Liputan6.com, Halmahera - Saat beranjak keluar dari pintu kamar Penginapan Marfa, Desa Saogimalaha, suara jangkrik dan burung masih terdengar merdu. Iramanya saling bergantian. Saat itu, Senin, 9 Oktober 2017, pukul 07.30 WIT, bersamaan dengan sinar matahari pagi yang jauh dari kebisingan kota.
Dari depan pintu penginapan di Kecamatan Kota Maba, ibukota Kabupaten Halmahera Timur itu, terdengar suara cangkul dari warga desa yang beraktivitas di pagi hari.
Advertisement
Kala Liputan6.com mendekati suara itu, rupanya seorang lelaki paruh baya sedang beraktivitas di taman.
Lelaki 43 tahun itu bernama Rasidun Daud, warga Desa Sangaji, Kecamatan Kota Maba. Rupanya, setiap pagi, ia rutin beraktivitas di sana.
Rasidun tidak sendiri. Ia bersama 29 rekannya melakukan rutinitas serupa. Setiap pagi dan sore, ia membersihkan taman sepanjang jalan pusat ibu kota kabupaten itu.
Mereka adalah pegawai honorer dari Dinas Lingkungan Hidup dan Pertamanan Halmahera Timur, Maluku Utara.
Rasidun menceritakan, setiap pagi dirinya menanam tanaman hias di sepanjang jalan Desa Soagimalaha.
"Sesuai jadwal itu mulai pagi jam 8 sampai makan siang. Saat sore jam 4 baru balik lagi. Kalau pagi, saya kadang-kadang datang lebih awal," kata dia.
Sejumlah taman di sana, menjadi tanggung jawab Rasidun. Rasidun beserta 29 timnya memastikan taman dalam keadaan bersih dan asri. Setidaknya selama satu tahun ini. Mereka digaji dengan jumlah yang tidak besar.
Rasidun mengaku, ia bersama rekan-rekannya masing-masing digaji Rp 1,5 juta per bulan. Mereka bertugas menanam, mengawasi dan membersihkan taman.
Tentu saja, gaji yang diperolehnya setiap bulan itu tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Belum lagi kebutuhan sekolah anak-anaknya.
Meski begitu, dia bersama rekan-rekannya tetap bertahan dan memilih pekerjaan tersebut demi mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari di rumah.
"Bagaimana mau cukup, di sini (Kecamatan Kota Maba) sembilan bahan pokok mahal-mahal. Sehingga uang segitu tidak cukup," kata dia.
Rasidun berharap adanya perhatian lebih dari Bupati dan Wakil Bupati Halmahera Timur untuk menaikkan gaji mereka. Karena biaya hidup di daerah itu sangat tinggi.
Rasidun adalah salah satu penduduk asli Maba. Dahulu, kata dia, sebelum perusahaan tambang nikel masuk menguasai lahan hutan, mereka bekerja sebagai petani. Namun saat lahan-lahan sudah dikuasai, kini mereka mencari pekerjaan lain.
"Ada yang mangail (menjadi nelayan) dan ada yang bekerja sebagai buruh di (perusahaan) tambang nikel. Tetapi saat perusahaan banyak yang tutup, perlahan banyak warga yang mencari ke luar. Ada yang ke Halmahera Tengah dan Ternate," kisahnya.
Saksikan video pilihan berikut ini!
Maba bak Kota Mati
Rasidun mengemukakan, aktivitas perekonomian di Kecamatan Kota Maba bak kota mati. Kota itu, kalah pamor dengan kecamatan-kecamatan yang lain di kabupaten itu.
"Bagaimana mau hidup ini ibu kota kabupaten, kalau seluruh aktivitas ekonomi berpusat di Buli (salah satu kecamatan di Halmahera Timur)," kata Rasidun.
Hal senada, dikatakan Hamza La Rudi, warga Desa Soagimalaha, bahwa perputaran roda ekonomi di kecamatan tersebut makin memprihatinkan.
"Kalau dulu ramai. Itu masih ada perusahaan-perusahaan kecil yang beroperasi. Pas pelarangan antar-ekpor mentah nikel langsung banyak perusahaan tutup," kata dia.
Pria yang sehari-hari bekerja sebagai sopir bentor itu mengatakan, pendapatannya dalam sehari kurang lebih Rp 150 ribu. Itu pun kalau hari Senin dan Selasa.
"Kalau dulu bagus, kita bawa bentor bisa dapat sampai Rp 300 ribu. Apalagi kalau rajin keliling bisa lebih. Tetap sekarang biasanya saya mulai beraktivitas pagi jam 7 sampai sore jam 6 paling Rp 150 ribu. Itu pun kalau rajin," kata dia.
Ibukota Kabupaten Halmahera Timur, memiliki enam desa, yakni Wailuku, Soagimalaha, Sangaji, Tewe, Mabapura, dan Desa Soalepo. Rata-rata penduduk di kecamatan ini berprofesi sebagai buruh kasar di perusahaan tambang nikel dan sebagiannya yang tinggal di pesisir berprofesi nelayan ikan kering.
Advertisement