KPK Telah Periksa 39 Saksi Kasus BLBI

Namun, Syafruddin Arsyad Temenggung baru diperiksa KPK satu kali, sejak ditetapkan sebagai tersangka SKL BLBI.

oleh Liputan6.com diperbarui 13 Okt 2017, 08:38 WIB
Puluhan massa Barisan Rakyat Sikat Koruptor (BRSK) melakukan aksi di depan gedung KPK, Jakarta, Selasa (26/8/14). (Liputan6.com/Miftahul Hayat)

Liputan6.com, Jakarta - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah memeriksa 39 saksi dalam penyidikan kasus Surat Keterangan Lunas Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (SKL BLBI) yang diterbitkan untuk Bank Dagang Negara Indonesia pada 2004.

"Hingga hari ini, total sekitar 39 saksi telah diperiksa untuk tersangka Syafruddin Arsyad Temenggung dalam kasus tersebut," kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah di Jakarta, Kamis 12 Oktober 2017.

Namun, Syafruddin Arsyad Temenggung baru diperiksa satu kali sejak ditetapkan sebagai tersangka kasus SKL BLBI. Pemeriksaan itu dilakukan pada 5 September 2017.

Saat itu, kata dia, penyidik baru menggali informasi tentang pengangkatan, tugas dan fungsi tersangka sebagai mantan sekretaris Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) dan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN).

"Pada pemeriksaan selanjutnya direncanakan baru akan masuk materi utama," ucap Febri seperti dilansir dari Antara.

Sebelumnya, berdasarkan audit investigatif Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI, kerugian keuangan negara kasus indikasi korupsi terkait penerbitan SKL BLBI terhadap BDNI sebesar Rp 4,58 triliun.

Febri menyatakan, KPK telah menerima hasil audit investigatif itu tertanggal 25 Agustus 2017 yang dilakukan BPK terkait perhitungan kerugian negara dalam perkara tindak pidana korupsi pemberian SKL kepada pemegang saham pengendali BDNI tahun 2004 sehubungan dengan pemenuhan kewajiban penyerahan aset oleh obligor BLBI kepada BPPN.

"Dari laporan tersebut, nilai kerugian keuangan negara sebesar Rp4,58 triliun dari total kewajiban penyerahan aset oleh obligor BLBI kepada BPPN sebesar Rp4,8 triliun," tuturnya.

Menurut Febri, dari hasil audit investigatif BPK itu disimpulkan adanya indikasi penyimpangan dalam pemberian SKL pada BDNI, yaitu SKL tetap diberikan walaupun belum menyelesaikan kewajiban atas secara keseluruhan.

"Nilai Rp 4,8 triliun itu terdiri dari Rp 1,1 triliun yang dinilai sustainable dan ditagihkan kepada petani tambak. Sedangkan Rp 3,7 triliun tidak dilakukan pembahasan dalam proses restrukturisasi yang menjadi kewajiban obligor yang belum ditagihkan," kata Febri.

Sebelumnya berdasarkan perhitungan BPK, hanya Rp 220 miliar yang kemudian benar-benar tidak menjadi bagian dari indikasi kerugian keuangan negara tersebut.

"Sehingga dari total Rp 4,8 triliun, indikasi kerugian keuangan negaranya adalah Rp 4,58 triliun. Jadi, ini satu langkah yang penting saya kira dalam penanganan kasus indikasi korupsi BLBI ini, audit kerugian keuangan negara sudah selesai dan proses pemeriksaan saksi-saksi akan kami lakukan lebih intensif ke depan," ujar Febri.

Saksikan video pilihan di bawah ini:

 


Inpres

Pada kasus itu, KPK telah menetapkan mantan Kepala BPPN Syafruddin Arsyad Temenggung sebagai tersangka kasus dugaan tindak pidana korupsi dalam pemberian SKL kepada Sjamsul Nursalim.

SKL diterbitkan berdasarkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 8 Tahun 2002 tentang pemberian jaminan kepastian hukum kepada debitor yang telah menyelesaikan kewajibannya atau tindakan hukum kepada debitor yang tidak menyelesaikan kewajibannya berdasarkan pemeriksaan Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham (PKPS).

Inpres itu dikeluarkan pada saat kepemimpinan Presiden Megawati Soekarnoputri yang juga mendapat masukan dari Menteri Keuangan Boediono, Menteri Koordinator Perekonomian Dorodjatun Kuntjara-djakti dan Menteri BUMN Laksamana Sukardi.

Berdasarkan Inpres tersebut, debitur BLBI dianggap sudah menyelesaikan utang, meski baru melunasi 30 persen dari jumlah kewajiban pemegang saham dalam bentuk tunai dan 70 persen dibayar dengan sertifikat bukti hak kepada BPPN.

Syafruddin diduga mengusulkan pemberian Surat Pemenuhan Kewajiban Pemegang Saham atau SKL kepada Sjamsul Nursalim selaku pemegang saham atau pengendali Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI) pada 2004.

Syafruddin mengusulkan SKL itu untuk disetujui Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) dengan melakukan perubahan atas proses ligitasi kewajiban obligor menjadi restrukturisasi atas kewajiban penyerahan aset oleh BDNI ke BPPN sebesar Rp 4,8 triliun yang merupakan bagian dari pinjaman Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).

Sehingga hasil restrukturisasinya adalah Rp 1,1 triliun dapat dikembalikan dan ditagihkan ke petani tambak sedangkan Rp 3,7 triliun tidak dilakukan pembahasan dalam proses restrukturisasi. Artinya ada kewajiban BDNI sebesar Rp 3,7 triliun yang belum ditagihkan dan menjadi kerugian negara.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya