Liputan6.com, Singapura - Pohon berbatang ramping berdiri tegak di Singapore Botanic Gardens atau Kebun Raya Singapura. Tanaman Sunda Oak atau Pasang Batu (Lithocarpus sundaicus) itu baru sekitar sebulan di sana, tepatnya sejak 7 September 2017.
Ia ditanam oleh Perdana Menteri Singapura Lee Hsien Loong dan Presiden Indonesia Joko Widodo, untuk memperingati 50 tahun hubungan diplomatik kedua negara.
Baca Juga
Advertisement
"Pohon ini disebut 'RISING Tree'. RISING adalah singkatan dari Indonesia dan Singapura," kata Dr Gillian Khew, peneliti dari Orchid Breeding and Conservation Biotechnology Laboratory, yang memandu peserta Indonesia Journalist Visit Programme (IJVP).
Pokok yang juga disebut Mempening itu ditanam Jokowi pada hari kedua kunjungannya ke Negeri Singa, setelah acara lari pagi bersama PM Singapura, sebelum menyaksikan Joint Fly-Past antara TNI dengan Singapore Air Force di area Marina Bay Cruise Center.
Tak hanya pohon yang jadi 'alat diplomasi' Singapura. Dr Gillian Khew menyebutkan, pihaknya juga menggunakan angrek.
Sejak 1956, sejumlah tamu negara atau tokoh penting diabadikan menjadi nama anggrek hibrida atau persilangan.
Ada Dendrobium Margaret Thatcher, yang diambil dari nama mantan Perdana Menteri Inggris. Pemimpin berjuluk 'Iron Lady' itu pernah mengunjungi National Orchid Garden di Kebun Raya Singapura pada 1985.
Sejumlah pemimpin lain juga diabadikan sebagai nama anggrek seperti PM Inggris David Cameron, Kanselir Jerman Angela Merkel, Nelson Mandela, juga pasangan Barack dan Michelle Obama.
Juga ada anggrek yang menyandang nama Putri Masako, untuk memperingati pernikahannya dengan Putra Mahkota Jepang Naruhito pada 1993.
Anggota kerajaan lain yang dijadikan nama anggrek adalah pasangan Pangeran William dan Kate Middleton. Ada juga anggrek putih yang menyandang nama Putri Diana.
"Dendrobium memoria Princess Diana adalah anggrek yang kami kembangkan untuk memperingati wafatnya sang putri," kata Dr Gillian Khew.
Putri Diana tewas dalam kecelakaan tragis di sebuah terowongan di Prancis pada 22 September 1997.
Di antara anggrek yang mewakili sejumlah tokoh dunia, ada Dendrobium Tien Soeharto.
Bunga tersebut menyandang nama Ibu Tien, istri penguasa Orde Baru Soeharto. Ia mengunjungi Kebun Raya Singapura pada 1974.
Dalam buku Diplomacy of a Tiny State karya Lee Khoon Choy, dalam kunjungan tahun itu, Soeharto dan PM Singapura Lee Kuan Yew menandatangani sejumlah kesepakatan dan menggelar diskusi terkait banyak hal.
Sejak saat itu, kedua pemimpin bertemu dalam beberapa kesempatan. Hubungan kedua negara pun makin kuat dan bersahabat.
Nama Presiden ke-5 RI Megawati Soekarno Putri, Ibu Negara Ani Yudhoyono dan Iriana Jokowi juga diabadikan sebagai nama anggrek. Namun, dalam kunjungan peserta IJVP pada Jumat 6 Oktober 2017, tanaman-tanaman tersebut tak dipajang.
"Butuh waktu bertahun-tahun bagi sebuah anggrek hibrida untuk berbunga," kata Dr Khew, mengungkapkan alasannya.
Kode Rahasia di Tangga
Berdiri sejak 158 tahun lalu, Singapore Botanic Gardens menjadi pusat pelestarian dan pengembangan tanaman tropis.
Sejumlah pohon yang ada di sana menyandang status 'heritage' atau warisan sejarah.
Penentuan status itu bukan lantaran usianya. "Ada komite yang memutuskan mana pohon yang masuk kategori heritage atau bukan," kata Dr Khew.
Setiap pohon yang masuk kategori tersebut akan dipasangi lightning conductor atau penangkal petir. "Yang harganya senilai 30 ribu dolar Singapura. Untuk itulah kami memasang CCTV untuk mencegah pencurian," kata dia.
Selain tanaman, ada sejumlah bangunan bersejarah yang berada di area Kebun Raya Singapura. Misalnya gazebo Bandstand yang pada tahun 1930-an digunakan sebagai lokasi konser musik juga sebuah tangga yang ternyata menyimpan kode rahasia.
Tangga dari bata merah di area kebun raya dibangun oleh para tawanan perang asal Australia pada zaman pendudukan Jepang era 1942-1945.
Sebagai bentuk perlawanan, mereka membubuhkan goresan tanda panah di atas bata. Pihak Jepang mengiranya sebagai penunjuk arah, tak menyangka bahwa itu adalah kode rahasia.
"Kami juga baru mengetahuinya setelah mantan tawanan dari Australia berkunjung ke sini pada 1995 dan menceritakan arti di balik tanda tersebut," kata Dr Khew.
Para tawanan, yang jumlahnya delapan orang, datang pada Agustus 1995 dalam rangka 50 tahun berakhirnya Perang Dunia II.
Advertisement