KPK: Kami Masih Cermati Putusan Praperadilan Setya Novanto

Ada sejumlah pertimbangan yang dibacakan oleh Cepi dalam sidang praperadilan Setya Novanto.

oleh Lizsa Egeham diperbarui 05 Okt 2017, 17:29 WIB
Ketua DPR Setya Novanto bersiap menjalani pemeriksaan di KPK, Jakarta, Jumat (14/7). Setya Novanto diperiksa sebagai saksi dalam kasus dugaan korupsi proyek pengadaan e-KTP dengan tersangka Andi Agustinus alias Andi Narogong. (Liputan6.com/Helmi Afandi)

Liputan6.com, Jakarta - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kalah dalam sidang gugatan praperadilan yang diajukan Ketua DPR Setya Novanto. KPK menilai ada hal janggal dalam pertimbangan hakim tunggal Cepi Iskandar.

"Terkait putusan praperadilan, karena kami baru menerima juga petikan salinan putusannya, kami dalam proses mempelajari, mengeksaminasi, dan menyisir pertimbangan hakim. Terus terang, kami melihat terdapat beberapa hal yang kami perlu cermati dan jelaskan," kata Wakil Ketua KPK Laode M Syarief di acara 'Bebasnya Sang Papa, Senjakala Pemberantasan Korupsi di Indonesia?' di Salemba UI Jakarta Pusat, Kamis (5/10/2017).

Menurut dia, salah satu pertimbangan hakim yang dianggap janggal adalah tentang alat bukti yang tidak bisa digunakan untuk dua tersangka. Terkait ini, dalam sebuah alat bukti telah digunakan untuk menetapkan seorang tersangka, maka alat bukti itu tidak bisa dipakai lagi untuk menetapkan tersangka lainnya, meskipun tindak pidana yang dilakukan sifatnya bersama-sama.

"Korupsi itu tidak bisa hanya (dilakukan) satu pihak. Sekurang-kurangnya ada pemberi, ada penerima, dan ada yang dilakukan sendiri, ada yang bersama-sama," jelas Syarief.

Dia menganalogikan dalam kasus pembunuhan yang dilakukan oleh dua orang bersama-sama. Kemudian, didapatkan bukti berupa pisau, pentungan, obeng, dan masker.

Barang-barang tersebut, kata Syarif dapat dijadikan sebagai alat bukti untuk menjerat keduanya sebagai tersangka. Sebab, bukti-bukti tersebut dilakukan bersam-sama untuk membunuh.

Dengan itu, KPK juga bisa mempersangkakan pelaku lain dengan alat bukti yang sama. "Ini logika biasa, korupsi juga bisa. Misalnya, karena dilakukan bersama dan korupsi biasanya ga pernah dilakukan sendiri. Kalau membunuh bisa sendiri," kata Syarief.

 

Saksikan video pilihan di bawah ini:

 


Praperadilan Setya Novanto

Ada sejumlah pertimbangan yang dibacakan oleh hakim tinggal Cepi dalam sidang praperadilan Setya Novanto.

Di antaranya adalah penetapan tersangka Setya Novanto tidak sesuai prosedur sebagaimana KUHAP, UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dan referensi lainnya.

"Hakim berpendapat, penetapan tersangka di samping dua alat bukti juga ada pemeriksaan calon tersangka pada di akhir penyidikan, bukan di awal penyidikan," ucap Hakim Tunggal Cepi Iskandar, membacakan putusannya.

"Bahwa untuk menetapkan tersangka, penyelidik dan penyidik harus menghindari tergesa-gesa, kurang cermat yang sering kali tergelincir harkat martabat manusia seperti masa lalu," sambung Hakim Cepi.

Selain itu, Hakim Cepi juga menyebut surat perintah penyidikan dengan nomor Sprin.Dik-56/01/07/2017 tertanggal 17 Juli 2017 tidak sah.

Hakim Cepi menilai, alat bukti yang digunakan oleh penyidik KPK dalam menetapkan Novanto sebagai tersangka merupakan alat bukti dari hasil pengembangan tersangka lain, yaitu Sugiharto dan Irman.

Ia pun menimbang bahwa alat bukti yang sudah digunakan dalam perkara sebelumnya tidak bisa digunakan untuk menangani perkara selanjutnya.

Hakim Cepi menambahkan, proses pemeriksaan calon tersangka dapat mencegah terjadinya pelanggaran harkat martabat seseorang yang sesuai dengan hak asasi manusia dan perlakuan sama di muka hukum serta asas praduga tak bersalah.

Tag Terkait

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya