Liputan6.com, Jakarta - Seorang remaja putri duduk di pojok kamar tidur berukuran 2x3 meter. Telepon genggam di tangannya. Berulang kali, si gadis menengok layar telepon genggam. Meski, tak ada pesan instan atau panggilan telepon yang masuk.
Sepanjang hari, si gadis menghabiskan banyak waktu dengan memainkan telepon genggam di dalam rumah. Kebiasaan ini dilakukan sepulang sekolah, dan baru muncul sejak akhir Juli 2017. Di bulan itu, si gadis mendadak terkenal. Lantaran, identitasnya viral di dunia maya.
Advertisement
Sebut saja si gadis dengan panggilan N. N merupakan pelaku perundungan (bullying) di Thamrin City, yang menjadi pusat pemberitaan saat kasus perundungan mencuat Juli lalu. Kasus tersebut ramai jadi bahan pergunjingan lantaran video bullying N menyebar di dunia maya.
Liputan6.com menemui N di rumahnya, di kawasan Tanah Abang, Jakarta Pusat. Saat berbincang, N mengaku, dirinya kini sudah tak punya banyak aktivitas. “Sekarang cuma di rumah aja,” kata N, Sabtu, pertengahan September 2017.
Gadis ini menceritakan, dirinya sudah tak berani berada jauh dari rumah. Ia merasa tak nyaman dan takut. Alasannya, kata dia, banyak orang yang tak dikenal yang tiba-tiba berlaku "aneh" saat bertemu dengannya.
Kejadian ini tentu tak begitu saja muncul. Saat video bullying menyebar, identitas N juga disebar di Instagram. Penyebaran ini membuat Y, ayah N, kesal sekaligus terenyuh. Y mengatakan tak kuasa menyimak komentar-komentar kasar dan bernada hinaan dilayangkan kepada anak sulungnya yang baru 12 tahun ini.
Menurut Y, anaknya jadi pemurung dan lebih banyak diam selepas banyak warganet dan orang tak dikenal memberi komentar kasar. Ia kasihan, sebab anaknya jadi kehilangan kesempatan bergaul akibat dihantui rasa takut.
Y gelisah. Ia ingin anaknya kembali ceria seperti sedia kala. Namun apa daya. Anaknya belum juga mau keluar rumah—selain sekolah. “Saya yang kadang jadi kesel ke orang-orang,” kata Y.
Psikolog klinis, Kasandra Putranto, menilai sikap pendiam dan murung yang diperlihatkan N merupakan dampak dari kekerasan.
Kondisi ini, kata Kasandra, terjadi lantaran kekerasan sudah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat. Ini terjadi di seluruh lapisan masyarakat.
“Perilaku kekerasan ini tidak terdeteksi, tidak terpantau dan tidak termonitor dengan baik. Sehingga muncul kasus yang banyak terjadi di sekelilling kita,” sebut Kasandra.
Membully Pembully
Ancaman kekerasan di lingkungan sekitar ini tampaknya dirasakan langsung N. I, ibunda N, menuturkan anak sulungnya sempat mendapat perlakuan tak enak, dari orang tak dikenal saat bermain di luar rumah. Peristiwa itu terjadi beberapa waktu setelah kasusnya viral.
Kejadian itu berlangsung saat N main ke sebuah pusat perbelanjaan. Menurut I, N pulang dengan wajah yang kian murung. N menceritakan, ada orang-orang yang tiba-tiba mengambil gambarnya saat sedang masuk ke toilet. “Selesai ambil foto anak saya, orang itu lari sambil cekikikan,” ucap I menirukan keterangan N.
Tak hanya itu, N juga kerap mendapat umpatan dari orang-orang yang tak dikenal. Namun yang lebih menyiksa batin I, ekspose pemberitaan berlebihan dari sejumlah media. “Malah anak saya diberitakan kayak orang bugil,” kata I menyinggung salah satu berita yang mengekspos identitas anaknya.
N mengaku ketakutan setelah insiden Thamrin City. Terlebih, saat ia harus menghadapi orang tak dikenal yang tiba-tiba menghina atau mengumpatnya.
Salah satu "teror" yang masih ia ingat adalah umpatan kasar yang tiba-tiba datang saat ia hendak main ke sebuah tempat. N baru berjalan kurang dari 500 meter, tiba-tiba ada seorang tak dikenal yang menghinanya. “Dikatain gini ‘ini nih yang bully itu. Sampah dasar’ katanya begitu,” cerita N.
Y dan I mengakui anaknya memang bersalah. Namun, apa yang kini harus diterima N dirasakan melebihi kewajaran. Sebab sekali lagi, kata mereka, anaknya baru 12 tahun dan masih punya masa depan.
Di sisi lain, Y, I, dan N, juga tak mau menyalahkan siapa pun dalam kasus ini. Meski, ia merasa bahwa yang menyebarkan identitasnya adalah akun Instagram @lambe_turah.
Liputan6.com mencoba menghubungi pemegang akun @lambe_turah. Admin pemegang akun, sempat membalas saat dihubungi. Namun setelah pertanyaan dilayangkan, pemegang akun tak membalas hingga berita ini dibuat.
Langkah akun @lambe_turah disayangkan Kasandra Putranto. Bagi Kasandra, tindakan akun tersebut mengumbar identitas pelaku bullying tak ubahnya kekerasan itu sendiri. Sebab, penyebaran identitas di dunia maya sama saja dengan menumbuhkan cyber bullying.
“Kan berarti, kita menangani kekerasan dengan kekerasan. Lalu kita harapaan anak ini belajar apa? Kita berharap anak ini bisa lebih sabar, lebih mampu mengendalikan diri. Bisa? Enggak bisa,” kata Kasandra.
Advertisement
Potret Murung Bullying
Munculnya sebuah kasus kekerasan tak bisa dilepaskan dari benih kekerasan yang tertanam di masyarakat. Perlahan, benih ini menyemai buah berupa tindakan yang berulang dan bahkan menjadi spiral. Tanpa disadari benih kekerasan ini muncul dalam profil seseorang.
Ihwal profil ini, Kasandra Putranto, menjelaskan ada profil yang berbeda pada seorang pelaku dan korban kekerasan. Sebagian pelaku kekerasan, kata Kasandra, umumnya pernah menjadi korban kekerasan dan marah dengan situasinya sebagai korban. Akibatnya, seseorang yang semula merupakan korban berubah menjadi pelaku.
Sebagian pelaku lain, merupakan orang yang tidak memiliki kapasitas keterampilan sosial dan emosional yang cukup untuk membuat mereka bisa mengendalikan emosi. “Mereka ini tidak bisa mengendalikan diri, yang akhirnya melakukan kekerasan kepada orang lain,” kata Kasandra.
Sementara profil korban, menurut Kasandra, lebih lemah. Profil lemah ini menjadi lebih tertekan saat mereka menjadi korban. Kasandra menyebut, ada dampak kekerasan yang akhirnya menempel pada kondisi psikologi korban.
“Biasanya korban kekerasan itu lebih menjadi pendiam. Kemudian reaksi mereka menjadi lebih lambat,” imbuh Kasandra.
Merujuk data Komisi Perlindungan Anak Indonesia, jumlah korban kekerasan berupa kekerasan psikis di luar sekolah atau bullying di sekolah, selalu lebih banyak dari pelaku pada rentan 2011-2016. Korban bullying terbanyak terjadi pada 2014 dan 2015 mencapai lebih dari 150 korban. Sedangkan korban paling sedikit terjadi pada 2011 sebanyak 56 korban.
Sama halnya dengan korban kasus kekerasan psikis yang terjadi di luar sekolah. Korban terbanyak terjadi pada 2013, sebanyak 74 orang. Sedangkan yang paling sedikit terjadi tahun 2012, sebanyak 16 korban. Angka ini belum termasuk kasus bullying di dunia siber.
Di luar banyaknya kasus yang terjadi, Kasandra menyebut, ada kesalahan cara pandang yang selama ini terjadi di masyarakat. Ia menyebut, kesalahan ini khususnya ada pada orangtua. Orangtua di Indonesia, pada umumnya lebih menitiktekankan kepedulian pada sisi intelektualitas dibanding sisi psikologis anak. Padahal, sisi psikologis merupakan sisi penting yang perlu mendapat perhatian.
“Sisi emosional itu penting untuk mengendalikan diri, menahan dorongan emosi, dan bagaimana bersikap dan bertindak,” kata Kasandra. Inilah yang selama ini tanpa disadari menjadikan kekerasan bersemayam di seluruh lini masyarakat. Sebab, kepedulian jadi perkara yang tersisihkan.
Soal sisi psikologis ini diakui I, ibunda N. Meski berasal dari kalangan ekonomi menengah ke bawah, I mengakui, sisi psikologis kini jadi perhatiannya. Sebab, Ia tak tega melihat putri sulungnya kini murung dan pendiam. Padahal, anaknya sosok yang ceria dan aktif di sejumlah kegiatan sekolah saat masih mengenyam bangku SD.
“Saya mah pengen dia ceria lagi,” kata I.
Keinginan I sebenarnya keinginan sang anak. N menyatakan ingin bisa bermain kembali dengan teman-temannya, tanpa takut diteror.
“Saya sebenarnya bosan di rumah. Pengen kayak dulu lagi. Enggak dikata-katain. Tapi ya gitu, banyak yang umbar aib,” ujar N mengakhiri pembicaraan.