Liputan6.com, Washington, DC - Usaha dunia dan Amerika Serikat untuk mengendalikan Korea Utara tampaknya tak menunjukkan tanda-tanda berhasil. Meski telah diberi sanksi baru dan jauh lebih berat, tak ada titik terang bahwa Korut akan menghentikan program nuklirnya.
Salah satu rasa frustrasi akibat belum ada tanda-tanda Korea Utara akan 'menyerah', Donald Trump kembali mengeluarkan pernyataannya... lewat Twitter.
Advertisement
Dalam pernyataannya yang 'menggantung' itu, 'seakan' Trump memberi kode tersembunyi bahwa aksi militer adalah satu-satunya cara yang akan berhasil untuk menghadapi Kora Utara. Demikian seperti dikutip dari The Independent pada Minggu (8/10/2017).
Presiden AS itu juga menambahkan bahwa pemerintahan sebelum dirinya,"telah berbicara dengan Korea Utara, tapi tak satupun berhasil."
"Para presiden dan pemerintahan mereka telah berbicara dengan Korea utara selama 25 tahun, sejumlah perjanjian dibuat dan sejumlah uang digelontorkan," tulis Trump dalam Twitternya.
"Tapi ternyata tak ada satupun yang berhasil, perjanjian dilanggar, membuat AS seperti negosiator bodoh. Sorry, hanya ada satu yang akan berhasil untuk menghadapi Korea Utara,"lanjutnya.
Pernyataan dalam Twitternya itu seakan memberi petunjuk tersembunyi bahwa aksi militer dianggap bisa melawan Korut. Namun, saat ditanya oleh wartawan dalam perjalanannya ke North Carolina, Trump mengatakan, "Tak ada yang harus saya klarifikasi."
Juru Bicara Gedung Putih, Sarah Sanders juga tutup mulut. Ia mengatakan, "Tak ada yang perlu ditambahkan terkait pernyataan presiden."
Kicauan Trump kali ini datang setelah ia mengkritik Menteri Luar Negeri Rex Tillerson. Menurut miliarder nyentrik itu, upaya untuk bernegosiasi dengan Korea Utara terkait dengan program nuklir dan rudal negara itu buang-buang waktu.
"Saya sampaikan ke Rex Tillerson, Menlu kita yang luar biasa, bahwa upayanya untuk bernegosiasi dengan Little Rocket Man buang-buang waktu," kicau Trump pada Minggu 1 Oktober kemarin.
Ia menambahkan, "Simpan tenaga Anda Rex, kita akan melakukan apa yang harus kita lakukan." Trump sendiri tidak menjelaskan maksud dari pernyataannya tersebut.
Little Rocket Man merupakan julukan yang diberikan Trump kepada pemimpin Korut, Kim Jong-un.
Pernyataan Opsi Militer Dibalas Rudal Korut ke Jepang
Sebenarnya, ancaman opsi militer pernah terang-terangan disebut oleh Trump pada 27 September 2017 lalu.
"Jika kita memilih opsi tersebut, maka akan sangat menghancurkan bagi Korut. Yang dimaksud itu adalah opsi militer," ujar Trump seperti dilansir CNN.
"Tingkahnya (Kim Jong-un) buruk sekali. Ia mengatakan sesuatu yang tidak seharusnya ia katakan," imbuh Presiden AS itu dalam sebuah konferensi pers yang dilakukannya bersama dengan Perdana Menteri Spanyol Mariano Rajoy.
Trump mengeluarkan peringatan tersebut setelah dua pejabat pertahanan AS mengungkapkan bahwa Korut telah memindahkan sejumlah kecil jet tempur dan rudal udara ke pangkalan militer mereka di pantai timur. Diduga, pergerakan yang tertangkap citra satelit AS ini menandai kesiapan tempur Pyongyang di sektor timur.
Namun, alih-alih takut, pada 29 September Korea Utara justru mempertontonkan kemampuan rudal balistiknyanya, saat meluncurkan misil diduga Hwasong-12 ke arah Samudera Pasifik, melintasi langit Jepang, pada Selasa, 29 Agustus 2017, pukul 5.58 waktu Pyongyang.
Apa yang sekilas terlihat sebagai sebuah peluncuran rudal yang dilakukan Korut pada target hampa itu, sejatinya 'tamparan keras' bagi Amerika Serikat, dan khususnya Presiden Donald Trump.
Stephan Haggard dari University of California di San Diego berpendapat, Korut telah memperhitungkan dengan sempurna aksinya. Tujuannya, untuk menciptakan kericuhan politik.
Dengan menembakkannya ke Samudra Pasifik, melewati Jepang, menurut Stephan, Korut mengirim sinyal politik yang kuat, mempertontonkan kemampuan program rudalnya, tanpa melewati 'garis merah' dan tanpa memancing tindakan militer AS.
"Jika Korea Utara meluncurkan misil ke selatan, AS akan menganggapnya sebagai provokasi dan meresponsnya dengan keras," kata Menteri Luar Negeri Jepang, Taro Kono seperti dikutip dari Washington Post.
Para analis berpendapat, uji coba rudal Korut menandai eskalasi yang mengkhawatirkan. "Ini adalah peluncuran yang jauh lebih berbahaya," kata Abraham Denmark, seorang mantan pejabat Pentagon yang kini menjabat sebagai Direktur Urusan Asia di Wilson Center.
Uji coba rudal yang dilakukan Korut telah diperhitungkan dengan sangat hati-hati untuk terbang nyaris lurus ke atas dan mendarat di laut antara Semenanjung Korea dan Jepang. "Rudal Korut memiliki kebiasaan untuk 'pecah' di tengah peluncuran, jadi jika ini terjadi dan bagian rudal jatuh ke Jepang, meski bukan disengaja, maka berarti itu menjadi serangan de facto terhadap Jepang," jelas Denmark.
Media AS lainnya, Time, menulis bahwa aksi agresif yang dilakukan oleh Pyongyang merupakan tindakan yang telag diperhitungkan dengan cermat untuk membungkam retorika kebijakan luar negeri Washington, Seoul, Tokyo, dan Beijing di Semenanjung Korea.
Advertisement