Maestro Pembuat Gitar Bangkalan Buka Kursus Gratis, Siapa Minat?

Meski belajar secara autodidak, karya maestro pembuat gitar asal Bangkalan bisa disandingkan dengan karya ternama dengan harga cukup ramah.

oleh Musthofa Aldo diperbarui 18 Okt 2017, 11:30 WIB
Agung Pandu Wijaya, pengrajin gitar di Kabupaten Bangkalan. (Liputan6.com/Musthofa Aldo)

Liputan6.com, Bangkalan - Duduk di kursi, di sebuah panggung sederhana, Ajis Heriyanto (33) mulai memetik gitarnya. Beberapa petikan di awal, langsung membuat orang yang mendengarnya mafhum itu adalah intro lagu "Akad", lagu karya grup band Payung Teduh yang sedang populer.

Mereka pun bernyanyi bersama, membuat acara donor darah yang digelar Alumni Pondok Pesantren Al-Amien Prenduan Sumenep, Korda Kabupaten Bangkalan, Jawa Timur, (ALBA) di Taman Paseban, Minggu, 15 Oktober 2017 jadi meriah.

Gitar klasik yang dipakai Ajis hari itu jadi pusat perhatian. Pasalnya, gitar dengan model tabung besar itu harganya tak murah, bahkan ada yang seharga sepeda motor. Berdasarkan informasi, gitar klasik bertabung besar merek Yamaha misalnya, ada yang dibanderol seharga Rp 11 juta lebih.

"Ini harganya hanya Rp 1,5 juta," kata Ajis, Alumni Al-Amien Prenduan 2003 itu.

Menurut Ajis, gitar itu dipesan dari seorang perajin gitar asli Bangkalan, namanya Agung Pandu Wijaya. Dia tahu tentang Agung setelah membaca unggahan di Facebook temannya. Ajis pun menyambangi Agung dan memesan gitar klasik yang kualitas bahannya setara gitar-gitar klasik mahal.

Setelah diperlihatkan beberapa gambar gitar klasik yang ia inginkan, Agung menyanggupi dan diperkirakan biayanya sebesar Rp 1,5 juta. Ajis mengiyakan tanpa menawar.

"Harga itu murah dibanding harga aslinya. Saya sudah keliling Surabaya, harga paling murah gitar klasik di atas empat juta," tutur Ajis.

Gitar Ajis baru rampung lebih dari sebulan setelah pemesanan. Meski lama, Ajis puas dengan hasilnya. "Sesuai dengan ekspektasi saya," kata dia.

Agus Pandu Wijaya, sang maestro gitar itu, tinggal di Kampung Bunot, Kelurahan Bancaran, Kota Bangkalan. Senin petang, 16 Oktober 2017, Liputan6.com menyambangi rumahnya yang teduh.

Pekarangannya penuh tetanaman, ada pohon mangga dan nangka tumbuh di samping rumah. Pekarangan depan masih berpagar pohon kembang sepatu. Pekarangan belakang lebih teduh lagi, merimbun deretan pohon akasia.

"Rumah ini nyewa, beberapa bulan lagi kontrak habis, saya masih cari kontrakan baru," kata Agung.

Di antara teduh akasia itulah, bengkel gitar sederhana milik Agung terletak. Hanya beratap terpal yang direntangkan dengan tali tampar ke berbagai penjuru, tanpa tiang penyangga apalagi dinding.

Di bawahnya teronggok beberapa gitar yang masih dalam tahap finishing, di antara tumpukan potongan kayu dan peralatan membuat gitar. "Saya suka suasana terbuka seperti ini, menyatu dengan alam. Yang penting enggak kehujanan atau kepanasan," ujar dia.

Saksikan video pilihan berikut ini:

 

 

 

 


Beramal Lewat Gitar

Perkenalan pertama dengan Agung tak mengesankan dia seorang perajin gitar. Penampilannya religius. Sore itu, dia menutup kepalanya dengan kopiah putih, sarungan dan berkalung tasbih di leher.

Tak hanya penampilan, di sela wawancara, ia kerap menyelipkan nasihat-nasihat keagamaan. Bahkan, kekhusyukannya beragama terbawa ke bisnis gitar yang digeluti. Agung bikin program beli gitar sambil beramal.

"Saya bilang ke palanggan, jangan nawar gitar saya, saya pastikan sebagian uang itu saya sumbangkan buat yang membutuhkan,” kata dia.

Agung lahir dari keluarga seniman. Ayahnya pegiat teater dan adiknya kini masyhur sebagai penyair. Tapi ayah ibunya bercerai, Agung kena imbas. Setelah lulus sekolah dasar, ia tak sekolah lagi.

Masa kanak-kanak hingga remaja dihabiskan jadi pedagang asongan, tukang semir dan pengamen di Pelabuhan Kamal. Agung bahkan sudah menikah di usia 19 tahun, tapi perkawinan pertamanya berujung perceraian.

"Saya menikah lagi dengan istri yang sekarang, semoga langgeng," harap dia.

Dari pernikahan pertamanya itu, ada hikmah yang membuka jalan baginya jadi perajin gitar. Suatu kali dia bertengkar hebat dengan sang istri, gitar yang biasa buat ngamen jadi sasaran amarah. Gitarnya rusak tak berbentuk karena dibanting .

"Gitar itu saya beli bekas, memang sudah agak rusak, tapi masih layak pakai buat ngamen," kenang dia.

Karena tak punya uang buat beli gitar baru, Agung nekat mereparasi sendiri dengan bahan dan peralatan seadanya. Mula-mula, ia pelajari struktur tabung gitar dan dia merasa mampu membuatnya.

Setelah reparasi gitar selesai, Agung menunjukkan pada seorang kenalan yang ia anggap guru untuk diuji coba. Agung tak menyangka gurunya menilai hasil reparasinya membuat suara gitar itu lebih bagus dari sebelumnya.

"Itulah awal mula saya bikin gitar dan terus sampai sekarang. Saya belajar autodidak, enggak ada yang ngajari," ungkap dia.


Cari Penerus

Kini, setelah hampir 10 tahun menekuni kerajinan gitar, dia buat merek gitar sendiri dengan nama Cajanna Gitar. Cajanna kata serapan dari bahasan Madura Kajennah yang berarti 'sumber pendapatan atau pekerjaan pokok'.

Agung pernah ingin merintis usaha gitar di Kota Surabaya. Dia ingin berbagi dengan beberapa toko gitar besar di Kota Pahlawan. Namun setelah berupaya, dia pilih balik kampung ke Bangkalan karena para pemodal itu tak mau pakai merek Cajanna.

"Saya pikir buat apa, kalau karya kita tak dihargai. Mending saya balik ke Bangkalan dan usaha sendiri," tutur dia.

Menyandang status maestro gitar jadi beban tersendiri bagi Agung. Dia punya angan gitar jadi salah satu ikon Bangkalan.

Angannya itu baru akan terwujud jika ia tak sendirian, mesti ada perajin gitar lain agar jadi industri dengan skala lebih besar. Untuk mewujudkan mimpinya, Agung pernah mengusulkan proposal kerja sama untuk membuka kursus bikin gitar ke Pemkab Bangkalan.

Semula usul Agung mendapat respons positif. Dia pun mencari orang yang mau diajari bikin gitar. Namun, belum sempat terlaksana, program itu mandeg. Penyebabnya ada satu klausul yang sulit dipenuhi pemerintah daerah, yaitu memberikan uang saku kepada peserta kursus selama pelatihan.

"Mungkin mereka mengira saya mau ngakali. Wajar toh saya usul mereka dikasih uang saku, biar dapur mereka tetap ngebul selama pelatihan, jadi bisa konsentrasi. Tapi, usul ditolak dan tak ada kelanjutan sampai sekarang," kata dia.

Agung kini tak mau berpikir muluk. Sembari mengerjakan pesanan gitar, dia buka kesempatan bila ada anak muda yang mau kursus membuat gitar. Tak ada pungutan biaya, syaratnya cuma tekun, giat, dan sabar. Ada yang berminat?

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya