Alasan 81 WNI Transfer Dana Rp 18,9 Triliun ke Singapura

Ditjen Pajak menyatakan ada beberapa alasan 81 WNI transfer dana US$ 1,4 miliar atau Rp 18,9 triliun lewat Standard Chartered ke Singapura.

oleh Fiki Ariyanti diperbarui 09 Okt 2017, 22:15 WIB
Ilustrasi Foto Pajak (iStockphoto)

Liputan6.com, Jakarta - Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak Kementerian Keuangan menyebut ada beberapa alasan 81 Warga Negara Indonesia (WNI) berbondong-bondong melakukan transfer dana US$ 1,4 miliar atau sekitar Rp 18,9 triliun dari Guernsey ke Singapura melalui Standard Chartered. Salah satunya karena takut harta kena intip petugas pajak setempat.

Direktur Jenderal (Dirjen) Pajak, Ken Dwijugiasteadi mengungkapkan, telah memperoleh Laporan Hasil Analisis (LHA) dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) sejak beberapa bulan lalu mengenai transaksi mencurigakan nasabah Indonesia melalui Standard Chartered senilai US$ 1,4 miliar.

"Dari LHA PPATK disebutkan ada beberapa alasan 81 WNI transfer dana US$ 1,4 miliar dari Guernsey ke Singapura melalui Standard Chartered," kata Ken di kantornya, Jakarta, Senin (9/10/2017).

Ken menuturkan, seluruhnya terkait dengan perpajakan. Alasan itu, Ia mengakui, bukan untuk menghindari pajak. Akan tetapi takut dengan otoritas pajak setempat karena Guernsey mulai akan memberlakukan skema pelaporan perpajakan global atau Common Reporting Standard (CRS).

"Dari LHA PPATK disebutkan bukan menghindar, tapi takut dengan pajak. Karena data informasi di Guernsey mau dilaporkan melalui CRS. Itu yang mereka takut dilaporkan ke pajak, padahal pajak sendiri sudah punya datanya," jelas Ken.

Alasan lainnya, Ken lebih jauh bilang, nasabah-nasabah itu melakukan transfer dana ke Singapura karena ingin ikut program pengampunan pajak (tax amnesty) di Indonesia. Dari data Ditjen Pajak, dari 81 WNI, sebanyak 62 di antaranya sudah ikut tax amnesty.

"Kalau ditanya untuk apa menarik dana di bank itu. Ada yang jawab dipindahkan ke Singapura karena mau ikut tax amnesty, dan itu benar," tutur Ken.

Namun demikian, Ken menegaskan Ditjen Pajak dapat memperoleh data atau informasi Wajib Pajak (WP) Indonesia kepada otoritas pajak Singapura meskipun Automatic Exchange of Information (AEoI) kedua negara diimplementasikan di 2018.

"AEoI Singapura-Indonesia baru 2018, tapi kamis udah bisa minta data tersebut, by request boleh. Kami akan lihat, apakah uang di sana sudah dipajaki atau belum. Kalau belum, ya kami lakukan sesuai peraturan perundang-undangan," tutur dia.

Saat ini, Ken bilang, Ditjen Pajak tengah melakukan pengecekan atau pemeriksaan data pajak 81 WNI tersebut. Baik untuk Wajib Pajak yang sudah ikut tax amnesty maupun yang belum. Targetnya selesai akhir bulan ini.

"Kami masih dalami yang sudah ikut tax amnesty, harta sudah seluruhnya dilaporkan ke Surat Pernyataan Harta (SPH) atau belum. Sedangkan sisanya saya belum periksa, masih diteliti. SPT dicek, SPT sebelum dan sesudah tax amnesty. Ini sudah separuh selesai (pemeriksaan). Targetnya akhir bulan ini selesai," ujar Ken.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:


Standard Chartered Diselidiki

Sebelumnya regulator di Eropa dan Asia tengah menyelidiki Standard Chartered Plc. Penyelidikan ini terkait kasus transfer dana nasabah dari Indonesia senilai US$ 1,4 miliar atau Rp 18,90 triliun (estimasi kurs 13.500 per dolar AS).

Dikutip dari Bloomberg, Minggu, 8 Oktober 2017, transfer tersebut dilakukan pada akhir 2015 dari Pulau Guernsey yang merupakan daerah di dekat Prancis ke Singapura.

Transfer tersebut menjadi perhatian otoritas keuangan di Eropa dan Asia karena dilakukan sesaat sebelum Guernsey mengadopsi aturan Common Reporting Standard (CRS) atau pertukaran data perpajakan global.

Sekitar 100 negara sepakat untuk bertukar informasi laporan tahunan tentang rekening milik orang-orang di setiap negara anggota untuk kepentingan pajak.

Otoritas Moneter Singapura, Otoritas Keuangan Inggris dan juga Komisi Jasa Keuangan Guernsey tengah mengelusuri rantai kejadian transfer dana yang diduga untuk menghindari aturan perpajakan yang baru tersebut.

Sayangnya, juru bicara Standard Chartered menolak untuk berkomentar. Sekretaris Otoritas Moneter Guernsey Dale Holmes pun juga menolak untuk berkomentar.

Ini bukan kasus pertama yang melibatkan lembaga keuangan internasional tersebut dengan Indonesia. Sebelumnya, Kejaksaan Amerika Serikat juga tengah menelusuri keterlibatan Standard Chartered yang diduga melakukan pembiaran terjadinya dugaan tindak pidana suap di Indonesia terkait kasus MAXPower. Diketahui kontraktor pembangkit listrik MAXPower merupakan bagian dari Standard Chartered.

Selain Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), kasus suap tersebut juga diselidiki oleh Federal Bureau of Investigation (FBI) usai Departemen Kehakiman Amerika Serikat mendapat laporan soal dugaan suap tersebut.

Dalam penyelidikan, terdapat indikasi pembayaran uang tidak wajar dari MAXPower ke pejabat Indonesia sejak tahun 2012 sampai akhir tahun 2015.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya