Liputan6.com, Cilacap - Tiga petani menggali lubang secara bergantian, di depan keranda mayat yang tergeletak. Sementara, di belakang mereka, ratusan petani lainnya duduk dengan takzim. Menunggu prosesi penguburan jenazah itu.
Lantas, mayat dikeluarkan dari keranda oleh empat petani lainnya. Suasana begitu hening, layaknya pemakaman pada umumnya. Mayat itu kemudian ditanam di lokasi tanah uruk calon gedung Puskesmas Bantarsari. Di nisannya tertulis pesan singkat ‘MONUMEN MATINYA KEADILAN UNTUK PETANI’.
Senin, 25 September 2017 ini, sedikitnya 200 petani Desa Bantarsari, Kecamatan Bantarsari Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah kembali berdemonstrasi menuntut kompensasi yang layak atas tanah garapan warga yang diuruk untuk perluasan Puskesmas Bantarsari, di tanah seluas 80 ubin atau setara 1.125 meter persegi.
Dalam aksi itu, mereka membawa keranda berisi sesosok mayat yang terbuat dari jerami yang terbungkus kain mori. "Aksi penguburan mayat sebagai simbol bahwa keadilan untuk petani sudah mati," tutur Koordinator Aksi, Rajiman.
Pekan lalu, petani juga menggelar demonstrasi menolak pengurukan. Alasannya, kompensasi yang diberikan tak layak. Petani meminta pengembang memberikan kompensasi seusai dengan yang dituntut warga, yakni Rp 200 ribu per ubin. Adapun pengembang, hanya bersedia memberi ganti rugi sebesar Rp 100 ribu per ubin.
Baca Juga
Advertisement
Dalam pernyataan sikapnya, Rajiman menegaskan bahwa petani menutut agar pemerintah tak asal main gusur tanpa kompensasi memadai, tidak mengkriminalisasi petani dan meminta Bupati Cilacap menyelesaikan sengketa tanah yang terjadi.
"Menolak upaya-upaya penggusuran paksa lahan petani tanpa ganti rugi atau kompensasi yang layak untuk hajat petani. Kedua, menolak semua bentuk ancaman, intimidasi, kriminalisasi dan bentuk bentuk kekerasan lainnya kepada petani dalam upaya mempertahankan hak-haknya. Mendesak Bupati Cilacap segera menyelesaikan permohonan tanah menjadi milik, sesuai kesepakatan tanggal 7 Desember tahun 2000," kata Rajiman, Tegas.
Menurut Rajiman, tanah 80 ubin tersebut dimiliki oleh lima petani, yakni Nisem, Siti Purwaningsih, Surip, Wasirah, dan Suliyo. "Tanah ini didapat dari warisan orang tuanya. Orang tua mereka lah yang membuka dan mengelola tanah ini sehingga bisa produktif. Tapi sekarang semua diambil tanpa kompensasi yang memadai," dia menjelaskan.
Dia mengungkapkan, aksi teatrikal tiu adalah ungkapan kekecewaan warga yang menilai Pemda Cilacap tak berempati terhadap penderitaan petani penggarap. Dia mengaku tak mempermasalahkan nilainya. Namun, menurut dia, harus ada penghargaan terhadap petani yang telah membuka lahan dan merawat tanah itu sejak tahun 1960-an.
Saksikan video pilihan berikut ini!
Kangkung Terakhir dari Lahan yang Tergusur
Dia pun khawatir, kasus yang terjadi sekarang bakal menimpa ratusan hektare tanah petani penggarap lainnya di Bantarsari. Itu sebabnya, ratusan petani, yang merupakan anggota Peguyuban Tani Sri Rejeki (PTSR) meminta agar Pemda bersikap adil dan menyelesaikan status tanah yang kini masih menggantung atau tanpa pemilik.
Usai berorasi dan menggelar teatrikal di lahan puskesmas, ratusan petani itu berkonvoi menuju Kantor Kecamatan Bantarsari. Petani diterima oleh Camat Bantarsari, Kapolsek dan Komandan Koramil Bantarsari untuk bernegosiasi. Camat Bantarsari, Budi Narimo berjanji akan mendampingi petani menuntut kompensasi yang memadai. Ia pun mengaku siap menyampaikan permintaan petani itu kepada pengembang dan Pemda Cilacap.
"Saya akan menyampaikan aspirasi panjenengan semua. Tetatapi, pahami lah, bahwa saya bukan orang yang bisa mengambil keputusan," kata Budi.
Di Kantor Kecamatan Bantarsari ini pula, petani membagikan puluhan ikat kangkung kepada pejabat-pejabat kecamatan. Pembagian sayur kangkung, menurut salah satu penggarap, Nisem, melambangkan bahwa tanah garapan mereka yang dkini diuruk untuk pembangunan Puskesmas adalah satu-satunya lahan dimana mereka bisa bertani.
Di tiap ikat kangkung itu, tertulis secarik kertas berisi pesan ‘KANGKUNG GRATIS DARI KORBAN PENGGUSURAN’. Kangkung itu adalah kangkung terakhir yang dihasilkan dari lahan yang tergusur.
"Tanah ini hanya satu-satunya yang saya miliki. Rumah saya sudah doyong hampir roboh. Bolong di sana-sini. Buat keluar masuk kucing," tutur Nisem.
Nisem menjadi wakil petani perempuan untuk menyerahkan kangkung itu ke pejabat. Kala menyerahkan kangkung itu, ironisnya, dia mendoakan agar pejabat tersebut selalu sehat, banyak rejeki, dan diberi umur panjang. Sementara, air mata berlinang di kelopak matanya.
Nisem dan ratusan petani berharap agar Bupati Cilacap mengambil sikap atas ketidakadilan yang mendera petani. Mayat dan kangkung adalah cara petani mengirimkan pesan, agar Bupati Cilacap, Tatto Suwarto Pamuji, iba.
Advertisement