Pembunuh Sadis 2 Perempuan Indonesia di Hong Kong Ajukan Banding

Rurik Jutting, pembunuh Sumarti Ningsih dan Seneng Mujiasih, dua WNI, mengajukan banding ke pengadilan.

oleh Rizki Akbar Hasan diperbarui 28 Sep 2017, 08:42 WIB
WNI di Hong Kong, Sumarti Ningsih dan Seneng Mujiasih berakhir dengan tragis di tangan seorang pegawai Bank of America, Rurik Jutting.

Liputan6.com, Hong Kong - Bankir asal Inggris pembunuh dua WNI di Hong Kong mengajukan banding ke pengadilan. Pengajuan banding dilakukan pada 27 September 2017.

Rurik Jutting divonis hukuman bui seumur hidup oleh pengadilan Hong Kong pada 2016, setelah terbukti menjagal Sumarti Ningsih dan Jesse Lorena Ruri alias Seneng Mujiasih, dua tahun sebelumnya.

Saat ini, Jutting, 31 tahun, mendekam di lembaga pemasyarakatan Stanley, rumah bui ekstra ketat di sebuah pulau di selatan teritori China itu.

Kini, setelah mendekam di balik jeruji, Jutting hendak mengajukan banding ke pengadilan atas vonis hukumannya. Kabar pengajuan banding itu disampaikan oleh kuasa hukum Jutting. Demikian seperti dilansir The Guardian, Rabu (27/9/2017).

"Banding itu berfokus untuk mempertanyakan arahan juri pengadilan kepada deputi hakim yang mengambil keputusan," ujar Michael Vidler, pengacara pelaku.

Argumentasi banding akan disampaikan di pengadilan pada 12 Desember 2017.

Pengajuan banding itu dinilai mengejutkan. Karena, saat divonis, Jutting menyatakan di hadapan hakim bahwa dirinya menerima segala pembuktian dan keputusan pengadilan.

"Juri pengadilan telah menyampaikan dakwaan yang tidak dapat saya bantah," kata Jutting pada 2016 lalu.

Tim kuasa hukum Jutting berargumen, klien mereka sesungguhnya menderita gangguan jiwa. Berdasarkan hukum pidana di Hong Kong, individu yang mengalami gangguan jiwa dan melakukan pembunuhan dikenai pasal yang derajat vonisnya lebih rendah.

Dan atas fakta tersebut, seharusnya pria Inggris itu dapat menerima vonis yang lebih ringan. Meski begitu, hakim pengadilan Hong Kong masih dapat menjatuhkan vonis hukuman seumur hidup pada terdakwa kasus pembunuhan yang mengalami gangguan jiwa.

Pada 2016, saat hendak mengetuk palu, hakim Michael Stuart-Moore mengatakan, "Sepanjang persidangan, kami telah berhasil mengeruk kedalaman kasus. Pelaku menggambarkan dirinya sebagai monster. Akan tetapi, definisi itu sesungguhnya tidak tepat. Karena sebenarnya terdakwa adalah tipikal predator seksual."


Kisah Koper Berisi Jasad WNI Sumarti

Sumarti Ningsih seharusnya pulang ke rumah orangtuanya di Cilacap, Jawa Tengah, Minggu, 2 November 2014. Namun, sehari sebelumnya, jasadnya justru ditemukan membusuk di dalam koper berwarna hitam di balkon lantai 31 sebuah apartemen mewah di Hong Kong.

Jenazahnya yang dimutilasi sebagian dibungkus dengan karpet. "Kami meyakini korban meninggal dunia selama beberapa waktu," kata Wan Chai, asisten komandan distrik kepada South China Morning Post yang dimuat Selasa (4/11/2014).

Awalnya polisi dipanggil ke sebuah flat di distrik Wan Chai, yang dekat dengan pusat finansial Hong Kong. Mereka tiba sekitar pukul 03.40 Sabtu dini hari.

Di dalamnya, petugas polisi menemukan seorang perempuan, tanpa busana, yang berusia 20-30 tahun. Ada luka tusuk di leher dan bokongnya. Ia dinyatakan tewas di lokasi kejadian.

Beberapa saat kemudian, temuan yang lebih mengerikan didapat. Beberapa jam kemudian, mereka menemukan jasad Sumarti Ningsih dengan kondisi mengenaskan.

Sumarti Ningsih masuk ke Hong Kong dengan visa turis pada Oktober 2014. Ia menjadi korban pembunuhan sadis yang diduga dilakukan bankir asal Inggris, Rurik Jutting.

Pelaku yang berusia 29 tahun itu diketahui pernah bekerja di Bank of America Merrill Lynch. Polisi juga menemukan jasad perempuan lainnya yang juga asal Indonesia, Jesse Lorena, Sabtu, 1 November 2014 dini hari.

Kabar kematian Sumarti Ningsih membuat orangtuanya terguncang. Saat si pelaku Rurik Jutting digelandang ke pengadilan, Senin, 3 November 2014, kabar duka itu datang. Petugas kepolisian datang ke rumah duka.

"Saya terkejut sekali memang dan saya diminta tabah. Dari agen bilangnya kalau anak saya meninggal sudah dibungkus," kata ayah korban, Ahmad Kaliman, kepada Liputan6.com di rumahnya di Grumbul Banaran, Desa Gandrungmangu, Kecamatan Gandrungmangu, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah. "Ini takdir."

Pria sepuh itu mengaku mendapat firasat. "Sabtu malam saya mimpi lihat pesawat di depan rumah, di jendela pesawat kok saya melihat anak saya itu. Mungkin itu pas kejadian anak saya meninggal," ujar Ahmad. Kini, ia hanya berharap, jasad putrinya segera dipulangkan dan pelakunya dihukum mati.

Hong Kong secara resmi menghapuskan hukuman mati pada tahun 1993 saat masih menjadi koloni Britania Raya. Namun, aturan itu kembali diberlakukan setelah eks-koloni Inggris itu bergabung dengan China, yang memberlakukan hukuman mati.

Pada 2011, Sumarti pergi ke Hong Kong melalui PT Arafah Bintang Perkasa. Selama dua tahun delapan bulan, dia bekerja di wilayah bekas koloni Inggris yang kini masuk bagian negara China tersebut.

Setelah pulang dia tidak lantas bekerja di Gandrungmangu, tetapi memilih untuk kursus menjadi disk jockey (DJ) di Yogyakarta. Selama lima bulan, kursus di Doperspinners mendapatkan sertifikat Basic DJ Mixing Course, dengan grade Good.

Rurik Jutting, alumni universitas ternama University of Cambridge, dikenai dua dakwaan pembunuhan. Ia bertemu Jesse Lorena, korban kedua, hanya beberapa jam sebelum pembunuhan di sebuah pesta Halloween di New Makati Pub & Disco, klub malam remang-remang di distrik lampu merah Wan Chai.

Seperti dikutip dari Telegraph, di sebuah bar di area yang sama, ia bertemu Sumarti Ningsih beberapa hari sebelumnya.

Kasus pembunuhan itu mengguncang Hong Kong. Jarang ada kejahatan sebesar itu yang melibatkan puluhan ribu ekspatriat yang ada di sana.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya