Cerita Saksi Letusan Gunung Agung 1963 yang Siap Hadapi Erupsi

Saat Gunung Agung meletus pada 1963, sebanyak 500 orang penghuni desa tempatnya tinggal meninggal dunia.

oleh Nanda Perdana Putra diperbarui 28 Sep 2017, 07:26 WIB
Saksi letusan Gunung Agung pada 1963. (Liputan6.com/Nanda Perdana Putra)

Liputan6.com, Bali - Kakek tua dengan badan kurus berjalan perlahan di jalur menanjak menuju kediamannya, kawasan Gunung Agung, Bali. Kayu bahan bangunan dibopong di atas bahu rentanya yang malah jadi tampak kokoh.

Saat itu, Selasa, 26 September 2017, kendaraan yang ditumpangi Liputan6.com melintas menuruni kaki Gunung Agung, Bali. Pria paruh baya itu lantas menyapa. Suara pelannya disautkan lewat jendela mobil yang terbuka.

"Dari mana?" ujar si kakek.

Cukup mengagetkan. Pasalnya, ketika mencoba menanjak menelusuri desa yang berada di sekitaran Pure Kayangan, Karangasem, tersebut, tidak ada satu pun penduduk yang terlihat.

Wajar memang, lokasi tersebut merupakan zona merah dengan jarak sekitar tiga kilometer dari puncak gunung. Sementara titik aman sendiri ditetapkan sejauh 12 kilometer.

Sang kakek memperkenalkan diri. Dia mengaku sebagai pemangku adat desa yang dikenal dengan sapaan Jero Mangku Dharmo.

Pria yang berusia 75 tahun lebih itu mengajak berkeliling melihat situasi desa yang sudah kosong penghuni. Hanya tersisa anjing dan ayam saja yang masih lalu lalang tanpa pengawas di sepanjang jalan beraspal dan permukiman warga Gunung Agung.

 


Letusan Gunung Agung 1963

Jero Mangku Dharmo ingat betul saat letusan Gunung Agung 1963 menghilangkan nyawa 500 orang penghuni desa tempatnya tinggal. Aliran air panas dan debu melintas dengan cepat menyapu hunian warga.

"Kaki saya rusak ini. Tidak ingat dulu umur berapa (waktu kejadian). Ya begini saja sambil berdoa," kata Jero Mangku Dharmo sambil memeragakan telapak tangan yang disatukan dan membungkuk di balik pohon tua.

Warga jelas kalang kabut atas peristiwa itu. Korban jiwa tidak dapat terhindarkan. Mereka yang selamat dianggap mendapat kesempatan memperbaiki diri dari Tuhan.

Dia sendiri mengaku baru dua tahun diangkat menjadi pemangku adat. Posisinya itu didapat dengan menggantikan kakeknya yang disebutnya masih hidup hingga saat ini.

Meski status Gunung Agung masuk fase kritis alias Awas, Jero Mangku Dharmo bergeming ikut mengungsi bersama warga yang lain. Dia memilih tetap berada di kaki gunung sambil memberi imbauan kepada masyarakat yang sembarangan datang untuk menjauhi gunung.

Sementara sisanya dihabiskan untuk berdoa meminta letusan yang tenang.

"Kakek saya, ibu saya, anak saya, sudah ke sana (mengungsi di Denpasar). Saya kukuh di sini," jelas Jero Mangku Dharmo.

Meski dibayar, Jero Mangku Djarmo tidak akan mau turun gunung. Dia memilih menghabiskan akhir hayatnya di Gunung Agung, walaupun nyawanya terancam erupsi. Dia telah menentukan lokasi tempatnya mengembuskan napas terakhir.

"174 KK di sini sudah mengungsi. Barang-barang saya sudah di Denpasar," ujar dia.

Saat berpamitan, dia berpesan agar kalangan dari berbagai agama mana pun dapat bersama-sama memanjatkan doa keselamatan bagi masyarakat Bali dari dampak letusan Gunung Agung. Tidak hanya itu, tapi juga dari bencana lainnya.

"Semuanya sama di mata Tuhan. Saya berdoa dari sini. Semuanya (semoga) ikut (berdoa)," Jero Mangku Dharmo menandaskan.

Saksikan tayangan video pilihan berikut ini:

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya