Liputan6.com, Purwokerto – Malam Penganugerahan Festival Film Purbalingga (FFP) 2017 digelar Sabtu malam, 5 Agustus 2017 lalu di Alun-alun Purbalingga. Malam itu, kategori film fiksi terbaik direbut oleh film berjudul ‘Kesambet’ yang disutradarai Ilman Nafai, produksi Gerilya Pak Dirman Film dari SMA Negeri Rembang Purbalingga.
Di tengah kebahagiaan, terselip cerita pedih. Pasalnya, Gerilya Pak Dirman Film, kegiatan ekstra kurikuler di SMA Negeri Rembang, telah dibubarkan pihak sekolah tahun lalu, lantaran memproduksi film berlatar peristiwa 1965.
Padahal, dua film berlatar peristiwa 1965 yang diproduksi para pelajar berjudul ‘Kami Hanya Menjalankan Perintah, Jenderal’ untuk film dokumenter, dan ‘Izinkan Saya Menikahinya’ untuk kategori film fiksi, menyabet penghargaan Apresiasi Film Indonesia (AFI) 2016 dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI 2016 sebagai film terbaik kategori dokumenter dan fiksi tingkat pelajar.
Dua film juara itu disutradarai oleh Raeza Raenaldy Sutromo, pelajar Kelas XII SMA Rembang dan Ilman Nafai, adik kelasnya, yang kemudian menjuarai lagi ajang FFP 2017 dengan film berbeda.
Baca Juga
Advertisement
"Gembira bercampur sedih, ekskul sinematografi di SMA kami ada bahkan yang pertama di Purbalingga pada 2010. Belasan penghargaan diterima membawa nama baik sekolah dan Purbalingga," ujar Karyo, pemeran Parto dalam film “Kesambet” usai menerima penghargaan yang diberikan dari Bupati Purbalingga, Tasdi, Sabtu malam, 5 Agustus 2017.
Sementara, sang sutradara, Ilman Nafai menuturkan pembubaran ekskul Gerilya Pak Dirman Film itu bermula ketika dia dan kakak kelasnya, Raeza Raenaldy memproduksi film berlatar peristiwa 1965. Begitu diketahui pihak sekolah, mereka melarang para pelajar melanjutkan produksi. Selain itu, aparat berseragam dan berpakaian preman bolak-bolak mendatanginya.
Meski begitu, Ilman tak berhenti. Dia ingin menuntaskan misinya untuk meluruskan stigma yang tercap bahwa eks-PKI tak bertuhan lewat film yang disutradarainya.
"Saya tertarik dengan ’65 itu kan, gara-gara secara psikologi di saya sudah tertanam, bahwa orang komunis itu kan tidak beragama. Nah, ketika pertama kali ke Sekber ’65, ternyata mereka berdoa. Meski agamanya berbeda-beda, tetapi kan berarti mereka punya Tuhan," ucapnya.
Ia lantas mulai membesut film berjudul ‘Kami Hanya Menjalankan Perintah, Jenderal’ yang berisi cerita tiga bekas anggota pasukan Cakrabirawa asal Purbalingga yang pernah menjadi Tapol. Film ini bercerita tentang tiga anggota eks Cakrabirawa asal Purbalingga saat kejadian di malam tragedi itu dan hari-hari setelahnya.
Saksikan video pilihan berikut ini:
Dikemas Cerita Percintaan
Adapun kakak kelas Ilman, yang kini telah lulus, Raeza Raenaldy, memilih tema yang lebih populer, kisah percintaan salah satu cucu perempuan anggota Sekber ’65 Purbalingga yang seorang bidan.
Alkisah, sejak SMP, sang bidan telah membina jalinan cinta kasih dengan seorang remaja gagah. Hampir sembilan tahun cerita cinta itu. Namun, ketika akan menikah, sang kekasih tak mendapat izin dari Komandan Kodam.
Kisah cinta mereka mesti kandas di selembar penolakan izin menikah oleh komandan. Itu karena sang bidan menyandang beban sebagai cucu seorang komunis. Setting cerita terjadi pada 2014 lalu saat label ET alias eks Tapol yang semestinya sudah dihapus semasa Presiden Gus Dur, masih juga dipasang.
"Tulisan eks Komunis (ET) itu kan sudah dihapus oleh Presiden Gus Dur pada tahun 1999, kalau tidak salah. Masa di tahun 2014 masih saja tetap dipermasalahkan, kan aneh," kata Raeza Raenaldy.
Namun, rupanya ide cerita yang kuat itu tak cukup untuk meyakinkan sekolah untuk mendukung produksi film. Mereka tak mendapat restu sekolah.
Dua film ini kesulitan memperoleh pendanaan. Alat rekam untuk praktikum ekskul sinematografi juga ditarik oleh sekolah dan tak boleh digunakan.
Pihak sekolah justru membubarkan ekskul yang telah melahirkan jagoan-jagoan film yang berprestasi di tingkat nasional. Bahkan, ketika anak didiknya juara nasional sekalipun, sekolah tetap bergeming dan tetap membekukan ekskul Gerilya Pak Dirman Film.
Namun, Kepala Sekolah SMA Rembang, Purwito berkilah, ekskul sinemtografi di SMA Rambang dibubarkan karena tak masuk program prioritas 2016. Purwito berujar, penghentian itu sesuai dengan pertimbangan manajemen sekolah, tanpa menjelaskan pertimbangan macam apa yang diberlakukan.
"Bahasanya dihentikan boleh, bukan dihentikan juga boleh, bahasanya itu ya. Yang jelas, pada tahun ajaran baru 2016/2017 ini tidak masuk program. Kalau tidak salah (sudah dibekukan) Maret 2016. Kemudian, saya yakin, Anda akan bertanya ‘Lho, kenapa demikian?’, saya jawab bahwa persoalan manajemen itu yang harus dihargai," ujar Purwito.
Saat didesak apakah penghentian eksul sinematografi itu apakah karena ada tekanan tentara atau polisi, Purwito membantah. Namun, ia mengakui sempat bertemu dengan Komandan Komando Distrik Militer Purbalingga dan wakil Polres Purbalingga, khusus membicarakan soal film bernuansa peristiwa pasca-peristiwa 1965 itu.
"Boleh percaya, boleh tidak, tetapi saya kepala sekolahnya. Jadi kalau saya mengatakan tidak ada (tekanan), boleh saja publik tidak percaya," katanya.
Tak hanya menyambangi sekolah, tentara rupanya juga pernah menemui Raeza dan Ilman. Namun, baik Raeza maupun Ilman tak bisa menjelaskan maksud si tentara mendatangi mereka. Keduanya mengaku hanya dimintai keterangan soal film itu.
Ketika sekolah tempat Ilman Nafai bernaung membubarkan eksul, Direktur Hubungan Antar Lembaga Luar Negeri Bekraf Rossalis R Adenan justru mengakui bahwa film adalah salah satu subsektor ekonomi kreatif. Dia yakin, film memegang peran penting di masa depan.
"Film menjadi lokomotif subsektor ekonomi kreatif lain, karenanya, keberadaan Festival Film Purbalingga sangat strategis," ucap Rossalis.
Advertisement