Liputan6.com, Jenewa - Militer Myanmar dituduh melakukan aksi brutal yang melanggar hak asasi manusia terhadap setengah juta Muslim Rohingya di Rakhine utara. Tuduhan itu datang dari Kantor Komisi HAM PBB (OHCHR).
Dalam laporannya, OHCHR menyebut, tentara dan sejumlah warga sipil mayoritas membakar rumah, ladang, serta desa etnis minoritas itu, agar mereka melakukan eksodus massal dan tak kembali ke Burma. Demikian seperti dilansir media publik Selandia Baru, Radio New Zaeland (RNZ), Kamis (12/10/2017).
Laporan yang disusun dari kesaksian 65 pengungsi Rohingya di Cox Bazar, Bangladesh itu juga menjelaskan, tindak kekerasan itu ditujukan untuk 'menanamkan rasa takut dan trauma yang mendalam nan meluas' di antara etnis minoritas tersebut.
OHCHR juga menjelaskan, tindak kekerasan --yang oleh Naypydaw disebut sebagai operasi pembersihan-- itu telah terjadi sebelum konflik bersenjata 25 Agustus 2017.
Tindak kekerasan itu diduga meliputi pembunuhan, penyiksaan, dan kekerasan seksual. Sejumlah korban merupakan anak-anak.
Baca Juga
Advertisement
"Hampir semua kesaksian menunjukkan bahwa para korban ditembak dari jarak dekat atau dari belakang, sementara mereka mencoba melarikan diri dengan panik," kata laporan tersebut.
Jyoti Sanghera, Komisioner HAM PBB Wilayah Asia - Pasifik meminta pemimpin de facto Myanmar Aung San Suu Kyi beserta jajarannya untuk menghentikan segala tindak kekerasan yang terjadi.
Ia juga mendesak Naypydaw untuk menjamin agar para pengungsi dapat segera kembali ke rumah masing-masing, secara sukarela dan tanpa rasa takut akan persekusi serta eksekusi dari tentara atau warga sipil mayoritas.
"Jika desa-desa hancur total dan segala penghidupan telah hancur, yang kita takuti adalah mereka akan dipenjara atau ditahan di kamp-kamp," katanya dalam konferensi pers seperti dikutip RNZ.
Laporan berjudul 'Mission report of OHCHR rapid response missionto Cox’s Bazar, Bangladesh' itu kemudian melanjutkan, "Pasukan Myanmar sengaja menghancurkan properti keluarga Rohingya, permukimannya. Tujuannya untuk mengusir mereka dari dan mencegah kembali ke tempat tinggal masing-masing."
Pada kesempatan yang berbeda, Komisioner HAM PBB, Zeid Ra'ad al-Hussein mengamini hasil laporan tersebut.
"Tindakan yang dilakukan pemerintah tampak seperti taktik jahat untuk memindah paksa sejumlah besar orang tanpa kemungkinan bagi mereka untuk kembali."
Sementara itu, Thomas Hunecke, kepala tim yang menyusun laporan OHCHR tersebut menjelaskan, ia dan rekan belum menemukan bukti kuat untuk mengasosiasikan segala peristiwa yang dialami Rohingya di Rakhine sebagai sebuah genosida.
Akan tetapi, Hunecke menegaskan, "Namun hal itu tetap tidak mengurangi keseriusan situasi yang dihadapi oleh populasi Rohingya."
Bangladesh Akan Relokasi Seluruh Pengungsi Rohingya
Banglades berniat memindahkan seluruh pengungsi Rohingya yang berjumlah sekitar 800.000 jiwa ke dalam satu kamp besar, yang rencananya akan dibangun dalam waktu dekat.
Rencana itu dicanangkan oleh Doha sebagai salah satu solusi sapu jagad untuk menampung pengungsi yang terus berdatangan dari Rakhine, Myanmar. Demikian seperti dilansir CNN, Jumat 6 Oktober 2017.
"Lahan seluas 3.000 hektar itu dipersiapkan di Kutupalong Refugee Camp, di Ukhia, Cox Bazar, untuk menampung 800.000 pengungsi dari Rakhine," ujar Kepala Manajemen Bencana Bangladesh, Mohammad Shah Kamal kepada CNN.
Mereka melakukan eksodus massal, usai konflik bersenjata antara pasukan Myanmar dengan kelompok militan ARSA yang pecah pada 25 Agustus lalu.
Saat ini, seluruh pengungsi dari Rakhine yang datang ke Bangladesh pasca-konflik bersenjata 25 Agustus tersebar di kamp berbeda di Cox Bazar. Dalam waktu dekat, mereka akan disatukan di kamp baru di Kutupalong, yang rencananya akan selesai pada penghujung Oktober ini.
Sebelumnya, Kutupalong telah menampung sekitar 300.000 pengungsi Rohingya yang datang dari Myanmar pra-konflik bersenjata 25 Agustus.
Saksikan video pilihan berikut ini:
Advertisement