Liputan6.com, Jakarta - Ketua DPR Setya Novanto sudah pulang dari RS Premier, Jatinegara, Jakarta Timur. Dia meninggalkan rumah sakit pada Senin malam 2 Oktober 2017 setelah sepekan lebih dirawat.
"Benar sudah pulang tadi malam. Kurang lebih pukul 20.00," ujar Humas RS Premier, Sukendar, kepada Liputan6.com di Jakarta, Selasa 3 Oktober 2017.
Advertisement
Menurutnya, kepulangan Ketua Umum Partai Golkar yang terbelit kasus korupsi e-KTP tersebut juga sudah mendapat izin dari dokter yang merawat. "Pak Novanto sudah pulang dengan seizin dokter yang merawat," jelas Sukendar.
Setya Novanto masuk RS Premier, Jatinegara, pada Minggu 17 September malam. Sebelumnya, ia dirawat di RS Siloam. Awalnya, Novanto pingsan saat sedang berolahraga.
Dokter mendiagnosisnya terkena penyakit vertigo. Selanjutnya, ia juga disebut mengidap sakit ginjal hingga penyakit jantung. Dia juga sempat melakukan operasi katerisasi jantung di Rumah Sakit Premier.
Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat Partai Golkar Roem Kono menegaskan, Ketua Umum Partai Golkar Setya Novanto tidak mengalami sakit tumor. Menurutnya, itu hanya sakit tenggorokan.
Sakitnya Setya Novanto sempat menjadi bahan perbincangan dan pertanyaan lantaran munculnya foto yang viral mengenai kondisi Ketua DPR itu. Dalam foto tersebut, Novanto tengah tidur dan memakai alat bantu pernapasan.
Keluarnya pria yang menang dalam praperadilan kasus e-KTP melawan KPK ini dari rumah sakit, lepas dari pantauan awak media yang menunggu sejak dua hari lalu di sekitar RS. Pihak rumah sakit pun membantah kalau Novanto pulang secara sembunyi-sembunyi.
"Tidak (sembunyi-sembunyi). Beliau keluar pukul 20.00. Lewat pintu depan, seperti pasien lain. Keluar pakai mobil dikawal dengan voorijder," ucap Sukendar.
Roem Kono juga menegaskan, Setya Novanto tidak pindah rumah sakit usai keluar dari RS Premier.
"Tidak ada pemindahan rumah sakit, tetap saja di situ. Tapi beliau saya lihat sudah tidak betah di rumah sakit. Saya pikir satu dua hari ini sudah di rumah dalam pengawasan dokter," tuturnya.
Sementara itu, pantauan di kediaman Setya Novanto di Jalan Wijaya XIII Nomor 19, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, sekitar pukul 11.30 WIB, pada Selasa 3 Oktober 2017, terlihat beberapa mobil parkir di depan kediamannya. Gerbang warna abu-abu rumah tersebut tertutup.
Seorang petugas keamanan yang tidak mau disebutkan namanya itu mengaku enggan berkomentar mengenai keberadaan Setya Novanto. "Enggak tahu, saya enggak bisa komentar. Saya cuma jaga-jaga aja di sini," ucap petugas keamanan itu.
Wakil Ketua DPR Taufik Kurniawan pun bersyukur Setya Novanto sudah keluar dari rumah sakit.
"Saya secara pribadi juga ucapkan selamat atas sudah sembuh kembali dari rumah sakit sehingga dapat kembali dan kita kangen pada Pak Ketua DPR untuk bisa bekerja dan bersama-sama," ucap Taufik di Kompleks Parlemen Senayan Jakarta, Selasa 3 Oktober 2017.
Dia berharap Setya Novanto, tetap sehat dan bugar sehingga bisa dapat segera kembali bekerja sebagai Ketua DPR. "Kita harap segera mungkin," ujar Taufik.
Politikus PAN ini mengatakan, selama Setya Novanto sakit, kinerja DPR tidak begitu terganggu. Alasannya, kerja pimpinan DPR kolektif kolegial.
Dia menjelaskan, sudah ada pembagian tugas yang jelas untuk masing-masing pimpinan DPR. Ada yang bertugas sebagai koordinator politik keamanan, kesra, dan ekonomi keuangan.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
KPK Langsung Bertindak
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memperpanjang masa pencegahan ke luar negeri Ketua DPR RI Setya Novanto. Ketua Umum Partai Golkar tersebut kembali dicegah ke luar negeri selama enam bulan ke depan.
"Sudah dicegah kemarin. Sudah (dikirim surat pencegahan ke luar negeri kemarin)," ujar Wakil Ketua KPK, Basaria Panjaitan saat dikonfirmasi, Selasa 3 Oktober 2017.
Permintaan perpanjangan pencegahan tersebut sudah diterima pihak Ditjen Imigrasi Kemenkumham. Kabag Humas Ditjen Imigrasi Agung Sampurno mengatakan, pihaknya telah menerima surat tersebut sejak Senin, 2 Oktober 2017.
"Iya, kemarin tanggal 2 Oktober ada surat dari KPK, ditandatangani oleh Ketua (KPK), isinya pencegahan, pelarangan ke luar negeri atas nama Pak SN (Setya Novanto)," kata Agung.
Menurut Agung, permintaan pencegahan ke luar negeri dilakukan KPK lantaran Setya Novanto masih menjadi saksi penting kasus korupsi pengadaan e-KTP.
KPK juga terus bergerak melakukan pemeriksaan saksi-saksi kasus e-KTP. Selasa 3 Oktober 2017, penyidik KPK menjadwalkan pemeriksaan terhadap lima orang saksi yang terdiri PNS dan pihak swasta.
Mereka diperiksa sebagai saksi dalam kasus dugaan tindak pidana korupsi e-KTP dengan tersangka Anang Sugiana Sudihardjo.
Anang diduga berperan menyerahkan uang kepada Ketua DPR Setya Novanto dan anggota DPR lain melalui Andi Agustinus. Sugiharto dalam persidangan juga pernah meminta Anang menyiapkan uang US$500 ribu dan Rp 1 miliar untuk diberikan ke Politikus Hanura Miryam S Haryani.
Sementara itu, Wakil Ketua KPK Laode Muhammad Syarif juga senang mendengar kabar Ketua DPR Setya Novanto keluar dari RS Premiere Jatinegara.
"Ya, kalau Beliau sudah sehat, itu kan lebih bagus, ya," ujar Laode Syarif di Jakarta, Selasa.
Ia berharap Ketua Umum Partai Golkar tersebut bisa memenuhi panggilan penyidik KPK. Novanto hingga kini masih dibutuhkan keterangannya sebagai saksi kasus korupsi e-KTP.
"Jadi kalau Beliau sudah sehat, diharapkan ya apabila kalau misalnya dimintai keterangan oleh pihak KPK itu bisa hadir," kata dia.
Advertisement
Ada Sprindik Baru untuk Setnov?
Ketua DPR Setya Novanto atau Setnov lolos dari jeratan tersangka korupsi proyek pengadaan e-KTP. Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Cepi Iskandar mengabulkan gugatan praperadilan Setnov dan menyatakan penetapan Ketua Umum Partai Golkar itu sebagai tersangka kasus e-KTP tidak sah.
Banyak pihak dari pakar hukum pidana, termasuk mantan Komisioner KPK Indriyanto Seno Adji, mengatakan KPK memiliki hak untuk mengeluarkan surat perintah dimulainya penyidikan (sprindik) baru terhadap Ketua Umum Partai Golkar tersebut.
Saat disinggung terkait target KPK untuk menetapkan kembali Setnov sebagai tersangka, Wakil Ketua KPK Laode Muhammad Syarif menyatakan pihaknya tak memiliki target tersebut.
"Tidak ada target," ujar Laode Syarif di Jakarta, Selasa (3/10/2017).
Laode mengaku, pihaknya hingga kini masih mempelajari putusan hakim Cepi Iskandar yang tak mengesahkan penetapan tersangka korupsi e-KTP terhadap Novanto.
"Kami lagi berpikir, menelaah, karena kami belum dapat juga (dokumen) putusan (praperadilan) yang ada," kata dia.
Sementara itu, Kepala Biro Hukum dan Humas Mahkamah Agung (MA) Abdullah menegaskan putusan praperadilan Setya Novanto tidak menghilangkan perbuatan pidana yang disangkakan. Ia menjelaskan esensi praperadilan hanya menentukan keabsahan penetapan tersangka.
"Tidak menghilangkan perbuatan pidananya itu sendiri", kata Abdullah seperti dilansir Antara, Selasa 3 Oktober 2017.
Abdullah merujuk Peraturan Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2016. Dalam Pasal 2 Ayat (3), dinyatakan: putusan praperadilan yang mengabulkan permohonan tentang tidak sahnya penetapan tersangka tidak menggugurkan kewenangan penyidik untuk menetapkan yang bersangkutan sebagai tersangka lagi.
Seseorang tidak bisa begitu saja lepas dari jerat hukum meski pengadilan menyatakan penetapan status tersangkanya tidak sah. Penyidik dimungkinkan menetapkannya lagi sebagai tersangka.
Norma itu memungkinkan KPK menentapkan kembali Setya Novanto sebagai tersangka. Hanya saja, menurut Abdullah, ada persyaratan yang harus dipenuhi.
"Kalau Penyidik telah memenuhi paling sedikit dua alat bukti baru yang sah, berbeda dengan alat bukti sebelumnya yang berkaitan dengan materi perkara (praperadilan)", kata Abdullah.
Terkait putusan praperadilan Setya Novanto, Abdullah mengatakan MA menghormati apa yang telah diputuskan oleh hakim.
Ia menegaskan putusan hakim atau majelis hakim menjadi tanggung jawab mutlak yang bersangkutan. Putusan itu tidak ada hubungan dengan ketua pengadilan yang bersangkutan, atau ketua pengadilan tingkat banding, maupun pimpinan MA.
"Baik Ketua Pengadilan Tingkat Banding maupun Pimpinan Mahkamah Agung sama sekali tidak boleh intervensi," ujar Abdullah.
Abdullah menegaskan bagaimanapun putusan Hakim atau Majelis Hakim tidak ada hubungan dengan Ketua Pengadilan yang bersangkutan, atau Ketua Pengadilan Tingkat Banding maupun Pimpinan MA.
"Mahkamah Agung menghormati apa yang telah diputuskan oleh Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan atas praperadilan Setya Novanto," kata Abdullah.
Lebih lanjut Abdullah mengatakan bahwa Ketua Pengadilan telah melakukan pembinaan dan pengawasan agar tidak terjadi penyalahgunaan atau pelanggaran etika hakim.