Ketua Pansus Angket Jadi Saksi Sidang Korupsi E-KTP

Dalam dakwaan dua mantan Pejabat Ditjen Dukcapil Kemendagri Irman dan Sugiharto, Agun Gunandjar disebut menerima uang USD 1,047 juta.

oleh Fachrur Rozie diperbarui 02 Okt 2017, 11:13 WIB
Ketua Pansus Hak Angket KPK, Agun Gunandjar Sudarsa memimpin Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan LPSK di Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin (28/8). Rapat sebagai tindak lanjut atas temuan rumah aman yang diduga dimiliki oleh KPK. (Liputan6.com/Johan Tallo)

Liputan6.com, Jakarta - Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) kembali menggelar sidang dugaan tindak pidana korupsi proyek pengadaan e-KTP dengan terdakwa pengusaha Andi Agustinus alias Andi Narogong, Senin (2/10/2017).

Jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) rencananya akan menghadirkan Ketua Panitia Khusus (Pansus) Hak Angket DPR terhadap KPK Agun Gunandjar Sudarsa.

Dalam dakwaan terhadap dua mantan Pejabat Ditjen Dukcapil Kemendagri: Irman dan Sugiharto, Agun yang pada saat proyek pengadaan e-KTP berjalan merupakan Banggar DPR, disebut-turut menikmati uang haram e-KTP sejumlah USD 1,047 juta.

Selain Agun, Jaksa KPK juga memanggil mantan Wakil Ketua Komisi II DPR Kahtibul Umam Wiranu. Politikus Demokrat itu disebut menerima bancakan sebesar USD 400 ribu.

Saksi lain yang turut dipanggil jaksa KPK adalah anggota tim Fatmawati yakni Kurniawan, Direktur PT Erakomp Infonusa Ferry Tan, Kasubag Tata Usaha Keuangan Kementerian Dalam Negeri Suciati, dan staf Kemendagri Husaini.

Dalam perkara ini, Andi didakwa telah melakukan korupsi secara bersama-sama dengan Irman, Sugiharto, dan Ketua DPR Setya Novanto. Irman dan Sugiharto sudah divonis 7 dan 5 tahun penjara.

 


Serang KPK

Sebelumnya, Ketua Pansus Hak Angket KPK Agun Gunandjar menuding ada ketidakpatuhan KPK terhadap peraturan perundang-undangan.

"KPK cenderung melenceng dari KUHAP dalam pelaksanaan tugas dan kewenangannya. Bahkan, KPK melanggar dari ketentuan, peraturan, ataupun kesepahaman yang dibuat atau ditandatangani sendiri," ujar Agun dalam paripurna di kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa 26 September 2017.

Kedua, lanjut Agun, Pansus menduga banyak pelanggaran prosedur hukum acara yang seharusnya menjadi acuan. Pelanggaran ini seringkali terjadi di lapangan.

"Masyarakat pencari keadilan seringkali melaporkan bahwa KPK kerap melanggar hak asasi manusia dan hak warga negara di muka hukum. Prosedur hukum dan upaya paksa seperti penyitaan, penggeledahan, dan penahanan seringkali melanggar Hukum Acara Pidana," papar dia.

Ketiga, sambung Agun, pansus juga menduga KPK seringkali melanggar ketentuan dalam pengumpulan alat bukti. Bahkan, diduga KPK memaksa dengan merekayasa alat bukti, seperti alat bukti saksi sebagaimana pengakuan saksi NPT (Niko Panji Tirtayasa).

"Yang keempat, dugaan adanya pelanggaran HAM dengan penggunaan kekerasan fisik, pada saat melakukan tugas dan kewenangannya untuk menangkap seseorang," kata dia.

Kelima, lanjut Agun, penggunaan Operasi Tangkap Tangan (OTT) KPK dinilai pansus tidak sesuai Pasal 1 butir 19 KUHAP, sehingga OTT KPK secara hukum dapat dikatakan tidak sah, karena belum memiliki payung hukum yang jelas.

"Selanjutnya, Pansus menduga proses penyadapan sebagaimana telah diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi (Putusan MK No. 5/PUU-VIII/2010) dan UU Nomer 19 Tahun 2016, yang mengatur bahwa penyadapan harus diatur dalam peraturan tersendiri. Namun, seringkali diduga kewenangan penyadapan ini malah disalahgunakan untuk kepentingan tersendiri," dia memaparkan.

Terakhir, Agun menyebut, Pansus menduga KPK juga menafsirkan sendiri mengenai kewenangan eksekusi, yang tidak sama sekali diatur kewenangan KPK di dalam ketentuan.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya