Menelusuri Keberadaan Islam Masade di Kepulauan Sangihe

Selain tempat para pandai besi, Kampung Lenganeng, Kepulauan Sangihe, juga menyimpan sejarah penyebaran dan keberadaan Islam Tua Masade.

oleh Yoseph Ikanubun diperbarui 06 Okt 2017, 07:01 WIB
Makam Penganging, salah satu penyebar Islam Masade di Kampung Bukide, Kecamatan Nusa Tabukan, Kabupaten Kepulauan Sangihe, Sulawesi Utara. (Liputan6.com/Yoseph Ikanubun)

Liputan6.com, Sangihe - Komunitas ini lebih suka menyebut diri sebagai Kaum Tua atau Masade. Namun oleh pihak lain, mereka disebut Islam Tua, karena memang beberapa ajaran dan tata cara ibadah mereka lebih dekat pada Islam. Keberadaan penghayat kepercayaan di Kepulauan Sangihe, Sulawesi Utara ini, terkait dengan penyebaran Islam di masa lalu yang melibatkan Kesultanan Ternate, Tidore, Sulu, hingga Mindanao.

Malam itu, puluhan orang berkumpul di dalam sebuah bangunan semipermanen tanpa dinding, beralas beton, dan beratap seng. Di bagian luar, sisi kiri dan kanan juga dipenuhi warga. Tua, muda, laki-laki, perempuan, berkumpul di sana. Pada Jumat, 8 September 2017, warga Kampung Lenganeng, Kecamatan Tabukan Utara, Kabupaten Kepulauan Sangihe, Sulawesi Utara, menggelar malam budaya.

Sejumlah tarian ditampilkan, seperti masamper dan ampa wayer. "Ini semacam pesta rakyat untuk menyambut kehadiran tamu di kampung Lenganeng. Semua berbaur jadi satu dalam alunan musik dan gerak. Tak melihat adanya perbedaan suku atau agama," ucap Sam Barahama, warga Tahuna yang aktif mendampingi masyarakat melalui Perkumpulan Sampiri.

Kampung yang berpenduduk sekitar 600 jiwa ini menyimpan sejumlah cerita menarik. Selain sebagai tempat berkumpulnya para pandai besi yang memproduksi berbagai pedang dan benda tajam lainnya, Lenganeng juga menyimpan sejarah penyebaran dan keberadaan Islam Tua Masade di Sulawesi Utara.

"Bangunan tempat pementasan seni dan budaya itu bukan balai desa. Tapi itu alun-alun milik kaum Masade," ujar Agung Masihor, saat berbincang dengan Liputan6.com di rumahnya yang terletak di tengah kampung, Jumat malam itu.

Setelah berbincang cukup lama, Agung mengaku bahwa dia adalah salah satu penganut Islam Masade. Bahkan pria berusia 54 tahun ini ternyata salah satu pimpinan Masade. "Saya Ketua Organisasi Masade di Kabupaten Kepulauan Sangihe," kata Kepala Sekolah Dasar Lenganeng ini.

Sejak tahun 1985, Masade sudah terdaftar di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) sebagai penghayat kepercayaan. "Kami menyebut diri sebagai agama lokal, atau kaum tua Masade. Islam itu identifikasi atau penyebutan oleh orang luar kepada kami," ujarnya.

Dalam Masade dikenal dua lembaga yang masing-masing dipimpin oleh dua orang yang berbeda. Untuk urusan eksternal berhubungan dengan pemerintah atau lainnya diurus oleh ketua lembaga. "Sedangkan untuk urusan ke dalam terkait spiritual ditangani oleh seorang imam," katanya.

Untuk urusan eksternal terkait keberadaan organisasi termasuk pengakuan dari pemerintah menjadi tugas Agung. "Sebelum tahun 1985 memang banyak tantangan. Karena waktu itu dianggap kami ini belum resmi," tutur dia.

Meskipun banyak tantangan khususnya terkait legalitas dan pengakuan dari pemerintah, dalam kehidupan bermasyarakat tidak ada perbedaan perlakuan antara penghayat kepercayaan Masade dengan agama lainnya. "Kami hidup rukun. Bahkan bisa saling mengunjungi ke rumah-rumah ibadah," ujar Agung.

Separuh dari total jumlah penduduk di Kampung Lenganeng atau sekitar 300 jiwa merupakan penghayat kepercayaan Masade. Sedangkan selebihnya menganut agama Kristen dan Islam.

"Ketika ada pendeta yang baru bertugas di sini, ataupun pindah ke tempat lain, kami diundang masuk gereja dan mengikuti ibadah bersama," katanya.

Begitupun sebaliknya, ketika kaum Masade di Sangihe, menggelar kegiatan, maka warga Kristen dan Islam juga diundang. "Masjid kami ini bisa dipakai salat oleh umat Islam," dia menambahkan.

Saksikan video pilihan berikut ini:

 

 


Ajaran Lisan Turun-temurun

Agung Masihor (tengah), Ketua Organisasi Masade Kabupaten Kepulauan Sangihe, Sulawesi Utara. (Liputan6.com/Yoseph Ikanubun)

Selain urusan organisasi yang terkait dengan hubungan eksternal, hal-hal yang terkait dengan spiritual dan lebih ke dalam penghayat Masade menjadi tugas seorang imam. "Imam atau sesepuh ini kita anggap sebagai kitab yang hidup. Karena memang Masade tidak memiliki kitab suci tertulis, hanya ajaran lisan yang disampaikan turun-temurun," ujar Agung.

Imam sebagai pemimpin spiritual tertinggi itu tidak dipilih, melainkan ditunjuk. Beberapa persyaratan yang dimiliki oleh calon imam adalah bisa menjadi teladan, juga kemampuannya sebagai kader yang memahami ajaran-ajaran Masade.

Selain itu usianya sudah mencapai 70 tahun. "Biasanya seorang imam akan memilih calon imam baru yang dinilai punya keteladanan. Ajaran-ajaran Masade kemudian dituturkan kepada calon imam itu, biasanya saat tarawih," Agung mengungkapkan.

Karena beberapa ajarannya yang mirip dengan Islam, maka penghayat kepercayaan Masade ini lebih dikenal dengan sebutan Islam Tua atau Islam Masade. Beberapa tradisi yang dijalankan seperti berpuasa, tapi hanya tiga hari pertama ramadan.

"Kami juga tidak menjalankan salat lima waktu. Ajaran lainnya seperti sunatan dan lainnya hampir sama dengan Islam," ujar dia.

Agung mengatakan pula, ajaran dan tradisi Masade yang diturunkan secara lisan itu tidak bisa diajarkan kepada semua orang. Tak heran ketika kemudian untuk menggali secara detail terkait Masade ini cukup kesulitan.

"Biasanya orang yang diturunkan ajaran ini adalah mereka yang dianggap mampu memahaminya. Jangankan orang luar, penghayat Masade pun tidak semua bisa diajarkan secara detail terkait tradisi itu," Agung memaparkan.


Sosok Imam Masade dan Ajarannya

Salah satu pemuka setempat sedang mengawasi pembangunan kembali Masjid Islam Masade di Kampung Lenganeng, Kecamatan Tabukan Utara, Kabupaten Kepulauan Sangihe, Sulawesi Utara. (Liputan6.com/Yoseph Ikanubun)

Tidak banyak sumber yang bisa memberikan catatan pasti terkait keberadaan Islam Masade di Kabupaten Kepulauan Sangihe, meski terdapat sejumlah tulisan dan buku terkait penghayat kepercayaan ini. Salah satunya yang ditulis Muh Nur Ichsan A, Sejarah Islam di Perbatasan: Islam Masade di Kepulauan Sangir.

Di situ dituliskan, sejarah Islam di Sangihe, khususnya Kampung Lenganeng berawal pada tahun 1460, yang ditandai dengan adanya Ekspansi Kesultanan Ternate ke daerah Sulu dan Mindanao, dan berlanjut ke Kepulauan Sangihe.

Sosok Imam Masade dipercaya masyarakat setempat sebagai seorang penyebar agama, ulama, dan guru agama Islam di Kepulauan Sangihe. Dia merupakan tokoh yang dikenal baik oleh masyarakat Sangihe, khususnya bagi mereka yang mengikuti ajarannya.

Namun dalam literatur tertulis belum ditemukan secara pasti siapa sosok Imam Masade yang dimaksudkan. Apakah dia benar-benar seorang pendatang yang datang ke Sangihe untuk berdagang, ataukah memang seorang ulama.

Ada pula sumber lain yang mengaitkan Imam Masade dengan seorang ulama bernama Al-Mas'udi, karena dua nama itu mirip serta beberapa analisis yang mendukung.

Dalam tradisi lisan, Imam Masade juga digambarkan sebagai sosok yang hadir sebagai antitesis dari konflik kepercayaan dan agama Islam di Ternate. Data lainnya menyebutkan, sosok Imam Masade sebenarnya bernama asli Syarif Maulana Mukmin, dan berasal dari Tugis. Syarif ini dapat ditelusuri melalui silsilah peran Sultan Sulu, Fiipina Selatan.

Selain sosok Imam Masade, sejumlah nama juga muncul dan diyakini warga sebagai "dai" yang mengajarkan Islam Masade. Dia adalah Penanging, yang merupakan murid Imam Masade. "Jejak Penanging ini bisa ditemukan melalui keberadaan sebuah makam di Kampung Bukide, Kecamatan Nusa Tabukan, Kabupaten Kepulauan Sangihe," ujar Agung.

Tokoh lainnya yang juga dikaitkan dengan Islam Masade adalah Hadung, Makung, dan Biangkati yang merupakan murid dari Imam Masade.

Agung mengungkapkan, tradisi dan ritual penganut Islam Masade tidak memiliki perbedaan pandangan dengan Islam universal. Secara tema besarnya sama, hanya dalam praktiknya ada beberapa perbedaan.

"Kami melakukan salat, puasa, zakat, dan bahkan merayakan ritual besar seperti Idul Fitri dan kurban. Juga tradisi Maulid Nabi," tutur Agung.

Pelaksanaan ibadah sembahyang hanya dilakukan sekali dalam sepekan, yakni pada Jumat tepat jam 12 siang atau di saat memasuki waktu zuhur. "Posisi sembahyang pun tidak bersaf, namun melingkar. Seorang imam berada di tengah dan dikelilingi jemaah," ujar Agung.

Dia menambahkan, tidak hanya lelaki yang menjalankan ibadah ini, karena perempuan juga bisa. "Butuh waktu panjang untuk mau belajar terkait semua ajaran Masade. Namun itu, tidak semua boleh mempelajarinya," Agung memungkasi.

Sebagaimana ditulis Muh Nur Ichsan A dalam Sejarah Islam di Perbatasan: Islam Masade di Kepulauan Sangir, perkembangan ajaran Islam di sana ketika itu belum mengakar kuat saat disebarkan di zaman kesultanan dahulu, serta adanya pengaruh Nasrani dan ajaran lokal.

Sebagai penghayat aliran kepercayaan sebagaimana yang tertera di kartu tanda penduduk (KTP), pengikut Islam Masade kini berjumlah sekitar 2.000 orang di Sulawesi Utara. "Kalau di Sangihe ada 1.860 orang, yang lainnya di Bitung. Masade juga ada di Filipina, hanya saja memang kami belum terhubung," ujarnya.

Untuk melayani ibadah sekitar 2.000 anggotanya itu, terdapat 12 masjid yang menyebar di Kepulauan Sangihe. "Karena memang di Bitung belum ada masjid," Agung memungkasi.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya