran.
Terkait polemik itu, pengamat komunikasi politik Universitas Pelita Harapan, Emrus Sihombing menuturkan untuk menjamin kebebasan berpendapat sejatinya negara memberikan otonomi pada lembaga penyiaran. Otonomi itu termasuk frekuensi dan infrastruktur yang masuk dalam proses produksi program acara.
Lebih lanjut ia menuturkan, pandangan bahwa pengelolaan frekuensi dan infrastruktur secara sentralistik atau tunggal membuat lembaga penyiaran termarjinalisasi. Skema itu tentu berpotensi menimbulkan praktik monopoli yang mendorong terciptanya persaingan usaha kurang sehat.
Baca Juga
Advertisement
"Bisa terjadi dominasi operator terhadap lembaga penyiaran, sebab operator menguasai frekuensi dan infrastruktur yang membatasi gerak langkah lembaga penyiaran memproduksi program acara yang secepat mungkin disampaikan pada publik dan bermutu," tuturnya dalam keterangan resmi, Senin (25/9/2017).
Senada dengan Emrus, Direktur Eksekutif Lembaga Pengembangan Pemberdayaan Masyarakat Informasi Indonesia (LPPMII) Kamilov Sagala mengatakan penetapan LPP RTRI menjadi penyelenggara tunggal penyiaran multipleksing digital atau dikenal sebagai single mux, bertentangan dengan semangat demokrasi, yakni terkait larangan praktik monopoli dan persaingan usaha tak sehat.
Ia juga menilai, isi RUU Penyiaran 2017 tak sejalan dengan pasal-pasal dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Salah satunya adalah pasal 2 yang berbunyi,"Pelaku usaha di Indonesia dalam menjalankan kegiatan usahanya berasaskan demokrasi ekonomi dengan memperhatikan keseimbangan antara kepentingan pelaku usaha dan kepentingan umum".
"Melihat isi pasal yang tersebut, apabila dihubungkan dengan RUU Penyiaran yang akan menetapkan LPP RTRI sebagai multiplekser tunggal tentu sudah tidak sesusai dengan UU Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat," ujarnya.
Menurutnya, Komisi I tidak memperhatikan betul keseimbangan antara kepentingan pelaku usaha dengan kepentingan umum. Penetapan multiplekser tunggal juga akan berakibat pada menurunnya iklim usaha yang kondusif termasuk jaminan kepastian dan tidak ada kesempatan berusahaan karena sudah terjadi monopoli oleh LPP RTRI.
Ia juga menuturkan, Komisi I seharsunya menjadi pihak yang menjamin tumbuhnya iklim kompetisi sehat dalam industri penyiaran. Akan tetapi, Komisi I malah menjadi pihak yang merusak iklim kompetisi. Sebab, hanya mendengar masukan pihak yang tak mengerti proses penyelenggaran TV FTA di Indonesia.
Sekadar informasi, pembahasan Rancangan Undang-Undang Penyiaran saat ini telah memasuki tahap harmonisasi, pembulatan, dan pemantapan antara Badan Legislasi (Baleg) dengan Komisi I DPR RI. Apabila terjadi kesepakatan, Baleg akan menyerahkan draf RUU ke Komisi I DPR yang selanjutnya akan membawa draf tersebut ke Sidang Paripurna DPR sebelum sah menjadi RUU Penyiaran Inisiatif DPR.
(Dam/Cas)
Saksikan Video Pilihan Berikut Ini: