Hanya Layani Muslim, Tempat Laundry di Malaysia Tuai Kontroversi

Sebuah tempat cuci di Johor, Malaysia, menuai kontroversi karena hanya melayani pelanggan muslim saja.

oleh Khairisa Ferida diperbarui 26 Sep 2017, 16:36 WIB
Sebuah tempat laundry di Johor, Malaysia, menuai kontroversi karena hanya bersedia melayani orang muslim (Facebook)

Liputan6.com, Kuala Lumpur - Sebuah penatu atau tempat cuci pakaian di Muar, Johor, Malaysia menuai kontroversi, karena menerapkan kebijakan hanya melayani muslim.

"Mesra Muslim. Dobi ini hanya menerima pelanggan beragama Islam sahaja atas faktor kesucian. Segala kesulitan amat dikesali. Sila tanggalkan kasut di luar," demikian bunyi pengumuman yang terdapat di depan penatu tersebut.

Dobi adalah orang yang pekerjaannya mencuci dan menyetrika pakaian.

Meski ini dinilai hanya contoh kecil dari intoleransi, namun apa yang dilakukan pemilik tempat cuci tersebut memicu debat publik di negara yang dihuni minoritas keturunan China dan India. Masing-masing mengisi 22,6 dan 6,7 persen populasi di Negeri Jiran, di mana selain Islam juga terdapat agama lain seperti Kristen, Hindu, dan Buddha.

"Jika pemerintah serius ingin menyatukan semua orang di bawah slogan '1Malaysia', mereka seharusnya memiliki aturan yang membatasi siapa pun memasang iklan yang tidak sensitif dengan agama dan ras tertentu," ungkap salah seorang warganet. Ia merujuk pada kampanye PM Najib Razak untuk mempromosikan keharmonisan etnis dan persatuan nasional.

Ada pun kelompok muslim moderat Sisters in Islam (SIS), merilis sebuah pernyataan yang mengatakan bahwa mereka kecewa dengan tindakan penatu tersebut. Menurut mereka, itu tak lebih dari kebijakan perpecahan yang selanjutnya akan memisahkan dan mengisolasi komunitas multirasialisme dan multiagama dari satu sama lain.

"Islam menjunjung tinggi keadilan dan menghormati martabat manusia. Islam selalu berdampingan dengan orang-orang dari agama dan cara hidup yang berbeda," ungkap SIS.

Mereka menambahkan, "Persepsi bahwa non-muslim dianggap tidak bersih dan karena itu tidak bisa mencampuradukkan cucian dengan orang muslim, secara sederhana adalah prasangka dan kefanatikan. Ini harus dilihat seperti itu dan bukan sebagai 'persyaratan dalam Islam'. Ini adalah asumsi yang tidak berdasar".

Pemilik binatu kontroversial tersebut menjelaskan kepada Free Malaysia Today bahwa dirinya tidak rasis. Ia katakan ada banyak tempat cuci pakaian lain yang tersedia bagi orang non-muslim di kawasan itu.

"Kami menghormati pemeluk agama lain, namun memastikan kebersihan adalah persyaratan di dalam Islam," terang yang bersangkutan seperti dikutip dari Asian Correspondent pada Selasa (26/9/2017).

Seorang Pelapor Khusus PBB untuk hak-hak budaya baru-baru ini mengatakan bahwa komitmen Malaysia terhadap keragaman dan toleransi tidak tercermin dalam kehidupan masyarakatnya.

"Berbagai sektor di masyarakat mengungkapkan keprihatinan atas apa yang mereka lihat... seiring dengan meningkatnya Islamisasi masyarakat dan pemerintahan Malaysia yang didasarkan pada interpretasi Islam yang semakin kaku dan fundamentalis," demikian laporan pengamatan Pelapor Khusus PBB tersebut.


Gelas untuk Muslim dan Nonmuslim

Sebelumnya, sekolah dasar di Malaysia juga sempat memicu kontroversi karena memisahkan gelas minum untuk siswa muslim dan nonmuslim.

Langkah tersebut digambarkan sebagai praktik apartheid-like atau seperti kebijakan apartheid, sistem pemisahan ras yang diterapkan oleh pemerintah kulit putih di Afrika Selatan sekitar awal Abad ke-20 hingga tahun 1990.

Menurut Free Malaysia Today (FMT), yang dikutip pada 14 Agustus 2017, sekolah di Taman Puteri, Hulu Langat, Malaysia, itu bikin geger setelah foto pemisahan gelas itu beredar di media sosial.

The Star Online menuliskan bahwa dalam foto yang beredar, gelas di sekolah dasar di Selangor itu diberi label "murid Islam" (siswa Muslim) dan "murid bukan Islam" (siswa non-Muslim) yang ditempatkan di samping dispenser air.

Sekolah Taman Puteri itu memiliki 219 murid Melayu dan 145 non-Melayu.

Seorang anggota organisasi non-pemerintah, G25, yang mempromosikan moderasi dan kohesi nasional, mengatakan bahwa hal tersebut sangat mengganggu.

"Hal seperti itu hanya akan menciptakan perpecahan di kalangan orang Malaysia, dengan mengatasnamakan praktik keagamaan," kata anggota G25, Johan Arriffin dikutip oleh FMT.

"Sebenarnya, praktik tersebut juga menunjukkan betapa kita telah kehilangan akal sehat dan tak memahami tentang nilai religius yang sejati, termasuk toleransi."

Umat Islam diketahui wajib makan daging yang diolah sesuai dengan hukum Islam atau dalam kondisi halal. Muslim juga dilarang makan daging babi.

Pemisahan tersebut diyakini didasarkan pada kekhawatiran bahwa nonmuslim akan mencemari cangkir dengan unsur-unsur nonhalal.

Kendati demikian, Johan mengatakan, hal yang lebih penting adalah kebersihan cangkir, bukan siapa yang menggunakannya.

Dilansir dari Asian Correspondent, pendiri Parent Action Group for Education Malaysia, Noor Azimah juga tak sependapat dengan kebijakan pihak sekolah.

"Saat era apartheid, restoran dan bus dipisahkan. Kejadian ini mungkin merupakan permulaan dari itu. Jika kita tak menghentikannya, itu akan menjadi lebih buruk dan akan mencapai titik di mana akan ada restoran dan toilet terpisah untuk muslim dan nonmuslim," jelas Noor Azimah.

"Itu justru bisa menyuburkan ekstremisme," imbuh Noor Azimah.

Sebagai tanggapan atas protes masyarakat, seperti dikutip dari The Star, Wakil Menteri Pendidikan Datuk Chong Sin Woon menekankan bahwa "sekolah nasional adalah untuk semua orang Malaysia dan tidak boleh memisahkan anak-anak berdasarkan agama."

Dia mengatakan akan mengarahkan pihak Departemen Pendidikan Selangor untuk menyelidiki masalah tersebut.

Anggota Dewan Kota Seberang Perai, Satees Muniandy kemudian berkomentar di Facebook terkait kebijakan di sekolah tersebut. Ia menyatakan menentang keras langkah institusi pendidikan itu.

 

Tag Terkait

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya