Seperti Dwi Hartanto, Ini 5 Skandal Pemalsuan di Dunia Akademis

Skandal pemalsuan di dunia akademis seperti yang dilakukan Dwi Hartanto ternyata pernah terjadi sebelumnya. Berikut ini ulasannya.

oleh Alexander Lumbantobing diperbarui 09 Okt 2017, 20:20 WIB
Dwi Hartanto (Facebook/Dwi Hartanto)

Liputan6.com, Jakarta - Para peneliti universitas biasanya adalah sosok yang dihormati dan dipercaya sehingga mereka diberi 'derajat' kebebasan tertentu dalam melakukan tugasnya.

Umumnya di antara mereka memang layak mendapat kepercayaan tersebut, tapi ada saja yang mengkhianati keleluasaan yang telah diberikan. Misalnya melakukan manipulasi data penelitian, penggelapan dana, dan sejumlah hal lain mengingat keterbatasan dana hibah penelitian.

Bukan hanya dalam melakukan penelitian, tapi kecurangan pun terjadi ketika seorang calon mahasiswa peneliti berbohong tentang latar belakang pribadinya.

Seperti kabar mengejutkan baru-baru ini dari pengakuan Dwi Hartanto, seorang WNI mahasiswa pascasarjana di lembaga bergengsi TU Delft di Belanda.

Kecurangan penelitian maupun pengakuan latar belakang tentu saja bukan satu-satunya. Berikut ini 5 kasus pemalsuan akademis yang cukup mengguncang, diringkas dari onlineuniversities.com pada Senin (9/10/2017): 


1. Ahli Psikologi Diederik Stapel

Diederik Stapel. (Sumber Alchetron)

Ahli psikologi terkemuka di Belanda bernama Diederik Stapel dari Tillburg University kedapatan telah melakukan pemalsuan (fraud) akademis dalam beberapa publikasi.

Kepalsuan itu berlangsung selama beberapa dekade, termasuk dalam makalah-makalah tentang stereotip rasial, periklanan, dan kekuatan kemunafikan.

Karya-karya Stapel bukan hanya diterbitkan dalam jurnal-jurnal psikologi, tapi juga dalam pemberitaan dunia termasuk media ternama New York Times.

Saat skandal pemalsuan itu terbongkar, tesis-tesis doktoral di bawah bimbingannya pun dipertanyakan.

Serangkaian wawancara dengan mantan mahasiswa dan rekan-rekannya mengungka ada belasan tesis yang tak lagi berlaku, sehingga meruntuhkan reputasi gelar bekas mahasiswanya.

"Saya telah gagal sebagai ilmuwan maupun peneliti," kata Stapel mengakui kesalahannya kemudian.


2. Penelitian Kanker oleh Dr. Anil Potti

Anil Potti. (Sumber Alchetron)

Di akhir 2010, Dr. Anil Potti mengundurkan diri dari jabatannya di Duke Univesity. Langkah tersebut dilakukannya di tengah 'hujan' pertanyaan tentang pemalsuan penelitian.

Sementara kisah skandal pemalsuannya berlanjut hingga 2012.

Sebelum mengundurkan diri, terkuaklah bahwa Potti melebih-lebihkan latar belakangnya dan secara tak jujur mengaku sebagai sarjana penerima beasiswa Rhodes yang bergengsi.

Dengan alasan itu, pihak American Cancer Society membatalkan dana hibah senilai ratusan ribu dolar yang sedang dipersiapkan bagi penelitian Potti.

Sejak saat itu, sembilan makalah Potti tentang perawatan individual pada penderita kanker ditarik sehingga pupuslah harapan bagi mereka yang berharap mengandalkan "cara mujarab" penyembuhan darinya.

Karya Potti terdengar seperti mukjizat, sebab ia menjanjikan bahwa 80 persen pasien yang ikut dalam percobaan obatnya akan menemukan obat yang tepat.

Beberapa pasien yang ikut serta dalam penelitian Potti kemudian mengajukan gugatan hukum terhadapnya dan Duke University.

Di tengah prahara dugaan skandal pemalsuan, Potti terus melakukan tugas penelitian kanker. Melalui program televisi "60 Minutes" ia mengaku, "Pemikiran utama saya setiap saat adalah tentang perawatan pasien dan pencarian cara baru menyembuhkan kanker."


3. Penelitian Vaksin oleh Andrew Wakefield

Andrew Wakefield. (Sumber Pinterest)

Pada 1998, dokter Andrew Wakefield menerbitkan penelitian dalam jurnal bergengsi The Lancet. Temuannya mengkaitkan autisme dengan vaksin MMR (measles-mumps-rubella).

Penelitian itu sangat dihargai dan skandal yang dilakukannya telah menyebabkan penurunan kepercayaan publik terhadap vaksin tersebut. Alhasil, banyak orangtua yang menolak suntikan vaksin untuk anak-anak mereka.

Sebagai akibatnya, terjadi peningkatan jumlah kasus penyakit campak (measles) dan gondok (mumps) di Amerika Serikat dan Eropa. Bahkan, ada beberapa wilayah yang melaporkan wabah yang parah dan membahayakan.

Ketika dihadapkan pada investigasi tahun 2010, terungkaplah bahwa Wakefield dan rekan-rekannya mengubah fakta tentang anak-anak dalam penelitian mereka.

Pihak British General Medical Council mendapati Wakefield bersalah melakukan pemalsuan (fraud) dan perilaku tidak sepantasnya (misconduct).

Karyanya pun dipandang sebagai suatu "pemalsuan terencana". Akan tetapi, Wakefield masih bersikeras membela penelitiannya dan dengan kukuh menyatakan ia "tidak akan mundur".

 

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

 


4. Penelitian Sel Punca oleh Hwang Woo-suk

Hwang Woo-suk. (Sumber Columbia University)

Pada 2006, peneliti Korea Selatan bernama Hwang Woo-suk kedapatan merekayasa serangkaian eksperimen dalam penelitian tentang sel punca (stem cell), pahadal ia dipandang sebagai salah seorang pelopor dalam bidang tersebut.

Dulunya ia terkenal karena dua artikel dalam jurnal Science yang melaporkan keberhasilan menciptakan sel-sel punca janin melalui kloning. Namun, kemudian ia terkenal karena penipuan besar dan perilaku ilmiah yang tidak sepantasnya, di mana terungkap bahwa sebagian besar penelitiannya tentang sel punca adalah palsu belaka.

Hwang lalu didakwa dengan penggelapan dan pelanggaran undang-undang bioetik. Ia dijatuhi hukuman percobaan selama 2 tahun dan larangan terlibat dalam penelitian sel punca oleh pemerintah Korea Selatan.

Ia juga dipecat dari jabatannya di Seoul National University, tapi terus memimpin penelitian untuk menciptakan sel punca janin dari janin babi hasil kloning. Laboratorium yang dipimpinnya pun aktif menerbitkan tulisan melalui PubMed.


5. Pemalsuan Menggunakan Photoshop

Dipak K. Das. (Sumber University of Connecticut via CBS News)

Kabar tentang manfaat minuman anggur merah (red wine) menarik minat banyak orang, sehingga penelitian Dipak K. Das tentang umur panjang bagi para peminum wine terkait zat reservatrol pada anggur merah menjadi sorotan.

Das kemudian didakwa dengan pemalsuan meluas melalui 26 artikel dalam 11 jurnal terkait pemalsuan data dan penyertaan foto-foto tanpa menjelaskan apa yang telah dilakukannya.

Dana penelitian US$ 1 juta pun dikembalikannya kepada pemerintah federal AS.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya