Liputan6.com, Banyumas - Kabut tiba-tiba berarak mendekat kala rangkaian acara Grebeg Suran Curug Cipendok dimulai. Kabut-kabut itu bergelayut di pohon-pohon pakis dan mahoni yang bertumbuhan di kawasan Curug Cipendok.
Sabtu, 7 Oktober 2017, bertepatan dengan pasaran kliwon, masyarakat sekitar Curug Cipendok menggelar Grebeg Suran untuk memperingati Tahun Baru Jawa yang jatuh di bulan Sura. Namun, tahun ini Grebeg Suran tampak suram.
Larung sesaji yang didahului prosesi teatrikal "Wuru Banyu Butek" dan ritual "Caos Atur Ganda Wangi" itu berlangsung muram. Tebersit duka mendalam kuncen dan warga yang mengikuti prosesi ini.
Baca Juga
Advertisement
Musababnya, Curug Cipendok tak lagi suci. Curug Cipendok telah direnggut keperawanannya. Air yang selama ribuan tahun mengalir jernih, kini keruh. Benar-benar keruh sehingga lumpurnya mengotori batu dan tetumbuhan. Percikan air dan kabut air terjun setinggi 93 meter itu tak lagi melukiskan pelangi layaknya waktu yang sudah-sudah.
Perjalanan larung sesaji itu mesti melewati jalan bebatuan sepanjang 700-an meter. Dari jarak ratusan meter, angin kuat yang dihasilkan ribuan kubik air terjun itu terasa menghantam tubuh. Seolah, ini adalah murka Nyi Sudem, penunggu Curug Cipendok.
"Dari tadi tidak kabut. Tiba-tiba ada kabut. Pertanda apa ini? Itu yang harus dicari jawabnya," ujar Titut Edi Purwanto, seniman Banyumas yang tinggal di kawasan lereng Gunung Slamet.Nyai Sudem, yang bernama kehormatan Dewi Intan, merujuk pada curug berair bening laksana jutaan permata itu tentu kini bersedih. Air yang bisanya bisa untuk berkaca, tiba-tiba buram. Lumpur menyebabkan mata air Curug Cipendok pekat.
Titut mengisahkan, dampak eksplorasi pada proyek pembangkit listrik tenaga panas bumi di Gunung Slamet itu membuat Dewi Intan sempat mengungsi. Ia pun meniti pelangi ke Taman Kuwung, sebelah barat daya Curug Cipendok. Jaraknya lebih dari 5 kilometer. Di tempat itu, Dewi Intan meratapi nasibnya.
"Dewi Intan menangis karena alam dirusak. Kebayanya belepotan oleh lumpur," ujar Titut, di kesempatan terpisah, menceritakan pengelihatan mata batinnya.
Tangisan Dewi Intan atau Nyi Sudem itu adalah pertanda bahwa dampak PLTP tak hanya dirasakan manusia. Bahkan, makhluk-makhluk tak kasatmata pun terdampak, dengan caranya.
Saksikan video pilihan berikut ini!
Aksi Teatrikal Protes Keruhnya Curug Cipendok
Tiga bersaudara, Gareng, Petruk, dan Bawor kelimpungan. Mendadak, tanaman di lahan mereka layu dan membusuk. Hewan ternak dan ikan-ikan mati tanpa penyebab pasti. Alam, secara misterius, tiba-tiba tak bersahabat.
Belakangan mereka tahu, sumber air untuk menyiram dan memberi minum ternak mereka telah tercemar. Namun, mereka tetap saja tak paham, kenapa air yang biasanya jernih itu menjadi keruh. Mereka marah, bingung, dan kalut. Mereka ingin tahu penyebabnya.
Sayangnya, mata air itu berada jauh di ketinggian puncak yang tak terjangkau kemampuan. Mereka pun lantas mengadu kepada ayah mereka yang bijaksana, Semar. Namun, rupanya, Semar alias Semarmaya yang dikenal dengan kebajikan dan petuahnya, tak memiliki jawaban atas pertanyaan itu.
Hampir putus asa, mereka pun memaksa agar Semar, dengan kesaktiannya, mengajak mereka terbang menemui Bathara Dewa di Kayangan. Tak seperti yang dibayangkan, Bathara Guru yang diharapkan bisa menjawab teka-teki itu hanya diam membisu. Bathara hanya meminta agar mereka kembali ke Mayapada dan sabar serta memperbaiki perilaku hidupnya kala berhubungan dengan alam.
Atas petunjuk Semar, empat tokoh pewayangan yang lebih dikenal dengan punakawan itu pun menggelar prosesi "Caos Atur Ganda Arum". Prosesi itu ialah tanda bakti kepada alam dengan persembahan yang disertai dengan bunga tujuh rupa dan lambang-lambang kesejahteraan kehidupan. Upacara ini menggambarkan bahwa manusia mesti bersahabat sekaligus merawat alam.
"Belum. Bathara belum bisa menjawab. Ini masih di awang-awang. Adalah pertanda bahwa kerusakan itu disebabkan oleh manusia itu sendiri," kata sutradara aksi teatrikal bertajuk "Wuru Banyu Butek", Titut Edi Purwanto, ditemui usai pementasan di Curug Cipendok Kecamatan Cilongok, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, Sabtu, 7 Oktober 2017.
Dia mengatakan, aksi teatrikal berjudul "Wuru Banyu Butek" dan ritual budaya itu dilakukan untuk memprotes, sekaligus memperingatkan bahwa alam di lereng Gunung Slamet telah terganggu. Mereka memprotes dampak keruhnya Sungai Prukut dan aliran sungai lain di lereng selatan Gunung Slamet sejak eksplorasi Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Baturraden dimulai.
Titut menerangkan, pergelaran teatrikal itu menggambarkan bahwa masyarakat kebingungan menghadapi alam yang tiba-tiba berubah. Selama ratusan, bahkan ribuan tahun, masyarakat tak pernah mendapati sungai-sungai yang mengalir dari Gunung Slamet keruh. Sungai yang bermata air dari Gunung Slamet selalu bening dan menjadi sumber penghidupan.
"Kalau dalam kehidupan nyata, banyak masyarakat yang tidak tahu apa penyebab sungai menjadi keruh," ujarnya.
Adapun simbol Bathara Guru yang tak menjawab penyebab keruhnya air Curug Cipendok yang ditanyakan oleh punakawan, Titut berujar, bahwa itu melambangkan sikap pemerintah yang tak jelas dalam krisis berkepanjangan yang menimpa ribuan warga di Cilongok dan sekitarnya. Bahkan, ia sendiri mengaku tak pernah mendapati, pemerintah secara serius menjelaskan dampak-dampak poyek PLTP kepada alam dan masyarakat di daerah penyangga Gunung Slamet.
"Belum. Saya belum melihat. Nyatanya banyak yang tidak tahu," jelas dia.
Titut mengungkapkan, keruhnya aliran Cipendok atau Prukut itu menyebabkan banyak masyarakat terimbas. Ribuan orang di sejumlah desa mengalami krisis air bersih, budi daya perikanan terganggu, peternakan dan industri kecil terpaksa mencari sumber air bersih lainnya. Bahkan, sektor pariwisata yang menjadi urat nadi kehidupan warga Kawasan Cipendok pun nyaris berhenti total.
Advertisement
Senja kala Curug Cipendok
Koordinator Pengelola Curug Cipendok, Perum Perhutani Kesatuan Pembangku Hutan (KPH) Banyumas Timur, Kusharto, mengatakan, sejak Januari lalu, hampir tak ada wisatawan yang mengunjungi kawasan wisata yang dikenal dengan air terjun raksasanya itu. Dari tiket saja, pengelola Curug Cipendok sedikitnya rugi Rp 100 juta lebih.
"Itu dihitung dari 10 ribu pengunjung saja yang hilang dari Januari 2017, kita sudah rugi Rp 100 juta. Kita mencoba yang kecil saja ruginya," kata Kusharto.
Selain pendapatan dari tiket masuk, kunjungan wisatawan mampu menggerakkan sektor lainnya. Misalnya, penyewaan penginapan dan warung-warung makanan dan suvenir yang bertebaran di kawasan wisata yang yang dikenal dengan curug raksasanya itu.
"Dalam kondisi normal, akhir pekan dan hari libur penginapan selalu penuh. Kalau sepi ya otomatis tidak ada yang menginap," jelas dia.
Menurut Kusharto, mandeknya denyut pariwisata Curug Cipendok juga berimbas langsung pada mata pencaharian masyarakat yang menggantungkan pendapatannya dari sektor pariwisata.
"Justru ini yang harus dipikirkan. Masyarakat yang paling terdampak karena Curug Cipendok tidak lagi dikunjungi wisatawan," imbuhnya.
Dia meminta agar pelaksana proyek Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Baturraden memberikan ganti rugi kepada masyarakat yang selama berbulan-bulan kehilangan mata pencaharian. "Alangkah baik jika itu dipikirkan," ujarnya.