Liputan6.com, Jakarta - Salah satu pelaku usaha uang elektronik yaitu TrueMoney menyatakan ada biaya isi ulang uang elektronik dapat diterima mengingat biaya investasi dan infrastruktur yang cukup besar.
Rio Da Cunha, Direktur Operasional TrueMoney Indonesia menuturkan, penyelenggaraan uang elektronik diperlukan biaya besar untuk pemeliharaan infrastruktur maupun biaya operasional mitra dari pelaksana sistem itu. Oleh karena itu, pengenaan biaya isi ulang elektronik itu dapat dimengerti dan diterima.
Pihaknya juga menilai, batas atas biaya isi ulang atau top up uang elektronik antarbank dan pihak ketiga sebesar Rp 1.500 juga cukup wajar. Biaya isi ulang uang elektronik diharapkan tidak memberatkan konsumen serta dapat memenuhi perhitungan bisnis. TrueMoney Indonesia pun akan kaji ulang mengenai adanya biaya isi ulang uang elektronik.
Baca Juga
Advertisement
"Namun tentunya tetap akan mengedepankan prinsip kenyamanan dan nilai wajar bagi konsumen," ujar Rio lewat surat elektronik yang diterima Liputan6.com, Rabu (27/9/2017).
Adapun dengan adanya biaya isi ulang uang elektronik tersebut, perseroan akan menggunakan dana itu untuk biaya pemeliharaan sistem yang ada mengingat teknologi tidak murah. Selain itu, infrastrukturnya ada di tempat terbuka yang berisiko rusak.
Rio menambahkan, sebaiknya biaya isi ulang uang elektronik itu juga tidak dengan pakai uang tunai tetapi juga lewat produk uang elektronik lainnya. Ini sebagai langkah untuk meningkatkan gerakan nontunai.
Seperti diketahui, berdasarkan data BI, terdapat 25 lembaga penerbit uang elektronik. Dari jumlah tersebut 11 merupakan bank dan sisanya merupakan lembaga nonbank.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Biaya Isi Ulang Uang Elektronik Paling Mahal Rp 1.500, Ini Alasannya
Bank Indonesia (BI) menetapkan batas atas biaya isi ulang atau top up uang elektronik antarbank dan pihak ketiga, seperti minimarket sebesar Rp 1.500. Upaya ini dilakukan dalam rangka memberikan perlindungan konsumen dan menciptakan persaingan usaha yang sehat.
Ketentuan biaya isi ulang ini diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur No.19/10/PADG/2017 tanggal 20 September 2017 tentang Gerbang Pembayaran Nasional/National Payment Gateway (PADG GPN).
Aturan Nomor 19 Tahun 2017 ini mengatur skema harga untuk transaksi isi ulang uang elektronik, sebagai berikut:
1. Top Up On Us (pengisian ulang yang dilakukan melalui kanal pembayaran milik penerbit kartu) dengan nilai sampai Rp 200 ribu, tidak dipungut biaya alias gratis. Sedangkan lebih dari itu, dapat dikenakan biaya maksimal Rp 750.
2. Top Up Off Us (pengisian ulang yang dilakukan melalui kanal pembayaran milik penerbit kartu yang berbeda atau mitra/pihak ketiga), dapat dikenakan biaya maksimal sebesar Rp 1.500.
Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi BI, Agusman mengungkapkan, penetapan batas maksimum biaya top up off us uang elektronik sebesar Rp 1.500 bertujuan untuk menata struktur harga yang saat ini bervariasi.
"Jadi penerbit kartu yang saat ini telah menetapkan tarif di atas batas maksimum (Rp 750 dan Rp 1.500), wajib melakukan penyesuaian," tegas Agusman dalam keterangan resminya di Jakarta, Kamis 21 September 2017.
Menurutnya, BI menetapkan kebijakan skema harga berdasarkan mekanisme ceiling price atau batas atas dalam rangka memastikan perlindungan konsumen dan pemenuhan terhadap prinsip-prinsip kompetisi yang sehat, perluasan akseptasi, efisiensi, layanan, dan inovasi.
"Sekitar 96 persen pengguna uang elektronik di Indonesia mengisi ulang tidak lebih dari Rp 200 ribu, maka kebijakan skema harga isi ulang ini diharapkan tidak memberatkan masyarakat," jelasnya.
Gubernur BI, Agus Martowardojo sebelumnya pernah mengaku, ada beberapa bank dan pihak ketiga yang mengenakan biaya isi ulang uang elektronik, mulai dari Rp 2.000-Rp 6.500. Ketidakseragaman tarif tersebut dikaitkan Agus memicu protes dan keluhan dari konsumen.
"Misalnya nanti tarifnya semua menjadi Rp 1.500, maka tidak boleh lebih dari itu. Pokoknya kami akan terapkan perlindungan konsumen. Bangun sistem pembayaran yang aman, efisien, kompetitif dan inovatif," tegas Agus.
Maka lahirlah peraturan Nomor 19 Tahun 2017 dengan adanya ketentuan batas atas pengenaan biaya. BI menilai, kebijakan skema harga yang diatur akan menurunkan biaya transaksi masyarakat, mendorong peningkatan transaksi, dan perluasan akseptasi.
Advertisement