Liputan6.com, Jakarta - Mantan Wali Kota Palembang, Romi Herton, meninggal dunia di RS Hermina Serpong setelah mengalami serangan jantung. Dia mengembuskan napas terakhir sekitar pukul 02.45 WIB.
Romi Herton telah menjabat Wakil Wali Kota Palembang mendampingi Wali Kota Palembang, Eddy Santana Putra pada periode 2009-2013. Ia lalu maju bersama pasangannya, Harnojoyo, pada bursa Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2013-2018.
Advertisement
Pasangan nomor urut 2 ini akhirnya memenangi 316.915 suara dan menang tipis dari pesaingnya nomor urut 3, Sarimuda-Nelly Rasdania dengan jumlah 316.923 suara.
Namun, setelah duduk sebagai Wali Kota Palembang, Romi Herton terpaksa menanggalkan jabatannya. Dia dinyatakan terbukti melakukan suap sengketa Pilkada 2013 kepada Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Akil Mochtar hingga membuatnya dipenjara.
Persekongkolan Akil Mochtar terbongkar setelah KPK menangkap mantan Ketua MK itu di rumahnya, Widya Chandra, Jakarta Selatan, pada Rabu malam 2 Oktober 2013. Kala itu, Akil ditangkap terkait suap kasus sengketa Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Kabupaten Gunung Mas di Provinsi Kalimantan tengah.
"Pada awal September 2013, KPK sudah memulai penyelidikan terhadap dugaan tindak pidana korupsi kemudian dilakukan AM selaku hakim MK. Berdasarkan penyelidikan itu, diketahui informasi yang berkembang, akan terjadi penyerahan uang di kediaman AM," kata Ketua KPK saat itu, Abraham Samad, Kamis 3 Oktober 2013.
Kasus kemudian dikembangkan. Penyidik KPK menemukan banyak kasus yang ditangani Akil Mochtar terkait sengketa Pilkada. Salah satunya Pilkada Palembang.
Setelah mendapatkan bukti dan keterangan dari Akil Mochtar, KPK memeriksa Wali Kota Palembang Romi Herton dan istrinya, Masyitoh. Keduanya diperiksa KPK pada Kamis 10 Agustus 2014 pukul 10.00 WIB.
Diperiksa selama sekitar tujuh jam, Romi Herton dan istrinya keluar dari Gedung KPK pukul 17.40 WIB. Keduanya kompak mengenakan rompi tahanan KPK berwarna oranye. Mereka ditahan di rutan berbeda. Romi ditahan di Rutan Guntur, Jakarta; sedangkan istrinya ditahan di Rutan KPK, Kuningan, Jakarta.
Dakwaan Jaksa
Dalam persidangan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Kamis, 20 November 2014, Romi dan istri didakwa menyuap Akil Mochtar saat menjabat Ketua MK sebesar Rp 14,145 miliar dan US$ 316,700 melalui Muhtar Ependy. Pemberian itu dimaksudkan untuk memengaruhi putusan perkara keberatan pilkada yang diajukan pasangan Romi.
Jaksa KPK, Ely Kusumastuti, menuturkan, dalam hasil perhitungan suara, pasangan Sarimuda-Nelly Rasdania memperoleh 316.923 suara, atau lebih tinggi dari Romi Herton-Harno Joyo yang mengantongi 316.915 suara. Pasangan Romi lantas mengajukan keberatan ke MK. Perkara ini ditangani panel hakim konstitusi, yakni Akil Mochtar, Maria Farida Indrati, dan Anwar Usman.
"Agar permohonan keberatan hasil Pilkada Kota Palembang di MK dikabulkan, terdakwa Romi Herton meminta tolong kepada Muhtar Ependy, selanjutnya Muhtar Ependy menyampaikan permintaan Romi Herton kepada Akil Mochtar," papar jaksa.
Gayung bersambut. Akil menyetujuinya dan meminta Muhtar Ependy menyampaikan agar Romi Herton menyiapkan uang. Permintaan itu disepakati. Romi melalui Masyito pun menyerahkan uang kepada Akil melalui Muchtar Ependy.
Dalam sidang putusan, Ketua MK Akil Mochtar menetapkan perolehan suara Kota Palembang dengan kemenangan Romi Herton-Harno Joyo dengan perolehan suara 316.919 suara. Adapun, perolehan suara pasangan nomor urut 3, yakni Sarimuda-Nelly Rasdania menjadi 316.896 suara.
"Setelah putusan dibacakan, Romi Herton dan Masyito menyerahkan uang lagi kepada Akil melalui Muhtar Ependy yang diserahkan secara bertahap," ujar jaksa.
Advertisement
Divonis 7 Tahun
Majelies Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta akhirnya menjatuhkan vonis enam tahun penjara terhadap Romi Herton. Istrinya divonis empat tahun bui.
"Majelis hakim mengadili, menjatuhkan pidana kepada Romi Herton dengan pidana penjara enam tahun dan Masyitoh empat tahun penjara dan denda masing-masing Rp 200 juta subsider dua bulan kurungan," ujar Hakim Ketua M Mukhlis saat menggelar sidang di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Senin 9 Maret 2015.
Keduanya dinyatakan terbukti menyuap mantan Ketua MK Akil Mochtar senilai Rp 11,3 miliar dan US$ 316 ribu melalui perantaranya, Muhtar Ependy. Pasangan itu dianggap berhasil terpengaruh Muhtar Ependy yang menawarkan jasa mengurus sengketa pilkada di MK.
Vonis itu lebih ringan dari tuntutan jaksa KPK yang menuntut Romi dengan hukuman sembilan tahun penjara dan Masyitoh selama enam tahun penjara.
Atas putusan itu, Romi mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi DKI Jakarta. Namun bukan keringanan yang didapat, Romi dan istri justru diperberat hukumannya.
"Masing-masing dijatuhi pidana 7 tahun untuk Romi Herton dan 5 tahun untuk Masyito," ujar humas PT DKI Jakarta Muhammad Hatta, Jumat 19 Juni 2015.
Selain itu, kedua terdakwa itu juga diharuskan membayar denda masing-masing Rp 200 juta subsider dua bulan kurungan. Pengadilan Tinggi juga mencabut hak politik keduanya, hukuman ini menjadi tambahan dari vonis tingkat pertama.
"Hukuman ini lebih berat setahun daripada tingkat pertama. Pada tingkat pertama juga tidak ada hukuman tambahan pencabutan hak dipilih dan memilih," kata Hatta.
Usai inkrah, Romi dan istri dieksekusi ke lapas Sukamiskin Bandung, Jumat 10 Juli 2015. Keduanya hanya tersenyum dan tak memberikan komentar saat eksekusi berlangsung.
Selama dua tahun, Romi mendekam di Sukamiskin. Pengamanan yang kurang ketat, membuat Romi lebih leluasa plesiran ke luar lapas. Akhirnya, Romi pun dipindah ke Lapas Gunung Sindur, Bogor, Jawa Barat.
"Itu bagian dari sanksi karena melakukan pelanggaran keluar tidak sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan," kata Kepala Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Jawa Barat Susy Susilawati di Kota Bandung, Jumat (10/2/2017).
Alasan lain dipindahkannya mereka ke Lapas Gunung Sindur dikarenakan faktor keamanan yang dinilai lebih ketat. Setelah dipindah ke sana, mereka diharapkan tidak bisa lagi melakukan pelesiran.