Gunung Agung Sulit Diprediksi Meletus, Sinabung Entah Kapan Reda

Saat ini, ada dua gunung api berstatus Awas (Level IV) di Indonesia, yakni Gunung Agung dan Gunung Sinabung.

oleh Reza Efendi diperbarui 04 Okt 2017, 19:00 WIB
Warga memantau aktifitas Gunung Agung di Pos Pemantauan Desa Rendang, Karangasem, Bali, Jumat (29/9). Petugas gabungan akan menyisir kawasan rawan bencana untuk mengevakuasi warga yang belum mengungsi. (Liputan6.com/Gempur M Surya)

Liputan6.com, Medan - Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat, dari 127 gunung api aktif di Indonesia, saat ini ada dua gunung api berstatus Awas (Level IV), yakni Gunung Agung dan Gunung Sinabung. Sementara, 17 gunung api berstatus Waspada (Level II) dan gunung-gunung lainnya adalah normal.

Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB, Sutopo Purwo Nugroho mengatakan, Gunung Agung di Kabupaten Karangasem, Provinsi Bali, naik status Awas sejak 22 September 2017. Sementara, Gunung Sinabung berstatus Awas sejak 2 Juni 2015.

Namun, ada ketidakpastian dari kedua gunung tersebut. "Gunung Agung tidak dapat diprediksi kapan akan meletus, sedangkan Gunung Sinabung tidak dapat diprediksi kapan akan berhenti meletus. Itulah uniknya gunung api," ucap Sutopo, Rabu (4/10/2017).

Sutopo menyebutkan, setiap gunung api memiliki karakter berbeda-beda, sehingga penanganan dampak yang ditimbulkan dari letusan gunung juga berbeda. Bahkan, sosial dan budaya masyarakat yang terbentuk di tiap gunung pun berbeda. Ada kekhasan budaya masyarakat dalam memaknai dari gunung di sekitarnya.

"Bayangkan 13 persen populasi gunung api aktif di dunia terdapat di Indonesia, dengan segala berkah dan musibah yang menyertai setiap letusannya," katanya.

Sutopo mengungkapkan, Gunung Agung hingga saat ini belum meletus. Kegempaan yang terjadi masih intensif dan mengalami fluktuatif. Tidak ada tanda-tanda aktivitas menurun.

Gempa vulkanik yang sering terjadi menunjukkan ketidakstabilan aktivitas gunung api. Di kawah Gunung Agung, sudah terbentuk rekahan dan keluar asap putih dengan tekanan lemah.

Secara visual belum terlihat tanda-tanda Gunung Agung meletus. "Tidak dapat dipastikan kapan akan meletus," ujar Sutopo.

Adapun radius bahaya Gunung Agung yang ditetapkan Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) untuk dikosongkan dari aktivitas masyarakat adalah dalam jarak sembilan kilometer dan 12 kilometer di sektor utara-timur laut dan tenggara-selatan-barat daya.

Saksikan video pilihan berikut ini:

 


Sinabung Hampir Setiap Hari Erupsi

Meski kabut abu vulkanik dari Gunung Sinabung terbilang tipis, warga Berastagi tetap diminta waspada. (Liputan6.com/Reza Efendi)

Sebaliknya dengan Gunung Sinabung. Sejak status Awas, menurut Sutopo, hingga saat ini hampir setiap hari meletus. Letusan disertai dengan lava pijar, gempa guguran, awan panas dan hujan abu.

Tidak dapat diprediksikan kapan letusan akan berhenti. Sebelumnya, Gunung Sinabung tidak pernah meletus selama 1.200 tahun. Pada 2010, tiba-tiba meletus freatik hingga 2011.

"Berhenti sesaat, kemudian tahun 2013 meletus terus-menerus hingga sekarang. Kawasan rawan bencana terus meluas dibandingkan dengan sebelumnya," katnya.

Radius berbahaya untuk dikosongkan dari aktivitas masyarakat adalah di dalam radius tiga kilometer dari puncak, dan dalam jarak 7 km untuk sektor selatan-tenggara, di dalam jarak 6 km untuk sektor tenggara-timur, serta di dalam jarak 4 km untuk sektor utara-timur Gunung Sinabung.

Adanya pengosongan wilayah berkonsekuensi terjadi pengungsian. Pengungsi di Gunung Agung, tercatat 141.213 jiwa di 416 titik pengungsian yang tersebar di sembilan kabupaten/kota di Bali, pada Rabu (4/10/2017) pukul 12.00 Wita. Sekitar 2.600 jiwa pengungsi dari desa yang aman telah kembali ke rumahnya.

"Sesungguhnya di dalam radius berbahaya hanya 28 desa dengan jumlah penduduk sekitar 70.000 jiwa yang harus mengungsi. Namun, ternyata masyarakat yang mengungsi berasal dari 78 desa, di mana 50 desa adalah desa aman.

"Gubernur Bali telah mengimbau masyarakat yang berasal dari 50 desa aman untuk kembali ke rumahnya," Sutopo menerangkan.

Sedangkan di Gunung Sinabung, ribuan warga harus mengungsi sejak 2013. Bahkan, ribuan pengungsi tidak boleh kembali ke rumahnya karena harus direlokasi. Jadi yang ditangani adalah pengungsi, sedangkan pengungsi permanen harus direlokasi.

Namun, tidak ada yang tahu kapan mereka boleh pulang, mengingat Gunung Sinabung belum menunjukkan tanda-tanda akan berakhir letusannya.

Sutopo menuturkan, berdasarkan laporan Posko Tanggap Darurat Erupsi Gunung Sinabung tercatat 7.214 jiwa atau 2.038 kepala keluarga ada di delapan pos pengungsian. BNPB terus memberikan bantuan kebutuhan dasar bagi pengungsi.

BNPB pun telah menyalurkan bantuan dana siap pakai untuk penanganan pengungsi sejak 2013 hingga September 2017. Dana mencapai Rp 321,6 milar untuk bantuan anak sekolah, jaminan hidup, biaya listrik, air bersih, sewa jambur untuk tempat pengungsian, pembangunan sekolah darurat, MCK, tempat ibadah, sewa rumah, sewa lahan pertanian, dan sebagainya.

Selain itu, terdapat 3.331 KK yang harus direlokasi yang dibagi menjadi tiga tahap. Relokasi tahap pertama sebanyak 370 KK dari Desa Bekerah, Desa Simacem, dan Desa Sukameriah sudah selesai dilakukan. Relokasi tahap kedua sebanyak 2.044 KK dilakukan relokasi mandiri.

Rencananya, Desember 2017 mendatang, relokasi mandiri selesai. Sedangkan relokasi tahap tiga sebanyak 1.098 KK masih terkendala lahan usaha tani dan administrasi lainnya.

BNPB telah menyalurkan bantuan untuk rehabilitasi dan relokasi pasca-erupsi Gunung Sinabung sebesar Rp 268,5 miliar. "Jadi, total dana yang telah disalurkan untuk penanganan letusan Gunung Sinabung sejak 2013 hingga September 2017 sebesar Rp 589,1 miliar," tuturnya.

Penanganan pengungsi dan relokasi warga sekitar Gunung Sinabung sangat kompleks dan rumit. Di satu sisi gunung terus meletus tanpa ada yang tahu kapan akan meletus. Di sisi lain, ribuan warga harus mengungsi dan direlokasi.

"Tapi, terbatasnya lahan untuk relokasi dan usaha taninya menyebabkan penanganan belum tuntas," Sutopo memungkasi.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya