Liputan6.com, Jakarta Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mengalokasikan anggaran sekitar Rp 19,5 triliun dari pinjaman dalam maupun luar negeri untuk pengadaan alat utama sistem senjata (alutsista) dan alat material khusus (alumatsus) dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2018. Ini adalah kebutuhan belanja dari Kementerian Pertahanan (Kemenhan) dan Polri.
Menanggapi hal tersebut, Asisten Gubernur Kepala Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter BI, Dody Budi Waluyo menilai, dalam statistik Neraca Pembayaran Indonesia (NPI), setiap pembelian barang dan jasa dari luar negeri, contohnya alutsista akan tercatat sebagai impor.
Baca Juga
Advertisement
"Jadi (impor) akan mengurangi surplus atau menambah defisit transaksi perdagangan dan transaksi berjalan. Devisa akan keluar dari perekonomian untuk impor," kata dia saat dihubungi Liputan6.com, Jakarta, Jumat (29/9/2017).
Namun lanjut Dody, jika pembiayaan berasal dari utang luar negeri, maka devisa neto bagi perekonomian akan offset alias tergerus. Sementara apabila didanai dari domestik, maka akan keluar devisa sejumlah nilai impor tersebut.
"Melihat dampaknya harus secara makro. Jika total impor lebih besar dari ekspor, akan ada defisit di transaksi berjalan, net demand terhadap valuta asing, dan nilai tukar rupiah secara fundamental akan melemah," Dody menjelaskan.
Menurutnya, ada pandangan umum bahwa sepanjang defist transaksi berjalan dapat dijaga di bawah 3 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB), maka transaksi berjalan masih sehat dan kondisi eksternal relatif baik.
"Proyeksi defisit transaksi berjalan Indonesia 2017 diperkirakan kurang dari 2 persen dan di bawah 2,5 persen terhadap PDB pada tahun depan," ujar Dody.
Pembelian Sah Saja
Kepala Ekonom SKHA Institute for Global Competitiveness (SIGC), Eric Sugandi menganggap pembelian alutsista sudah dialokasikan di dalam APBN dan sah-sah saja mengimpor terhadap jenis yang spesifikasinya belum dapat diproduksi industri pertahanan dan keamanan dalam negeri.
"Pembelian alutsista dan alumatsus dari luar negeri biasanya settlement-nya menggunakan letter of credit (L/C) yang diklasifikasikan sebagai pinjaman utang luar negeri. Praktik ini biasa saja dalam settlement via perbankan," terangnya.
Dia menjelaskan, impor alutsista ini akan tercatat sebagai komponen impor di neraca pembayaran. Dan lagi-lagi ini merupakan lumrah dalam pencatatan neraca pembayaran.
"Ketika impor alutsista dan alumatsus dilakukan, ini akan menambah defisit neraca transaksi berjalan, seperti pembayaran barang-barang impor jenis lainnya," ujarnya.
Akan tetapi selama utang dalam valas dilakukan lindung nilai atau hedge, Eric menilai masyarakat tidak perlu khawatir karena dampak dari risiko terhadap kurs atau mata uang dapat diminimalisir.
"Pembelian alutsista via utang tentu mesti dicari yang harganya reasonable tapi sesuai spesifikasi yang dibutuhkan. Selain itu, term pembayarannya memasukkan hedging untuk melindungi dari risiko kurs," kata Eric.
Untuk diketahui, dari total pinjaman luar negeri tahun depan, paling banyak penggunanya adalah Kemenhan dengan alokasi Rp 11,7 triliun untuk pembiayaan alutsista. Sementara untuk pinjaman dalam negeri tercatat Rp 3,5 triliun bagi Kemenhan.
Sedangkan untuk pembelian alumatsus untuk Polri sebesar Rp 3,3 triliun dari pinjaman luar negeri, dan Rp 1 triliun di alokasi pinjaman dalam negeri.
Advertisement