Astin, Ibu Kucing-Kucing Liar di Semarang

Yang menjadi kegundahan hatinya bukan soal kematiannya, namun nasib kucing-kucing liar itu.

oleh Edhie Prayitno Ige diperbarui 30 Sep 2017, 22:00 WIB
Kucing-kucing liar ini hafal jika pagi ada yang menyediakan sarapan baginya. (foto : Liputan6.com/Gina Mardani Cahyaningtyas/edhie prayitno ige)

Liputan6.com, Semarang - "Meong….meong…," suara kucing menyambut kaki yang menapak sebuah rumah di Jl KH Sirajudin, Tembalang, Semarang.

"Ayo masuk, nanti ada sepeda motor malah bahaya," suara perempuan menegur sang kucing.

Ajaib, kucing berwarna coklat kekuningan itu yang oleh masyarakat Jawa disebut kucing warna kembang asem ternyata membalikkan badan dan masuk rumah. Ketika berada di dekat pemilik suara, kucing itu menggesekkan kepalanya di kaki sang perempuan.

Adalah Astin Wulandari, seorang perempuan berusia 48 tahun sang pemilik rumah kos di kawasan kampus Universitas Diponegoro. Meskipun dokter menyebutkan ada kistik ovarium di rahimnya, ia menghabiskan 17 tahun waktunya untuk merawat kucing-kucing liar itu.

"Sakit saya nggak ada hubungannya dengan kucing. Jauh sebelum saya interaksi dengan kucing, dokter sudah menyatakan saya terkena kista," kata Astin kepada Gina Mardani Cahyaningtyas, Finalis Citizen Journalist Academy Energi Muda Pertamina 2017.

Astin bercerita, awal pertemuannya dengan kucing-kucing liar itu terjadi ketika Astin pindah ke Tembalang. Sebagai warga baru ia rajin jalan-jalan. Hingga suatu pagi, Astin melihat ada kucing terjatuh di selokan.

"Kondisinya sungguh kasihan. Ia luka dan bahkan sudah ada belatungnya. Saya ambil kucing itu dan saya rawat. Sejak itu saya mulai sering rawat kucing-kucing liar," kata Astin, Sabtu (30/9/2017).

Kesibukan Astin bertambah. Selain jalan-jalan, ia selalu memberi makan kucing-kucing liar di sekitar rumahnya. Semua dilakukan dengan gembira. Bahkan kucing-kucing liar itu jumlahnya terus bertambah.

"Awalnya hanya beberapa ekor. Mungkin mereka saling berkabar, dan saat ini ada sekitar 30 ekor kucing liar yang selalu saya beri makan," kata Astin.

Demi kucing-kucing liar itu, irama hidup Astin berubah. Ia kini biasa bangun sekitar jam tiga dini hari. Ia menanak nasi dalam jumlah besar. Sambil menunggu nasi matang, ia berolahraga jalan kaki di sekitar rumahnya.

"Kucing yang di rumah sarapannya pagi sekali. Pulang jalan-jalan kucing-kucing liar di sektar rumah sudah berjejer menunggu," kata Astin.

Saksikan video pilihan berikut ini!

 


Mandiri dan Gundah

Astin membelai seekor kucing yang awalnya ditemukan dalam kondisi kudisan. (foto : Liputan6.com/Gina Mardani Cahyaningtyas/edhie prayitno ige)

Astin memilih tak memanfaatkan donasi dari orang lain. Ia membiayai semua aktivitasnya secara mandiri. Baik untuk memberi makan, obat-obatan, vaksin, vitamin, hingga membawa kucing-kucing liar itu ke dokter hewan jika sakitnya parah atau menjalani sterilisasi agar jumlahnya tak terus membengkak.

Beberapa kali ia bekerjasama dengan Komunitas Pecinta Kucing Semarang (KPKS) untuk berbagi ilmu kesehatan kucing dan memberi pengobatan.

"Saat itu ada mahasiswa yang bawa anak kucing, usianya satu bulan setengah, enggak tahu nemu di jalan, patah tulang. Ada luka bolong juga. Setelah di-share informasinya, KPKS ikut membantu," kata Astin.

Astin menolak jika merawat kucing liar dianggap sebagai hobi. Menurutnya, pehobi pasti akan memilih kucing yang mahal dan bagus. Sementara yang ia lakukan adalah menolong dan merawat kucing-kucing sakit, kudisan, dan bahkan kucing kampung.

Ketika tinggal di Cikarang ternyata Astin memiliki perilaku yang nyentrik juga. Ia gemar berbagi makanan dengan orang-orang yang dianggap terkena gangguan jiwa dan beredar di sekitar perumahan kumuh. Kini di Semarang, ia menolong kucing tak terawat dan liar. Astin yakin jika kucing adalah hewan kesayangan Rasulullah SAW.

Suatu ketika Astin berduka. Yakni ketika ada 16 ekor kucing yang dirawatnya mati bersamaan. Hasil pemeriksaan medis menunjukkan bahwa kucing-kucing itu terserang virus walaupun sudah ia karantina dan rawat.

Kini, ketika kista di rahimnya semakin membesar, Astin ibarat meniti sebuah jembatan tali. Ia ingin operasi, namun jika operasi tak berhasil ia pasti mati. Namun yang menjadi kegundahan hatinya bukan soal kematiannya, melainkan nasib kucing-kucing liar itu.

"Kalau saya mati, bagaimana nasib kucing-kucing itu. Siapa yang akan merawatnya. Meski nantinya semua manusia akan mati, namun saya masih ingin berbuat lebih lama untuk kucing-kucing liar itu," kata Astin. (Gina Mardani Cahyaningtyas - CJA Energi Muda Pertamina)

 

 

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya