Liputan6.com, Jakarta - Indonesia perlu mengurangi restriksi atau penghalang yang membuat sektor jasa tidak berdaya saing, mengambil kesempatan dari berbagai perjanjian internasional, dan memanfaatkan teknologi untuk mengembangkan ekonomi kreatif.
Kalau tidak, ketertinggalan dibanding negara-negara tetangga akan semakin banyak karena tidak kompetitif.
"Sektor jasa di Indonesia tumbuh dua kali lebih besar dibandingkan sektor industri lainnya. Secara porsi di perekonomian, sektor jasa kita bahkan lebih besar dibandingkan negara China yang kita kenal sebagai salah satu kekuatan ekonomi dunia saat ini. Oleh karena itu, pemerintah perlu terus merumuskan kebijakan yang memastikan bahwa pertumbuhan sektor jasa dapat mendukung sektor lainnya," kata Faisal Basri, ekonom Universitas Indonesia, dalam forum Indonesia Economic Outlook 2018 yang diadakan Indonesia Services Dialog (ISD) bekerja sama dengan Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Indonesia, beberapa waktu lalu yang ditulis Selasa (10/10/2017).
Baca Juga
Advertisement
Sektor jasa nasional masih bergantung pada impor, mengingat sektor ini belum menjadi penggerak utama perekonomian seperti lazimnya di negara-negara maju. Selain itu harus diakui kemampuan sektor jasa nasional masih belum cukup untuk memenuhi permintaan dan standar kebutuhan dalam negeri.
Data BPS tahun 2016 mencatat, sektor jasa nasional tumbuh sebesar 8,9 persen, di atas pertumbuhan ekonomi nasional di angka 5,02 persen. Kontribusi sektor jasa mencapai 64,7 persen.
Data BPS juga menyebutkan, kontribusi sektor jasa membuat PDB Nasional meningkat dari 45 persen pada 2010 menjadi 55 persen pada 2012. Selain itu, sektor jasa juga mampu menciptakan 21,7 juta lapangan pekerjaan dalam kurun waktu 2000—2010.
Namun, peran dan pertumbuhan yang signifikan itu masih jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan rata-rata negara ASEAN. Indonesia hanya mengalami pertumbuhan sebesar 43 persen, sedangkan rata-rata Negara ASEAN ada di atas angka 50 persen. Jaraknya sangat tinggi jika dibandingkan dengan Singapura yang mencapai angka 77 persen, Malaysia 60 persen, dan Filipina sebesar 53 persen.
Yos Adiguna Ginting, Chairman Dewan Pengurus ISD, menilai masih rendahnya ekspor jasa Indonesia juga dipengaruhi oleh minimnya insentif fiskal. Pada kuartal III 2016, Bank Indonesia merilis defisit perdagangan jasa mencapai US$ 4,5 miliar.
"Salah satu regulasi pajak di Indonesia tidak mendukung pertumbuhan industri jasa. Selain jasa maklon, jasa perbaikan dan perawatan barang bergerak, dan jasa konstruksi, ekspor jasa di Indonesia dikenakan PPN 10 persen. Apabila kita ingin neraca perdagangan jasa nasional surplus, maka sebaiknya pengenaan PPN 10 persen ini dihilangkan. Jangan sampai kita tertinggal lebih jauh lagi dari Malaysia, Singapura, Thailand, dan Vietnam, yang sudah lebih dahulu menghapus pengenaan PPN untuk ekspor jasa ini," tambah Yos Adiguna Ginting.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini: