Liputan6.com, London - Inggris dilaporkan tengah mempersiapkan rencana demi menghadapi kemungkinan pecahnya perang seputar isu Korea Utara. Persiapan itu terjadi di tengah retorika Korut yang ingin mengirim rudal ke Amerika Serikat dan ancaman aksi militer balasan dari Negeri Paman Sam.
Di samping itu, beberapa hari terakhir, Korea Utara juga tengah diawasi secara saksama oleh sejumlah negara, seperti Inggris dan AS. Mereka khawatir, Pyongyang akan kembali melakukan uji coba misil pada Selasa esok, bertepatan dengan hari berdirinya Worker's Party of Korea, partai adikuasa di sana. Demikian seperti dikutip Telegraph, Senin (9/10/2017).
Retorika agresif yang dilontarkan Presiden AS Donald Trump turut semakin meningkatkan tensi terkait isu Korut, serta membuka lebar potensi perang yang terjadi antara kedua negara.
Atas sejumlah potensi konflik bersenjata dan berbagai permusuhan yang mungkin terjadi terkait situasi itu, Inggris dilaporkan tengah mempersiapkan opsi militer sebagai bentuk respons. Laporan itu disampaikan pertama kali oleh media Britania Raya, Daily Mail.
Baca Juga
Advertisement
Menurut laporan itu, salah satu langkah yang akan dilakukan oleh London adalah dengan mengirim kapal induk teranyar mereka, HMS Queen Elizabeth.
"Kami memiliki banyak kapal untuk dikirim, Type-45 Destroyers, Type-23 Frigates. (dan) Kapal induk terbaru Inggris dapat dikirim untuk bertugas lebih awal jika terjadi situasi yang buruk," jelas penasihat senior Kementerian Pertahanan Inggris kepada Daily Mail, seperti dikutip dari Telegraph.
HMS Queen Elizabeth, atau sebagaimana si pejabat menyebutnya sebagai 'kapal induk terbaru Inggris', memiliki kapasitas untuk menampung maksimal 36 jet tempur F35B Stealth Fighters atau sejumlah alutsista aviasi militer lainnya.
Kapal itu, yang baru berlabuh di Portsmouth Agustus lalu usai melakukan pelayaran uji coba, belum dijadwalkan untuk beroperasi hingga 2020.
Namun, potensi kapal itu untuk beroperasi lebih awal sebagai salah satu opsi respons militer Inggris terhadap isu Korut, mungkin saja terjadi. Mengingat, Britania Raya pernah melakukan hal persis pada Perang Falklands 1982.
"Saat Perang Falklands, kami harus bereaksi atas sebuah peristiwa, dan HMS Illustrious dipercepat untuk ditugaskan sebagai bentuk respons," kata salah seorang sumber dari AL Inggris kepada Daily Mail.
"Operasi di Falkland merupakan bentuk respons untuk melindungi teritorial Inggris. Kalau dalam kasus Korea Utara, Inggris mungkin akan tergabung dalam koalisi global. Maka kita akan membantu apa yang bisa kita lakukan," lanjutnya.
Pada Sabtu pekan lalu, Presiden Trump mengisyaratkan berencana untuk memilih opsi militer terhadap rezim Kim Jong-un, dengan mengatakan, "hanya ada satu cara".
"Berbagai presiden dan pemerintahan telah berupaya untuk berbicara dengan Korea Utara selama 25 tahun, perjanjian dibuat dan sejumlah besar uang dibayarkan (namun) tidak berhasil. Perjanjian dilanggar, tinta telah mengering, dan berbagai negosiator AS telah dibodohi. Maaf, namun hanya ada satu cara yang akan berhasil!," tutur sang presiden dalam akun Twitter pribadinya, @realDonaldTrump.
Ia juga sempat mengatakan akan menghancurkan Korea Utara, jika diperlukan, demi melindungi Negeri Paman Sam dan sekutunya dari ancaman nuklir Korut.
Pekan lalu, Sir Michael Fallon, Menteri Pertahanan Inggris mengatakan, Britania Raya harus meningkatkan pengeluaran militer untuk menghadapi ancaman dari Korea Utara. Alasannya, karena London pun tak luput dari ancaman rudal Pyongyang.
"AS berhak untuk mempertahankan teritorialnya sendiri, pangkalan militer, dan warganya. Namun, kami lebih dekat untuk dapat dijangkau misil (Korut) ketimbang Los Angeles," jelas Sir Michael Fallon.
Perang AS - Korut, Inggris Akan Turun Tangan?
Ketegangan antara Amerika Serikat dan Korea Utara saat ini begitu tinggi, sehingga pecahnya perang adalah "kemungkinan nyata" yang harus dipersiapkan oleh Inggris. Demikian peringatan yang dilontarkan oleh sebuah lembaga think tank pertahanan.
Konflik yang meletus antara Washington dan Pyongyang diperkirakan akan mengakibatkan ratusan ribu korban tewas, berdampak signifikan pada ekonomi global dan memiliki implikasi mendalam terhadap lanskap politik dan diplomatik Asia Timur. Hal tersebut diungkap dalam laporan Royal United Services Institute.
"Laporan ini tidak menyebutkan bahwa perang akan terjadi. Namun, probabilitas perang adalah prospek yang tidak menyenangkan," terang Profesor Malcolm Chalmers yang menulis laporan tersebut seperti dikutip dari Telegraph.co.uk pada Jumat, 29 September 2017.
Dunia menyaksikan bagaimana konflik antara Korut dan AS telah meningkat selama satu tahun terakhir, seiring dengan ambisi tiada henti Pyongyang atas program nuklir dan rudal yang dimaksudkan untuk mencapai "keseimbangan kekuasaan".
Serangkaian uji coba nuklir dan rudal Korut sepanjang tahun ini membuat pejabat AS khawatir, Pyongyang telah lebih dekat dengan pengembangan rudal balistik antarbenua yang mampu menghantam wilayah Negeri Paman Sam.
Donald Trump, selaku Presiden AS, sudah menegaskan bahwa opsi militer atas Korut berada di atas meja, meski di lain sisi tekanan dan upaya diplomatik terus digenjot.
Teranyar, pada hari Kamis waktu setempat, China memerintahkan agar seluruh perusahaan Korut yang beroperasi di wilayahya tutup per Januari 2018. Langkah ini dinilai akan memukul keras Pyongyang, mengingat Beijing merupakan sekutu dan mitra dagang utama mereka.
Adam Smith, mantan staf Dewan Keamanan Nasional di masa pemerintahan Barack Obama memperingatkan bahwa AS telah mencapai akhir upaya diplomatiknya dan sanksi terbaru bisa jadi yang terakhir.
"Kita hanya bisa berharap bahwa konsekuensi ekonomi bagi Korut atas sejumlah sanksi akan cukup memadai untuk membantu menghindari konflik yang tidak menstabilkan dunia," tulis Smith di Daily Telegraph.
Profesor Malcolm Chalmers dalam laporannya mengingatkan bahwa perang antara Korut dan AS dapat meletus akibat dua hal. Pertama, serangan pre-emptive AS yang bertujuan menganggu program senjata nuklir Korut. Kedua, serangan Korut ke Korea Selatan, Jepang atau bahkan wilayah AS.
Salah satu skenario dalam konflik bersenjata AS-Korut adalah kemungkinan itu akan meningkat menjadi perang skala penuh yang berujung pada invasi AS ke Korut, disertai dengan kampanye siber dan udara untuk menghancurkan serta menganggu komunikasi, komando, dan kontrol.
Korut kemungkinan akan meluncurkan serangan rudal artileri dan taktis ke Seoul yang akan memicu jatuhnya korban sipil dalam jumlah yang tinggi.
Laporan tersebut juga mengungkap bahwa pasukan AS dan Korsel yang berteknologi tinggi, kemungkinan akan mengalahkan jutaan tentara Korut dalam sebuah pertempuran yang sulit. Sementara, jenderal-jenderal Korut diperkirakan akan menggunakan taktik perang asimetris dengan penggunaan senjata nuklir demi melawan ketidakseimbangan kekuatan.
Profesor Chalmers pun meminta pemerintah Inggris untuk mendesak AS agar tidak mempertimbangkan untuk melakukan serangan lebih dulu terhadap Korut serta berkonsultasi dengan sekutu regional seperti Korsel, Jepang, dan Australia.
Saksikan video pilihan berikut ini:
Advertisement