Liputan6.com, Paris - Nama seorang wanita terus berkumandang bahkan satu abad setelah kematiannya di hadapan regu tembak pada 15 Oktober 1917. Sampai sekarang pun beberapa pertanyaan terus terngiang di telinga.
Siapakah wanita itu,Mata Hari? Apakah dia seorang mata-mata yang lihai, pembohong ulung atau sekadar wanita jalang?
Apakah ia dikucilkan sehingga merombak identitas dan hidup dari khayalan dan seksualitas sebagai seorang korban dari cara pandang lelaki dan kambing hitam bagi suatu kegagalan militer?
Seperti dikutip dari The Daily Beast pada Senin (16/20/2017), tidak ada satu pun hal tentang Mata Hari yang sederhana dan jelas, dari dulu hingga sekarang. Cerita, legenda, dan intrepretasi tentang dirinya merebak melalui buku dan film.
Baca Juga
Advertisement
Pada 1931, tokoh Mata Hari diperankan oleh bintang layar Greta Garbi dan Marlene Dietrich dalam film-film yang didasarkan kepada kisahnya.
Ratusan buku pun telah diterbitkan, baik dalam bentuk biografi, novel, fiksi sejarah, non-fiksi, dan erotis. Bahkan komik dibuat untuk mengisahkan sosoknya.
Restoran dan bar Mata Hari bermunculan di Prancis dan Jerman. Bahkan ada peringatan 100 tahun kematiannya di Fries Museum di Leeuwarden, Belanda.
Masa Lalu yang Pahit
Janda cerai kelas menengah Belanda yang aslinya bernama Margaretha Zelle MacLeod itu mungkin sudah lama meninggal. Tapi sosoknya sebagai Mata Hari, seorang wanita perayu sekaligus penari erotis, tetap hidup abadi.
Pada 5 Juni 1917, wanita itu menulis surat kepada Kapten Pierre Bouchardon, demikian, "Mata Hari dan Madame Zelle MacLeod adalah dua wanita yang berbeda sama sekali."
Kapten Bouchardon adalah hakim militer yang melakukan investigasi kasusnya. Surat itu sendiri menjadi bagian dari arsip yang disimpan dalam Service Historiques de la Défense di pinggiran Paris.
"Dalam masa perang sekarang ini, menurut paspor saya wajib hidup dan menjadi Zelle, tapi bukan itulah wanita yang dikenal orang-orang. Bagi saya, saya menganggap diri saya Mata Hari."
Sekiranya bukan karena obsesinya terhadap uang, ketenarannya mungkin tidak berlangsung lama dan namanya tidak kita ketahui sekarang. Tapi, beberapa kali ia terjerumus ke dalam kemelaratan sedemikian rupa sehingga membekas dalam jiwanya.
Ditambah lagi dengan kebiasaannya membuat keputusan yang sembarangan dan hubungan yang berduri sehingga membawanya ke tengah pergulatan budaya dan kebangsaan.
Ketika berusia 13, ayahnya yang cukup berhasil mengumumkan pailit dan meninggalkan keluarganya. Ibunya mengalami keruntuhan jiwa dan Margaretha sendirian dalam membesarkan tiga adiknya.
Pada usia 16, ketika sedang belajar di sekolah pelatihan guru untuk masa depan sebagai pengajar, ia melakukan perselingkuhan dengan kepala sekolah yang berusia 51 tahun.
Margaretha dikeluarkan dari sekolah, tapi sang kepala sekolah terus melanjutkan hidupnya. Mungkin inilah pelajaran pertamanya tentang skandal, yaitu bahwa wanita akan dipersalahkan. Ia menelan pengalaman itu.
Advertisement
Menikah dan Pindah ke Jawa
Pada 1895, ia menemukan seorang suami. Menurut buku biografi terkini "A Tangled Web" karya Mary W. Craig, pria bernama Rudolf MacLeod yang saat itu berusia 39 tahun adalah seorang letnan dalam kedinasan kolonial Belanda yang ditugaskan di Hindia Belanda (sekarang Indonesia).
Untuk naik pangkat, ia memerlukan seorang istri, tapi ia mengidap sipilis sehingga tidak diberikan izin menikah. Letnan itu memutar akal dan memasang iklan mencari istri dalam koran Belanda.
Iklan itu dijawab oleh seorang Margaretha Zelle yang saat itu berusia 18 tahun. Wanita itu setuju menikahi sang perwira hanya 6 hari setelah berjumpa. Ia tidak menyadari apa yang menunggu di kemudian hari.
Dalam waktu 3 tahun, pasangan itu dikaruniai dua orang anak – lelaki dan perempuan – tapi pernikahan mereka mulai retak dalam suasana penugasan di pos terpencil di Jawa Tengah. MacLeod adalah seorang pemabuk, penjudi, dan memiliki banyak selingkuhan. Yang terparah, ia sering memukuli istrinya dengan kejam.
Untuk hiburan, Margaretha mengamati para hambanya bersuku Jawa melakukan tarian di kebun. Tak lama kemudian, ia mempelajari gerak-gerik tarian yang menggoda dan menari bersama para pekerja.
Keluarganya kemudian dipindahkan ke Sumatra Utara. Sebulan setelahnya, anak-anak jatuh sakit, sehingga anak lelakinya yang saat itu berusia 2 tahun kemudian meninggal dunia.
MacLeod mengamuk sehingga Margaretha kemudian menghindar dari suaminya sambil terus mempelajari beberapa tarian. Pada 1902 mereka dikirim kembali ke Belanda dan Margaretha mengajukan cerai dengan alasan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).
Margaretha mendapatkan perwalian putri mereka, tapi tidak mendapatkan secuil pun uang pertanggungan dari MacLeod walau pun telah ditetapkan oleh pengadilan. Margaretha kemudian sering mengunjungi tempat-tempat yang memiliki reputasi negatif.
MacLeod memerintahkan orang untuk membuntuti mantan istrinya dan mengambil putrinya. Dalam keadaan melarat dan sendirian, Margaretha kemudian pindah ke Paris untuk mencoba peruntungan dalam dunia model, seni peran, dan akhirnya tari.
Awal Ketenaran dalam Dunia Pertunjukan
Terobosan pentingnya terjadi pada 1905 ketika Emile Guimet memintanya tampil di hadapan penonton elite di Musée Guimet.
Media pun menjadi heboh dengan penampilan seorang penari Jawa yang hanya mengenakan tameng payudara dan mahkota, menyelubungi tubuhnya dengan selendang tipis sehingga ia seperti menari dalam keadaan nyaris telanjang. Hadirlah nama panggung Mata Hari, yang berarti "mata fajar."
Mata Hari menghadirkan gaya baru tarian dan ekspresi yang kemudian menjadi penentu aliran Belle Epoque. Pada tahun-tahun itu, Vaslav Nijinsky menari ballet dalam pakaian ketat yang sensual dalam karya "Afternoon of a Faun."
Isadora Duncan yang telanjang kaki meluncurkan tarian modern dengan dukungan komposisi musik "Rite of Spring" karya Igor Stravinsky.
Mata Hari pun menjadi bagian dari semangat kreatif tersebut dan menebar reputasi sensualitas eksotis demi mencari kekasih yang kaya untuk menopang gaya hidupnya.
Ketika sang mantan suami bercerai lagi dalam pernikahan kedua, Mata Hari mencoba meraih perwalian anak dari suaminya. Tapi gaya hidupnya dipandang kurang layak dibanding kehidupan MacLeod yang lebih stabil.
Dua anaknya diduga terinfeksi sipilis sejak lahir. Putrinya kemudian meninggal pada 1919 saat berusia 21 tahun karena perdarahan otak, demikian menurut Craig.
Dugaan tersebut dipertegas saat Mata Hari ditangkap. Kala itu ditemukan cairan berbahan merkuri di antara barang-barang milik Mata Hari.
Pada masa itu, merkuri menjadi satu-satunya obat untuk penanganan gejala-gejala sipilis.
Penyakit sipilis dan zat merkuri itu sama-sama bisa menyebakan kerusakan otak, sehingga ada dugaan bahwa anak perempuan Mata Hari terdampak.
Advertisement
Besar Pasak daripada Tiang
Mata Hari dibayar sangat mahal untuk tarian-tariannya, tapi ia sendiri sangat boros. Pada musim gugur 1906 ia menyuguhkan rangkaian pertunjukan tari di Olympia, Paris, dengan bayaran 10 ribu franc.
Namun, ia juga tercantum dalam gugatan pertama dari serangkaian gugatan terkait tagihan yang tidak dibayar, termasuk pesanan perhiasan senilai 12 ribu franc yang tidak dilunasinya.
Hal itu kemudian menjadi kebiasaan. Segera setelah memiliki uang, ia akan belanja pakaian, mantel bulu, perhiasan dan tas jinjing. Menurutnya, keberhasilan penciptaan ilusi kecantikan dan misteri memang tidak murah.
Ia menuliskan kepada hakim Prancis yang menangani kasusnya, "Saya adalah seorang penari, dan seusai perang, saya mungkin diminta tampil di teater Berlin, Wina, atau Paris."
"Saya tidak menikah. Saya wanita yang sering bepergian. Harap maklum kalau saya ceroboh soal uang."
"Kadang-kadang saya kalah, kadang-kadang saya menang." Cara pandang seperi penjudi itu mencapai puncaknya pada 1915 walau tidak segera dia sadari hingga pada akhirnya.
Ia tinggal di Berlin pada musim panas 1914 dan menunggu jadwal penampilan di Metropol Theater pada September sambil berpacaran dengan beberapa pria, termasuk kepala polisi.
Pusaran Perang Dunia I
Meletusnya perang pada Agustus sungguh mengejutkan. Sebagai seorang asing di Berlin, perang juga menyebabkan rekeningnya dibekukan dan barang-barangnya disita, termasuk mantel bulu yang disebutnya senilai 80 ribu franc.
Ia tidak rela. Menurut pengakuannya, ia adalah seorang wanita internasional. Ia berbicara beberapa bahasa dan terus berkeliling Eropa. Ia bahkan diduga memiliki kekasih di setiap negara.
Dengan datangnya perang, perbatasan-perbatasan pun ditutup. Paspor menjadi kewajiban dan perjalanan pun banyak dipertanyakan.
Misteri dirinya tidak lagi menjadi modalnya, malah menyedot perhatian pihak berwenang.
Apalagi ia adalah seorang wanita yang tidak memilik tempat tinggal tetap, tanpa suami dan tanpa pemasukan tetap.
Ia menulis kepada pembantunya di Belanda, "Saya seharusnya menyadari, tapi saya kira masih seperti setahun sebelumnya, sayangnya semua sudah berubah."
"Orang menjadi lebih kejam dan kesulitan serta formalitas semakin menjadi-jadi. Bepergian menjadi hal yang tidak mungkin bagi seorang wanita seperti saya."
Kehidupan seksnya yang liar juga membuatnya rentan terhadap tudingan pengkhianatan. Pada masa itu, seksualitas yang tidak biasa–apalagi seperti yang dilakukan Mata Hari– mengguncang bahkan Prancis yang liberal sekali pun.
Seksualitas seperti itu bahkan dipandang sebagai cerminan keseluruhan karakter moral seseorang.
Advertisement
Dituduh Jual Diri dan Rahasia Negara
Di masa perang, fokus ada pada patriotisme. Bagi seorang wanita yang penghasilan utamanya berasal dari hubungan seksual, tidak heran kalau pihak berwenang mencurigai ia juga menjual negaranya sendiri. Apalagi kekasih-kekasih Mata Hari adalah para perwira militer.
Kapten Bouchardon di Pengadilan Militer ke Tiga di Prancis menyebut beberapa di antaranya, yaitu para kekasih utama yang terdiri dari seorang kolonel Belanda, komandan Belgia, dan seorang kapten Rusia.
Ditambah lagi para perwira dari Montenegro, Italia, dua dari Irlandia, tiga atau empat orang dari Inggris, dan setidaknya lima perwira Prancis.
Ketika ditanyai, Mata Hari menjawab, "Saya menggandrungi perwira-perwira. Saya menyenangi mereka semua. Saya lebih suka menjadi wanita simpanan seorang perwira miskin daripada seorang bankir kaya."
Tuduhan terbesarnya adalah bahwa ia menerima 20 ribu franc dari konsul Jerman di Amsterdam pada musim panas 1916, bersamaan dengan gugurnya pasukan Prancis sebanyak 40 ribu orang per bulan akibat hantaman bertubi-tubi artileri Jerman di Verdun.
Mata Hari mengakui bahwa sang konsul memintanya untuk menjadi mata-mata, tapi wanita itu bersumpah tidak melakukannya. Ia mengambil uangnya, menghapus tinta kasat mata di uang yang diterima, lalu pindah ke Paris.
Setelah interogasi selama 5 bulan, ia bersikeras bahwa hal tersebut dilakukan sebagai pembalasannya setelah kehilangan mantel bulu.
Melalui surat tertanggal 5 Juni kepada Kapten Bouchardon ia menulis, "Mata Hari melihat adanya kesempatan untuk memuaskan pembalasannya, hanya itu. Tapi saya mohon percayalah kepada saya. Saya tidak pernah melakukan spionase terhadap Prancis. Tak pernah. Tak pernah."
Lalu ada lagi pembayaran sebesar 5 ribu franc melalui seorang pria yang diduga agen rahasia Jerman. Ketika dinas intelijen Prancis menemukan salinan telegram tentang pergerakan Agen H-21, kegiatan dan nama-nama kontak yang cocok sekali dengan Mata Hari.
Ia mengaku kepada Bouchardon bahwa pihak Jerman mempermainkan mereka agar tidak menemukan agen rahasia Jerman yang sesungguhnya. Faktanya, menurut buku "A Tangled Web", telegram-telegram itu dikirim dengan memakai kode yang oleh pihak Jerman diketahui bisa dibocorkan.
Berulang kali Bouchardon bertanya tentang apa yang dilakukannya dengan pembayaran 20 ribu franc.
Menurut Mata Hari, "Selama tinggal di Prancis dari Juni ke Desember 1916, saya mengeluarkan antara 15 hingga 16 ribu franc, tapi tidak menghitung pastinya. Saya membayarkan uang 20 ribu itu melunasi utang di Belanda, terutama dari gugatan perajin mantel saya," demikian menurut transkrip pengadilan tanggal 12 Juni.
Bouchardon dan timnya tidak mempercayai penjelasannya tentang uang tersebut.
Kata sang hakim melalui transkrip interogasi pada 1 Juni, "Kami telah melakukan investigasi terhadap cukup banyak kasus spionase. Kami tahu jumlah pembayaran oleh pihak Jerman dan bisa kami katakan bahwa, terkait dengan angka yang biasa, jumlah itu terbilang besar."
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Terbukti Bersalah?
Ada uangnya, lalu ada pertemuan tak terbantah pada Desember 1916 dengan atase militer Jerman di Madrid. Mata Hari pun ditangkap pada Februari 1917 dan diadili pada Juli.
Suatu panel yang terdiri dari tujuh hakim militer memerlukan dua hari hingga mendapatinya bersalah dan menjatuhkan hukuman mati. Panel hakim itu kemudian menolak permohonan banding maupun keringanan yang diajukan terdakwa.
Selama persidangan, Mata Hari ditahan di penjara Conciergerie yang dulu dihuni oleh Marie Antoinette ketika menjalani persidangan.
Mata Hari menuliskan dalam surat 6 Juni kepada pembantunya di Belanda, "Situasi di Prancis saat ini sangat rumit bagi seorang wanita asing seperti saya.”
Bouchardon menghadirkan seorang pastur dan dua orang biarawati untuk menemui Mata Hari di penjara sebelum subuh pada 15 Oktober 1917.
Menurut laporan berita Henry Wales dari International New Service, Mata Hari mengenakan jubah hitam berbulu, topi bulu hitam, serta sepatu hitam hak tinggi ketika dibawa ke Fort de Vincennes di timur Paris. Ia digiring ke depan sebuah tiang.
Ia menolak menutup mata dan menatap bergantian ke 12 prajurit ketika mereka menembaknya.
Advertisement