Kisah Getir Gula Rakyat

Industri gula di Tanah Air sulit berkembang akibat banyak kebijakan pemerintah yang tak mendukungnya. Akankah swasembada gula bisa tercapai?

oleh Mevi Linawati diperbarui 30 Sep 2017, 20:05 WIB

Liputan6.com, Jakarta - Gula menjadi kebutuhan primer yang belum tergantikan. Di Indonesia, kebutuhan gula mencapai 5,7 juta ton per tahunnya, sedangkan produksi gula nasional tak sampai separuhnya. Industri gula di Tanah Air justru sulit berkembang akibat banyak kebijakan pemerintah yang tak mendukungnya.

Akibatnya, Istana Merdeka jadi sasaran aksi demo ribuan petani tebu dari seluruh penjuru negeri, pada Agustus 2017 lalu.

Seperti ditayangkan dalam program Sigi SCTV, Sabtu (30/9/2017), mereka protes dan menolak masuknya impor gula atas kebijakan pemerintah, sekaligus menuntut kesejahteraan para petani tebu rakyat.

Syarif, seorang petani tebu mengungkapkan, sejak kecil dirinya sudah mengenal tanaman tebu dan mempelajari bertani tebu. Namun mengelolanya tidaklah mudah, karena masa tanam hingga panen petani tebu harus menunggu selama satu tahun.

Bagi petani tebu, tahun ini bukanlah momentum terbaik untuk menikmati hasil panennya. Selain faktor cuaca, adanya rencana kebijakan pemberlakuan pajak pada petani dan masuknya gula impor jadi masalah baru.

Kebutuhan gula nasional dibagi menjadi dua, gula rumah tangga dan gula industri. Dari data Kementerian Perindustrian, kebutuhan gula nasional mencapai 5,7 juta ton per tahun, sementara produksi gula nasional tak sampai separuhnya. Inilah pemicu adanya kebijakan impor gula.

Asosiasi Petani Tebu Republik Indonesia atau ARPTRI juga meradang dengan kebijakan impor gula yang dilakukan pemerintah.

Masuknya gula impor di tengah musim panen petani tebu rakyat memang menjadi dilematis. Alih-alih menjaga kebutuhan konsumsi gula nasional, kebijakan impor malah menyengsarakan petani tebu.

Ketersediaan pasokan gula lokal di Indonesia juga tak lepas dari adanya pabrik-pabrik gula yang terus beroperasi menggiling tebu milik rakyat . Yang paling memprihatinkan kristal putih hasil gilingan tebu petani lokal masih awet tersimpan alias tidak laku di gudang pabrik. Harga yang cenderung merosot diduga jadi pemicunya.

Masuknya gula impor ke pasaran memang menjadi momok tersendiri bagi petani lokal. Selain bisa mengancam keberadaan gula lokal, impor gula juga cenderung merusak harga standar di pasaran

Di Indonesia konsumsi gula skala nasional memang cukup tinggi, angkanya dua kali lipat dari produksi gula nasional yaitu 2,5 juta ton per tahun. Minimnya pabrik gula dan lahan perkebunan tebu jadi kendala dalam berswasembada gula.

Peremajaan mesin pabrik ternyata tak mudah. Keterbatasan dana membuat pihak pabrik gula BUMN mesti harus mengatur siasat agar peremajaan mesin utama pabrik tetap dilakukan sesuai prioritas. 

Sebagai langkah efisiensi, pabrik gula pesantren baru kini mengoperasikan teknologi tambahan core sampler solid atau teknologi pendeteksi awal kandungan rendemen dalam tebu sebelum masuk dapur penggilingan.

Jika melihat kondisi nyata industri gula nasional, akankah swasembada gula dapat tercapai?

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya