Liputan6.com, Yogyakarta - Memasuki penghujung tahun 2017, Indonesia masih dihadapkan pada tantangan serius di wilayah siber. Diperlukan konsep yang tepat, sehingga bisa diwujudkan kehidupan siber yang ber-Pancasila di Tanah Air. Apalagi, saat ini, begitu banyak berita yang tidak jelas kebenarannya dan cenderung mendorong masyarakat dalam perpecahan.
Pakar keamanan siber, Pratama Persadha menjelaskan, memang diperlukan aturan dan teladan dalam kehidupan siber di Tanah Air. Pemerintah bisa memberikan aturan yang jelas. Sementara, masyarakat bisa secara sendiri ataupun bersama-sama membangun konten positif.
"Dalam kehidupan siber bernapaskan Pancasila, kita punya tujuan tidak hanya berkehidupan yang aman dan damai. Lebih dari itu lewat teknologi dan wilayah siber kita bisa meningkatkan daya saing sekaligus kesejahteraan masyarakat," ucap chairman lembaga riset keamanan siber CISSReC dalam seminar nasional bertajuk "Sains dan Teknologi Pancasila untuk Keagungan Bangsa" di Rektorat Universitas Negeri Yogyakarta, Rabu, 4 Oktober 2017.
Pada seminar tersebut hadir pula sebagai pembicara adalah Sri Sultan HB X, Rektor UNY Sutrisna Wibawa, dan pendiri Lippo Group Mochtar Riady. Dengan keamanan siber terkait visi Yogyakarta menjadi Cyber Province 2019, Pratama menegaskan, media sosial dapat menjadi pintu masuk informasi paling utama yang dapat menjadi sarana promosi murah, cepat, dan tepat sasaran. Namun demikian, diingatkan dia, keamanan data dan informasi digital harus menjadi prioritas penting.
Baca Juga
Advertisement
"Mengingat pada 2015, jumlah kasus kejahatan siber di Indonesia meningkat signifikan hingga 389 persen dari tahun 2014," Pratama menambahkan.
Mengutip data dari Microsoft Indonesia, pemerintah dan masyarakat seringkali abai terhadap bahaya ancaman siber ini. Pemerintah kerap mampu membangun teknologi sistem siber yang handal dan terkoneksi dengan standar enterprise, namun acap alpa terhadap pengamanannya.
"Padahal semakin banyak sistem siber yang terkoneksi maka semakin rentan terdampak serangan jika tak disiapkan pengamanan yang memadai," kata Pratama.
Hal yang sama terjadi di level masyarakat. Survei Kaspersky menunjukkan bahwa 58 persen masyarakat Indonesia tak percaya mereka menjadi target serangan siber. Hasil ini dikuatkan hasil survei lembaga keamanan CISSReC yang mencatat bahwa 67 persen masyarakat 10 kota besar di Tanah Air, tidak mengindahkan imbauan Kominfo saat terjadi serangan wannacry, beberapa waktu lalu.
"Menjadi PR kita untuk bersama-sama meningkatkan kesadaran soal keamanan siber ini," ujar pria asal Cepu, Jawa Tengah ini.
Menindaklanjuti hal itu, menurut Pratama, ada tiga hal yang perlu diperhatikan terkait pengamanan siber ini. Pertama, penguatan SDM baik di pemerintahan maupun di masyarakat. Kedua, penguatan infrastruktur siber. Terakhir, peningkatan standar keamanan siber di semua sektor.
"Yogyakarta sendiri bisa menjadi contoh kehidupan siber ber-Pancasila dengan pemanfaatan wilayah siber oleh pemerintah, pelaku usaha, dan masyarakat dengan optimal. Namun, tidak lupa juga diikuti oleh keamanan siber yang mumpuni menyertai pemanfaatan kemajuan teknologi tersebut,” Pratama memungkasi.
Adapun Sultan HB X dalam kesempatan tersebut menekankan pentingnya pemerintah mengonsolidasikan teknologi siber untuk mendorong kesejahteraan rakyat. Sementara, Rektor UNY mengungkapkan berbagai aspek etis dalam penggunaan teknologi siber.
Saksikan video pilihan berikut ini: