Liputan6.com, Jakarta - Komisi III DPR mencecar Kapolri Jenderal Tito Karnavian terkait aturan pemanggilan paksa mantan anggota Komisi II DPR Miryam S Haryani. Beberapa waktu lalu, Panitia Khusus (Pansus) Hak Angket Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pernah meminta Polri untuk memanggil paksa Miryam S Haryani ke DPR, tetapi ditolak oleh Kapolri.
"Yang kami sayangkan di Undang-undang (MD3) itu tertera Kepolisian RI, sehingga perintah Undang-Undang ke sana. Kalau di Undang-undang perintahnya Pamdal, kami enggak akan minta bantuan Polri," ujar Ketua Komisi III DPR Bambang Soesatyo saat rapat bersama Kapolri di Kompleks Parlemen Senayan Jakarta, Kamis (12/10/2017).
Advertisement
Wakil Ketua Komisi III DPR Desmond Mahesa mengatakan, Polri dalam wilayah pelaksanaan hukum tidak boleh menerjemahkan makna dari hukum itu sendiri. Polri dalam hal ini terlihat seperti menafsirkan Undang-Undang.
"Ada kecenderungan Pak Kapolri menerjemahkan Undang-Undang. Tugas polisi adalah melaksanakan hukum," kata Desmond.
Anggota Komisi III DPR yang juga Ketua Pansus Angket KPK Agun Gunandjar Sudarsa menambahkan, pemanggilan paksa ini bukanlah ranah pidana yang membutuhkan hukum acara.
"Ini ranah hukum tata negara yang dalam konteks hukum tata negara," jelas Agun.
Sementara itu, Tito mengatakan, sepanjang Undang-Undang tegas dan eksplisit, maka tidak akan ada keraguan Polri melaksanakannya. Terkait soal pemanggilan paksa ini, ia mengaku akan mempertimbangkan dengan membahasnya bersama para pakar di internal kepolisian.
"Jadi persoalannya mungkin pada saat pembuatan undang-undang juga tidak lengkap. Coba saja ada satu ayat, satu pasal menyampaikan bahwa teknis acara pemanggilan paksa dan penyanderaan disesuaikan dengan KUHAP," tegas Tito.
Penolakan Kapolri Tito
Kapolri Jenderal Tito Karnavian tegas menolak permintaan Pansus Hak Angket KPK untuk menjemput paksa Miryam S Haryani, tersangka yang menghambat penyidikan e-KTP.
"Kalau ada pemintaan dari DPR (jemput paksa), saya sampaikan kemungkinan besar tidak bisa dilaksanakan," kata Tito di Gedung KPK, Senin 19 Juni 2017.
Menurut Tito, tidak ada landasan yang melegalkan Polri untuk menjemput paksa seseorang demi kepentingan Pansus DPR. Terlebih, itu menyangkut kasus yang tengah ditangani KPK. "Ada hambatan hukum, sekali lagi hukum acara. Ada kerancuan hukum," terang Tito.
Jemput paksa kepolisian adalah bersifar projusticia dan didasari pada Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Tito menyarankan Pansus Angket KPK untuk meminta fatwa Mahkamah Agung guna memperjelas terkait permintaanya tersebut ke Polri. "Dari DPR bisa meminta fatwa ke Mahkamah Agung, biar lebih jelas," kata Tito.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Advertisement