Kapal Pembawa Rohingya Tenggelam di Bangladesh, 12 Orang Tewas

Sebuah operasi penyelamatan tengah dilakukan untuk menyelamatkan Rohingya, yang menumpang di kapal terbalik di dekat pantai Bangladesh.

oleh Tanti Yulianingsih diperbarui 09 Okt 2017, 13:02 WIB
Ilustrasi pengungsi Muslim Rohingya. (AFP PHOTO/Fred Dufour)

Liputan6.com, Dhaka - Kapal yang dipenuhi oleh Muslim Rohingya yang melarikan diri dari kekerasan di Myanmar terbalik di dekat pantai Bangladesh. Sebuah operasi penyelamatan dilaporkan tengah berlangsung.

Seperti dikutip dari BBC, Senin (9/10/2017), sejumlah orang dilaporkan hilang akibat kecelakaan kapal di Sungai Naf pada Minggu 8 Oktober waktu setempat. Diperkirakan sekitar 100 orang -- termasuk anak-anak -- berada di dalamnya.

Sejauh ini, jumlah pasti para penumpang kapal yang terbalik Minggu 8 Oktober masih belum jelas. Petugas penjaga perbatasan Bangladesh memberikan perkiraan yang bervariasi dari 40 sampai dengan 100.

Sementara, pejabat setempat mengatakan mengatakan telah ditemukan jasad 10 anak, seorang wanita dan seorang pria.

Ini adalah insiden terbaru dari serangkaian kecelakaan kapal mematikan yang membawa migran Rohingya ke Bangladesh. Sekitar 60 orang diyakini telah meninggal dalam kejadian serupa pada akhir September.

Sementara banyak dari mereka melarikan diri melalui perbatasan darat, lainnya berusaha menyeberang melalui laut menggunakan kapal nelayan kecil dan reyot.

"Begitu banyak orang masih ingin berlayar dengan kapal yang sudah penuh sesak, di mana umumnya orang-orang tak dapat berenang. Mereka benar-benar membahayakan nyawanya di Bangladesh," kata juru bicara lembaga bantuan Save the Children, Evan Schuurman.

Puluhan Rohingya dilaporkan meninggal dunia saat mencoba menyeberang ke negara tetangga Bangladesh di tengah tindakan keras militer di negara bagian Rakhine, Myanmar.

Kekerasan meletus di Rakhine pada akhir Agustus, ketika gerilyawan Rohingya menyerang pos keamanan dan memicu sebuah respons militer.

Lebih dari setengah juta Rohingya -- minoritas Muslim yang sangat tidak disukai di Myanmar dan ditolak kewarganegaraannya -- telah melarikan diri ke Bangladesh sejak saat itu.

Mereka yang melarikan diri menuduh militer Myanmar yang didukung oleh massa Buddha, melakukan serangkaian pembunuhan dan pembakaran desa yang brutal untuk mengusir Rohingya.

Kendati demikian, sejauh ini militer menolak tuduhan tersebut, dengan mengatakan bahwa pihaknya menargetkan militan Rohingya.


Kapal Migran Mediterania Bantu Rohingya

Sementara itu, sebelumnya sebuah organisasi yang mengklaim telah menyelamatkan 40 ribu migran dari Mediterania, bergerak ke Asia untuk membantu warga Rohingya.

Organisasi yang bernama Migrant Offshore Aid Station (MOAS) itu, berangkat dari Malta dan telah melakukan operasi penyelamatan para migran sejak 2014.

MOAS mengambil keputusan tersebut setelah puluhan ribu warga Rohingya melarikan diri dari krisis kemanusiaan di Rakhine, Myanmar, ke Bangladesh. Menurut PBB, jumlahnya mencapai 87 ribu orang.

Kapal MOAS diperkirakan akan membutuhkan tiga minggu untuk sampai ke Teluk Benggala dan melakukan misi penyelamatan warga Rohingya.

"Kapal akan mengirimkan banyak bantuan kemanusiaan kepada warga Rohingya, dan akan bekerja dengan menyediakan platform untuk transparansi, advokasi, dan akuntabilitas di wilayah ini," ujar MOAS seperti dikutip dari BBC pada 5 September 2017.

Namun, langkah tersebut diambil MOAS di tengah ketidakpastian iklim migran di Libya.

Organisasi itu mengkhawatirkan bahwa Eropa akan menekan penghentian keluarnya migran dari Libya. Negara di Afrika utara itu menjadi tempat menyeberangnya para migran ke Eropa melintasi Laut Mediterania.

MOAS mengkhawatirkan bahwa dengan penghentian itu akan membahayakan nyawa para migran.

"Saat ini ada banyak pertanyaan tanpa jawaban, dan terlalu banyak keraguan tentang orang-orang yang terjebak atau dipaksa kembali ke Libya," ujar pendiri MOAS, Regina Catrambone.

"Kisah mengerikan mereka yang bertahan hidup, bagaikan mimpi buruk. Mereka mengalami penganiayaan, kekerasan, penyiksaan, penculikan, dan pemerasan," kata dia.

"MOAS tidak ingin menjadi bagian dari skenario di mana tak ada yang memperhatikan mereka yang mendapat perlindungan, dan hanya berfokus untuk mencegah mereka tiba di pantai Eropa tanpa pertimbangan nasib mereka terjebak di laut," ucap Catrambone.

Namun, Catrambone dan MOAS mengatakan bahwa mereka tidak ingin membiarkan apa yang telah mereka bangun selama tiga tahun menjadi sia-sia. Oleh karena itu, mereka memutuskan untuk memindahkan kapal mereka, Phoenix, ribuan kilometer untuk misi berikutnya.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya