Liputan6.com, Jakarta - Sosok Dwi Hartanto masih menjadi perbincangan hangat di Tanah Air. Namanya menjadi sorotan tajam setelah ia mengeluarkan dokumen lima lembar yang berisi pengakuan dan permintaan maaf atas sederet klaim prestasi palsunya.
Dwi adalah pria asal Yogyakarta kelahiran 1982. Meski sempat mengaku lulusan Tokyo Institute of Technology Jepang, ia sebenarnya meraih gelar S1 di Institut Sains dan Teknologi Akademi Perindustrian Yogyakarta.
Dengan beasiswa dari Kementerian Komunikasi dan Informatika, ia mendapatkan S2 di Delft University of Technology (TU Delft) di Belanda. Dwi kemudian mengambil S3 di kampus yang sama.
Menurut QS World University Ranking, pada 2017 posisi TU Delft naik dari 62 ke 54. Di Belanda, kampus tersebut menempati urutan teratas.
Baca Juga
Advertisement
Seorang lulusan TU Delft, Hafida Fahmiasari, mengungkap kehidupan perkuliahan di kampus tempat Dwi Hartanto menuntut ilmu itu.
Perempuan yang mendapat gelar Master of Transportation, Infrastructure, and Logistics di tahun 2016 tersebut mengungkap bahwa sistem kuliah di TU Delft berupa group work (kerja kelompok), written assignments (tugas tertulis), dan exam (ujian). Karena menggunakan sistem quarter, setiap dua bulan perkuliahan diadakan ujian.
Hafida mengaku, padatnya tugas dan kebutuhan untuk memahami materi kuliah membuat mahasiswa di sana hanya bisa tidur tiga hingga lima jam setiap harinya. Ia menambahkan, masa-masa menulis tesis adalah saat-saat paling penat.
"Rata-rata mahasiswa menghabiskan waktu di perpustakaan untuk memahami materi kuliah. Waktu tidur kami sehari hanya bisa 3-5 jam karena mengejar deadline assignments, paper, juga group works," ujar Hamida kepada Liputan6.com.
"Thesis bisa enam bulan bahkan ada yang sampai satu tahun. Di masa thesis itu biasanya paling penat karena berjibaku dengan revisi dosen yang sangat demanding (banyak tuntutan) dan dibutuhkan kualitas riset dan writing (penulisan) di atas rata-rata," ujar dia.
Menurut dia, tak sedikit mahasiswa yang overtime atau lulus tak tepat waktu dari durasi kuliah normal, yakni dua tahun.
Ketika ditanya soal persaingan antar mahasiswa, Hafida mengaku bahwa mahasiswa Indonesia sebenarnya merasa terbelakang dari para mahasiswa lain dari negara-negara maju Eropa dan India. Ia mengatakan, mahasiswa tersebut lebih menyeluruh pemahamannya dalam konsep keteknikan.
"Jika malah seseorang mahasiswa gila pengakuan, menurut saya itu adalah pelampiasannya dalam menghadapi kesulitan yang ia alami setiap hari, entah secara akademis atau masalah pribadi," ujar Hafida tanpa menjelaskan siapa si mahasiswa yang ia maksud.
Perempuan yang saat ini bekerja di World Bank sebagai Maritime Transport Consultant itu pun memberi tips agar mahasiswa dapat bertahan secara akademis dan mental dari tekanan tinggi kehidupan di sana.
"Mengikuti organisasi seperti PPI Belanda atau PPI Delft jika nyaman dengan mahasiswa sesama Indonesia, sebagai wadah menyalurkan keinginan berorganisasi juga berbagi kesulitan maupun cerita sehari-hari," kata Hafida.
"Juga yang penting menurut saya adalah traveling. Traveling di Eropa itu relatif murah jadi sangat membantu melepaskan penat dan menambah pengalaman hidup bagi saya. Atau juga banyak organisasi dengan mahasiswa internasional di TU Delft, maupun ekstrakulikuler seperti team rocket, solar panel car, atau himpunan mahasiswa fakultas atau jurusan," ucap dia.