Liputan6.com, Antartika - Sebuah bongkahan es seluas wilayah Kota Medan -- sekitar 260 km persegi -- lepas dari Antartika pada 23 September 2017. Es itu terlepas dari gletser Pine Island, yakni salah satu gletser terbesar di Antartika Barat.
Peristiwa tersebut terjadi hanya dua bulan setelah bongkahan seluas Bali terlepas dari lapisan es yang dikenal dengan Larsen C -- lepasnya bongkahan es terbesar yang pernah tercatat. Namun bagi para ilmuwan, yang terpenting bukanlah ukuran gunung es.
"Ini bukan soal ukuran es, tapi frekuensinya," ujar seorang ahli glasiologi di Ohio State Univeristy, Ian Howat, dikutip dari CBS News, Rabu (27/9/2017).
Baca Juga
Advertisement
"(Lepasnya) bongkahan es besar yang tidak sering merupakan hal normal, tapi (lepasnya) bongkahan es kecil yang sering bukan hal normal," jelas Howat.
Howat dan rekannya, Seongsu Jeong, pada tahun lalu menerbitkan sebuah artikel yang menemukan bahwa gletser Pine Island mengembangkan pola baru dalam aktivitas pelepasan esnya. Hal tersebu diyakini berpengaruh terhadap meningkatnya lepasnya es atau calving baru-baru ini.
Peristiwa lepasnya es besar lain di Pine Island terjadi pada Juli 2015. Kala itu bongkahan es seluas 582 kilometer persegi terlepas.
Ahli observasi satelit d Delft University of Technology, Stef Lhermitte, mem-posting gambar satelit yang membandingkan peristiwa calving di Pine Island pada 2015 dan 2017.
"Itu menunjukkan bahwa calving hampir berada di lokasi yang sama," tulis Lhermitte dalam Twitter.
Howat tak yakin apa yang menyebabkan lepasnya es pada 23 September. Tapi ia mencatat, perairan yang makin hangat berkaitan dengan mencairnya es di dunia.
Menurut penjelasn Howat, calving tak sering terjadi di gletser. Namun terkikisnya gletser di Antartika Barat disebabkan karena aliran air laut yang hangat di bawahnya.
Kondisi Akan Makin Memburuk?
Menurut seorang peneliti di Goddard Space Flight Center NASA, Christopher Shuman, adalah hal yang sudah dikenal bahwa air hangat akan menjangkau bagian bawah gletser dan menyebabkan penipisan lapisan es.
Namun menurutnya, ini adalah peristiwa calving terbesar sejak 2000. Sebelumnya terdapat sejumlah peristiwa lepasnya bongkahan es pada 2001, 2007, 2013, 2015, dan tahun ini.
"Pola tersebut menunjukkan ada tren enam tahunan, yakni antara 2001-2007, lalu enam tahun berikutnya pada 2007-2013, lalu terjadi siklus dua tahunan," ujar Shuman.
"Kecepatan berubah," imbuh dia.
Berdasarkan pola tersebut, Shuman mengatakan bahwa frekuensi mencairnya es tidak akan stabil. Hal itu ditambah pecahnya es secara berkeping-keping dalam calving pada 2015 dan 2017.
"Sejauh ini, saya tak berpikir bahwa segala sesuatunya akan menjadi lebih baik, justru sebaliknya," kata Shuman. Meski demikian, ia menegaskan bahwa ia bukan ahli prediksi.
Namun, Howat meyakini bahwa kecepatan fenomena terlepasnya es akan melambat dalam waktu dekat.
"Saya menebak bahwa bahwa peristiwa itu akan terjadi dalam waktu singkat dan kemudian menjadi sekit lebih stabil," ujar Howat.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Advertisement