Putusan MA Tak Ganggu Investasi Infrastruktur Air Minum

Partisipasi badan usaha swasta dalam proyek infrastruktur air bersih memang masih sangat dibutuhkan.

oleh Arthur Gideon diperbarui 15 Okt 2017, 07:12 WIB
Petugas mengecek Instalasi Pengolahan Air di Pulogadung, Jakarta, Selasa (12/5/2015). BPK mendapati pemborosan air bersih senilai Rp791,2 miliar di 102 pemerintah kabupaten, kota dan PDAM (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Liputan6.com, Jakarta - Keluarnya putusan Mahkamah Agung Nomor 31K/PDt/2017 tentang sengketa pengelolaan air minum di Jakarta tidak akan mengganggu dan mempengaruhi proyek infrastruktur air minum yang sedang digarap oleh pemerintah.

Direktur Sektor Air dan Sanitasi Komite Percepatan dan Penyediaan Infrastruktur Prioritas (KPPIP) Henry BL Toruan menjelaskan, keputusan MA ini hanya mempertegas putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tahun 2015 yang menganulir UU Nomor 7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air dan kembali kepada UU nomor 11/1974 tentang Pengairan.

Sementara semua Proyek Prioritas maupun Proyek Strategis Nasional (PSN) yang menjadi tanggung jawab KPPIP sudah mengikuti putusan MK tersebut.

“Putusan MA ini bukanlah sesuatu yang baru. Sejak keluarnya putusan MK yang mencabut UU no.7/2004 tentang Sumber Daya Air dan akhirnya kita kembali pada UU no.11/1974 tentang Pengairan, semua proyek SPAM sudah berlandaskan pada putusan MK tersebut,” ujar Henry seperti dikutip dari keterangan tertulis, Minggu (15/10/2017).

Pasca keluarnya putusan MK itu, pemerintah kemudian menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) No 121 Tahun 2015 tentang Pengusahaan Sumber Daya Air dan PP Nomor 122 Tahun 2015 tentang Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM) yang didasarkan pada UU Nomor 11/1974.

Baik PP 121/2015 maupun PP 122/2015 membolehkan adanya keterlibatan badan usaha swasta dalam pengusahaan sumber daya air dan sistem penyediaan air minum.

Dalam kedua PP tersebut, partisipasi badan usaha swasta memang dibatasi hanya pada pengolahan air. Sementara untuk penguasaan air baku di hulu maupun distribusi air hingga ke masyarakat di hilir tetap dipegang oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN) atau Badan Usaha Milik daerah (BUMD).

“Ini menunjukkan bahwa kekuasaan atas sumber daya air tetap berada di tangan negara,” ujar Henry.

Partisipasi badan usaha swasta dalam proyek infrastruktur air bersih memang masih sangat dibutuhkan. Keterbatasan anggaran negara menuntut partisipasi swasta dalam proyek pembangunan. Hal itu untuk meningkatkan rasio cakupan layanan (service coverage ratio) air bersih di masyarakat.

Service coverage ratio air bersih di beberapa wilayah masih rendah sekitar 60 persen,” ujar Henry.

Melalui partisipasi swasta terutama dalam investasi pembangunan Instalasi Pengolahan Air (IPA) diharapkan dapat meningkatkan cakupan layanan tersebut.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:


Putusan MA

Sebelumnya, Mahkamah Agung telah mengabulkan permohonan 12 warga DKI dari pemerhati, aktivis, dan konsumen air minum. Mereka melakukan kasasi terhadap putusan Pengadilan Tinggi Jakarta Nomor 588/PDT/2015/PT DKI tentang kebijakan swastanisasi air minum air di Jakarta.

Mereka yang tergugat adalah PT Aetra Air Jakarta, PT PAM Lyonnaise Jaya, Pemerintah Pusat dan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, serta DPRD DKI, dan Perusahaan Daerah Air Minum Provinsi DKI.

"Menyatakan para tergugat lalai dalam memberikan pemenuhan dan Perlindungan Hak Asasi Manusia atas air terhadap warga negaranya, khususnya masyarakat DKI Jakarta," demikian bunyi putusan MA yang dipimpin Ketua Majelis Hakim Nurul Elmiyah, seperti yang diterima Liputan6.com, Kamis (12/10/2017).

Dalam putusan itu juga dinyatakan para tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum karena menyerahkan kewenangan pengelolaan air Jakarta kepada pihak swasta dalam wujud Pembuatan Perjanjian Kerja Sama (PKS) tertanggal 6 Juni 1997 yang diperbaharui pada 22 Oktober 2001 yang tetap berlaku dan dijalankan hingga saat ini.

"Menyatakan Para Tergugat telah merugikan Pemerintah Daerah DKI Jakarta dan masyarakat DKI Jakarta," tulis putusan itu.

Bukan hanya itu, MA juga memerintahkan para tergugat untuk menghentikan kebijakan swastanisasi air minum di Provinsi DKI, mengembalikan pengelolaan air minum di Provinsi DKI Jakarta sesuai dengan Peraturan Daerah Nomor 13 Tahun 1992 dan peraturan perundang-undangan lainnya.

"Melaksanakan Pengelolaan Air Minum di Provinsi DKI Jakarta sesuai prinsip dan nilai-nilai hak asasi atas air, sebagaimana tertuang dalam Pasal 11 dan 12 Kovenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya," jelas putusan MA.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya