Liputan6.com, Jakarta - Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah meminta kepada Presiden Joko Widodo atau Jokowi membuat Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) untuk menghentikan sementara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Pernyataan Fahri ini pasca penyebutan namanya dalam sidang kasus dugaan suap auditor BPK dengan terdakwa mantan Irjen Kemendes Sugito dan mantan Kabag Tata Usaha dan Keuangan Itjen Kemendes, Jarot Budi Prabowo di Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat, Rabu 28 September 2017.
Advertisement
"Saya mengimbau Presiden Joko Widodo sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan untuk membuat Perppu untuk menghentikan KPK sementara Pansus angket KPK di DPR belum mencapai kesimpulan," ujar Fahri dalam keterangan tertulis di Jakarta, Kamis (28/9/2017).
Fahri mengatakan, rahasia para pejabat yang diperoleh melalui pengintaian, penyadapan, dan pengumpulan informasi secara ilegal atau illegal gathering of informations termasuk kepada auditor dan anggota BPK telah dijadikan bahan untuk mem-bully semua pejabat tinggi di Indonesia di lingkungan eksekutif, legislatif, dan yudikatif.
Ia mengatakan, motif pemerasan atau bullying KPK, untuk mempermudah penghukuman yang dilakukan di persidangan Tipikor. Selain itu, juga untuk membungkam mulut pejabat bermasalah dan juga pihak yang kritis kepada KPK.
"Selain mengarahkan para saksi di gedung KPK, di rumah sekap, juga KPK sering menggunakan ruang sidang Tipikor untuk meminta saksi menyebut nama yang ditargetkan," ucap dia.
Fahri mengaku telah mengumpulkan banyak data tentang orang-orang yang dibungkam dan akhirnya dikalahkan. Begitu pula dengan dirinya merasa berkali-kali ditakuti KPK supaya jangan lagi mengkritik KPK.
"KPK juga kerap menjadikan kasus dan data seseorang untuk dijadikan barter dengan sikap pribadi atau sikap resmi lembaga tersebut. Ada partai yang paling sering disebut oleh Nazaruddin tapi karena barter perjanjian, akhirnya tidak dilanjutkan. Di sisi lain, ada banyak partai yang sengaja ditargetkan," kata dia.
Pemerasan dan barter hukum ini, lanjut Fahri, telah meluas dan dapat diduga termasuk Presiden dan pimpinan semua lembaga tinggi negara telah mulai diperas. Bahkan, ditakutkan atau diajak bernegosiasi untuk mengamankan dukungan kepada KPK.
"KPK dapat diduga juga telah memeras semua petinggi penegak hukum termasuk pengacara sehingga tidak berani membela klien dalam isu korupsi," tutur Fahri Hamzah.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Fahri Hamzah Disebut dalam Sidang
Nama Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah disebut dalam sidang kasus dugaan suap auditor BPK dengan terdakwa mantan Irjen Kemendes Sugito dan mantan Kabag Tata Usaha dan Keuangan Itjen Kemendes, Jarot Budi Prabowo di Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat.
Dalam sidang terungkap ada kekhawatiran pejabat BPK untuk menilai buruk atas laporan pemeriksaan keuangan di DPR RI.
Pernyataan itu diungkap dari BAP Anggota VII Badan BPK Eddy Mulyadi yang diperiksa sebagai saksi. Dalam BAP saksi Eddy mengaku takut memberi opini negatif lantaran bisa mengundang kritik keras atau emosi pimpinan DPR RI.
BAP juga menyebutkan, penyidik KPK tengah mengonfirmasi saksi Eddy terkait rekaman pembicaraanya dengan Rochmadi Saptogiri selaku Auditor Utama Keuangan Negara III BPK.
"Adalah depan DPR. Tetapi saya bilang jangan turun opininya, karena Akom bisa marah, Fahri marah. BKKBN opini WDP. DPD agak berat itu kalau untuk WDP. Saya meminta untuk DPR, MPR untuk WTP agar bisa amandemen," kata jaksa KPK M Asri Irwan membacakan kata-kata saksi Eddy dalam BAP di Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat, Rabu 27 September 2017.
Di sisi lain terungkap, rekaman percakapan itu didapat KPK dari ponsel Rochmadi Saptogiri yang tidak lain atasan Eddy. Eddy pun mengaku tidak mengetahui bahwa percakapannya lewat ponsel dengan Rochmadi direkam selama 2,5 tahun.
Meski begitu, Eddy mengaku tidak paham dengan maksud lawan bicaranya yang tidak lain atasannya itu merekam pembicaraan lewat ponsel. Kendati Eddy membenarkan bahwa ponsel Iphone yang dipakai Rochmadi adalah hadiah dari dirinya.
Sementara terkait kesaksiannya lewat BAP yang dibacakan jaksa, Eddy mengaku bisa saja saat itu tengah bergurau. Terlebih soal rekaman yang menyebutkan takut dimarahi Akom dan Fahri.
"Mungkin saya berseloroh karena memang saya tak tahu kalau itu direkam," kata Eddy.
Advertisement