Bangladesh Akan Relokasi Seluruh Pengungsi Rohingya ke Satu Kamp

Bangladesh berencana memindahkan seluruh pengungsi Rohingya yang berjumlah 800.000 jiwa ke satu kamp besar.

oleh Rizki Akbar Hasan diperbarui 07 Okt 2017, 07:36 WIB
Pengungsi Rohingya bersama anaknya menunggu bantuan di DWIP Sha Porir di Teknef (20/9). Tentara Bangladesh diperintahkan untuk membantu ratusan ribu orang Rohingya yang telah melarikan diri dari kekerasan di Myanmar. (AFP Photo/Dominique)

Liputan6.com, Cox Bazar - Banglades berniat memindahkan seluruh pengungsi Rohingya yang berjumlah sekitar 800.000 jiwa ke dalam satu kamp besar, yang rencananya akan dibangun dalam waktu dekat.

Rencana itu dicanangkan oleh Doha sebagai salah satu solusi sapu jagad untuk menampung pengungsi yang terus berdatangan dari Rakhine, Myanmar. Demikian seperti dilansir CNN, Jumat (6/10/2017).

"Lahan seluas 3.000 hektar itu dipersiapkan di Kutupalong Refugee Camp, di Ukhia, Cox Bazar, untuk menampung 800.000 pengungsi dari Rakhine," ujar Kepala Manajemen Bencana Bangladesh, Mohammad Shah Kamal kepada CNN.

Mereka melakukan eksodus massal, usai konflik bersenjata antara pasukan Myanmar dengan kelompok militan ARSA yang pecah pada 25 Agustus lalu.

Saat ini, seluruh pengungsi dari Rakhine yang datang ke Bangladesh pasca-konflik bersenjata 25 Agustus tersebar di kamp berbeda di Cox Bazar. Dalam waktu dekat, mereka akan disatukan di kamp baru di Kutupalong, yang rencananya akan selesai pada penghujung Oktober ini.

Sebelumnya, Kutupalong telah menampung sekitar 300.000 pengungsi Rohingya yang datang dari Myanmar pra-konflik bersenjata 25 Agustus.


PBB Desak Pemulangan Rohingya Secara Aman dan Sukarela

Dalam sebuah pertemuan Dewan Keamanan PBB pada pekan lalu, berbagai pihak mendesak agar Myanmar dapat melakukan langkah nyata guna menyelesaikan krisis kemanusiaan dan pengungsi Rohingya.

Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres, yang hadir dalam pertemuan itu mengatakan kepada Dewan Keamanan, "rangkaian kekerasan di sana (Rakhine) telah sangat cepat berubah menjadi krisis darurat pengungsi, kemanusiaan, dan bencana hak asasi manusia." Demikian seperti dilansir CNN, Jumat 29 September 2017.

"Kami juga telah menemukan berbagai bukti miris mengenai nasib para pengungsi, terkhusus para perempuan, anak-anak, dan lansia," tambah Guterres.

Pada pertemuan itu, sang Mantan Perdana Menteri Portugal juga menyebut rangkaian peristiwa di Rakhine sebagai 'bentuk pemindahan kelompok etnis secara paksa dan berkesinambungan, yang dilakukan dengan berbagai aksi kekerasan serta intimidasi.'

"Kegagalan untuk menangani dapat menyebabkan rangkaian kekerasan yang sistemik itu meluas ke wilayah Rakhine lain. Dan, berpotensi menyebabkan sekitar 250.000 etnis Rohingya lain menjadi pengungsi susulan," tambahnya.

Ia juga menuntut Naypydaw untuk menghentikan operasi militer serta mampu menjamin pemulangan warga sipil yang mengungsi 'secara berkelanjutan, aman, sukarela, dan bermartabat.'

Guterres juga mendesak agar pemerintah Myanmar membuka segala akses untuk penyaluran bantuan kemanusiaan.

Hampir satu juta etnis Rohingya dan warga sipil lain melarikan diri dari Rakhine guna menghindari rangkaian aksi kekerasan, baik yang dilakukan oleh aparat keamanan negara maupun kelompok militan bersenjata.

Sebagian besar pengungsi Rohingya terkonsentrasi di Bangladesh, di mana berbagai bantuan kemanusiaan dari penjuru dunia telah berdatangan dan telah disalurkan kepada mereka yang membutuhkan.

Meski begitu, komunitas internasional mendesak pemerintah Myanmar melakukan aksi nyata untuk menghentikan rangkaian aksi kekerasan di Rakhine. Agar, warga sipil yang melarikan diri dapat kembali ke rumah mereka masing-masing secara sukarela dan aman.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya