Liputan6.com, Jakarta Bank Indonesia (BI) menerbitkan peraturan Gerbang Pembayaran Nasional/National Payment Gateway (GPN) pada 20 September 2017. Salah satunya adalah mengatur biaya isi ulang uang elektronik antarbank dan pihak ketiga sebesar Rp 1.500. Skema harga ini mulai efektif berlaku 20 Oktober 2017.
Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan, Suahasil Nazara mengungkapkan, aturan BI menetapkan batas atas biaya isi ulang uang elektronik sebesar Rp 1.500 supaya menarik perbankan berinvestasi dalam pengembangan sistem uang elektronik.
Baca Juga
Advertisement
Hal ini menyusul era cashless society dan transaksi nontunai 100 persen di jalan tol mulai Oktober 2018.
"Biaya (isi ulang) dibutuhkan perbankan supaya bank mau menciptakan sistem untuk top up dan kerja sama antarbank yang lebih efisien. Untuk buat nontunai lebih bisa diterima, bank perlu investasi, tentunya lewat fee itu," katanya di Jakarta, seperti ditulis Selasa (26/9/2017).
Suahasil berharap, aturan biaya isi ulang paling mahal Rp 1.500 dapat diterima masyarakat dan meningkatkan penetrasi penggunaan transaksi nontunai melalui uang elektronik.
"Biaya isi ulang jangan sampai memberatkan masyarakat, jadi semoga (Rp 1.500) paslah. Bisa meningkatkan penggunaan transaksi nontunai, karena semakin banyak nontunai, semakin baik," jelasnya.
Efek Suku Bunga Acuan Turun
Di sisi lain, BI sudah menurunkan suku bunga acuan 7-Days Reverse Repo Rate dari 4,5 persen menjadi 4,25 persen baru-baru ini. Kebijakan tersebut tidak serta merta langsung menurunkan tingkat bunga kredit, sehingga berdampak terhadap konsumsi dan investasi.
"Secara umum, kalau BI melonggarkan moneter, diharapkan diikuti suku bunga perbankan. Kalau suku bunga perbankan turun, investasi akan naik, tapi bunga ini tidak hanya diambil sama yang mau investasi, juga konsumsi," ujarnya.
Sayangnya di Indonesia, kata Suahasil, butuh waktu agar tingkat bunga kredit terseret ke bawah seiring penurunan suku bunga acuan BI. Itu karena penurunan 7-Days Reverse Repo Rate mempertimbangkan kondisi fundamental ekonomi Indonesia, di antaranya tingkat inflasi yang rendah.
"Secara umum, bunga turun akan ada efek ke kredit konsumsi dan kredit investasi. Tapi di Indonesia, itu butuh waktu. Karena biasanya kalau pinjman di bank, sudah teken akad kredit, jadi tidak bisa langsung seminggu berubah karena ada kontraknya. Kita akan lihat, tapi penurunan suku bunga jadi suatu sinyal positif untuk perekonomian," jelas Suahasil.
Advertisement