HEADLINE: 8 Tokoh 'Non-Pribumi' dalam Perjuangan Kemerdekaan RI

Di tengah polemik istilah 'pribumi' Gubernur DKI Anies Baswedan, Liputan6.com merangkum kisah 8 non-pribumi yang berjasa bagi Indonesia.

oleh Luqman RimadiYusron FahmiJennar Kiansantang diperbarui 18 Okt 2017, 00:02 WIB
AR Baswedan, Douwes Dekker, Idjon Djanbi, Tan Eng Hoa, Yap Tjwan Bing, Tang Kim Teng, HJ Princen, dan Oen Boen Ing (dari atas, kiri ke kanan, searah jarum jam) (Liputan6.com/Triyasni)

Liputan6.com, Jakarta - Pidato politik Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan, memicu polemik. Masalahnya berpangkal pada pernyataan Anies yang menggunakan istilah 'pribumi.'

"Rakyat pribumi ditindas dan dikalahkan oleh kolonialisme. Kini setelah merdeka, saatnya kita jadi tuan rumah di negeri sendiri," kata dia, di Balai Kota Jakarta, Senin 16 Oktober 2017 malam.

Polemik pun bergulir. Pidato Anies langsung direspons banyak orang. Tak sedikit warganet di media sosial, termasuk Twitter, menyayangkan kalimat yang disampaikan Anies berbau sentimen negatif.

Kata 'pribumi' memuncaki trending topic Twitter di Indonesia pada Selasa 17 Oktober 2017 pukul 09.45 WIB. Ada yang mendukung, ada pula yang mencibir. 

Di antara pro-kontra pernyataan Anies, Liputan 6.com merangkum kisah delapan orang non-pribumi yang turut berjasa dalam perjalanan perjuangan bangsa Indonesia menuju kemerdekaan. Berikut daftarnya: 


Tang Kim Teng dan Douwes Dekker

Tang Kim Teng

Satu warga keturunan Tiongkok yang layak dikenang dalam perjuangan kemerdekaan RI yaitu Tang Kim Teng. Pria kelahiran Singapura pada 1921 itu bergabung dengan Resimen IV, Divisi IX Banteng wilayah Sumatera Tengah.

Pada buku Tionghoa dalam Sejarah Kemiliteran: Sejak Nusantara Sampai Indonesia yang ditulis Iwan Sentosa, sebelum bergabung dalam militer, Tang Kim merupakan pengusaha kedai kopi di Pekan Baru.

Dia memutuskan untuk menjadi tentara ketika dia diajak sahabatnya, Tan Teng Hun dan Hasan Basri, untuk ikut turun ke medan perang.

Kim Teng kemudian ditempatkan di Resimen IV, Divisi IX Banteng wilayah Sumatera Tengah. Tugas yang diberikan kepada Tang Kim Teng tidak mudah: mencari senjata, bahan peledak, seragam tentara, sepatu, obat-obatan, dan perbekalan lain di Singapura

Tak hanya itu, dia juga ditugaskan sebagai penyusun siasat dan memata-matai kekuatan lawan di bawah pimpinan Letnan Satu RA Priodipuro.

Sejumlah misi yang diberikan kepada Kim Teng berhasil dijalankan dengan baik. Salah satunya, membawa sejumlah senjata serta pampasan perang dari Jepang. Dia bahkan beberapa kali lolos dalam perjalanan Pekanbaru-Singapura untuk membawa senjata dan memberikan kepada pasukan Indonesia.

Foto dok. Liputan6.com

Douwes Dekker

Satu warga non-pribumi keturunan Belanda yang berjasa begitu besar bagi kemerdekaan Indonesia adalah Ernest Eugene Douwes Dekker. Pria kelahiran Pasuruan, pada 8 Oktober 1879 itu, memang warga keturunan, namun jiwanya sangat "Indonesia."

Dia menjadi salah seorang peletak dasar nasionalisme Indonesia di awal abad ke-20, dengan menjadi penulis yang kritis terhadap rezim Hindia Belanda, wartawan, dan aktivis politik.

Dekker adalah salah satu dari Tiga Serangkai pejuang pergerakan kemerdekaan Indonesia, selain dr Tjipto Mangoenkoesoemo dan Suwardi Suryaningrat.

Dia mulai sadar dengan nasionalisme dan kemanusiaan setelah mendapat pengalaman dalam Perang Boer di Afrika Selatan (1900–1902). Kesadaran ini membuat Douwes Dekker mulai mengkritik kebijakan-kebijakan pemerintah kolonial.

Kritik pertamanya adalah sebuah tulisan berjudul ‘Cara Bagaimana Belanda Paling Cepat Kehilangan Tanah Jajahannya?’ yang dimuat dalam Nieuwe Arnhemsche Courant pada 1908.

Kemampuan menulis laporan pengalaman peperangannya di surat kabar terkemuka membuat ia ditawari menjadi reporter koran Semarang terkemuka, De Locomotief.

Dari pengalamannya sebagai jurnalis, dia mulai merintis kemampuan berorganisasi. Tugas-tugas jurnalistiknya, seperti ke perkebunan di Lebak dan kasus kelaparan di Indramayu, membuatnya mulai kritis terhadap kebijakan kolonial.

Ketika ia menjadi staf redaksi Bataviaasch Nieuwsblad, tulisan-tulisannya menjadi semakin pro-kaum nasionalis.

Rumah Dekker di dekat Stovia, sekolah dokter di Batavia, menjadi tempat berkumpul para perintis gerakan kebangkitan nasional Indonesia, seperti Sutomo dan Tjipto Mangunkusumo, untuk berdiskusi.

Boedi Oetomo, organisasi yang diklaim sebagai organisasi nasional pertama, lahir atas bantuannya. Ia bahkan menghadiri kongres pertama Boedi Oetomo di Yogyakarta.

Pada Maret 1910, ia turut membidani lahirnya Indische Universiteit Vereeniging (IUV), suatu badan penggalang dana untuk pembangunan lembaga pendidikan tinggi di Hindia Belanda.

Di dalam IUV terdapat orang Belanda, orang-orang Indo, aristokrat Banten, dan perwakilan dari organisasi pendidikan kaum Tionghoa THHK.

Akibat sering menyerang kebijakan politik kolonial Belanda, Dekker dituding sebagai avonturir, oportunis, dan penipu internasional. Bahkan, kalangan konservatif yang pro-Belanda menyebutnya “pembawa keonaran”.


Yap Tjwan Bing dan Idjon Djanbi

Yap Tjwan Bing

Setelah pemerintah Jepang membubarkan Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), Jepang mengizinkan pembentukan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada 7 Agustus 2017. Soekarno ditunjuk sebagai Ketuanya.

Pada awalnya PPKI beranggotakan 21 orang (12 orang dari Jawa, 3 orang dari Sumatra, 2 orang dari Sulawesi, 1 orang dari Kalimantan, 1 orang dari Nusa Tenggara, 1 orang dari Maluku, 1 orang dari golongan Tionghoa.

Untuk utusan dari warga keturunan Tionghoa, ditunjuklah seorang sarjana farmasi, lulusan Universitas di Amsterdam yang aktif dalam gerakan kemerdekaan Indonesia.

Setelah lulus sebagai sarjana farmasi dari Universitas Amsterdam pada 1939, Yap sempat mendirikan apotek di Bandung dan kemudian aktif dalam gerakan kemerdekaan Indonesia.

Dikutip dari biografinya, Meretas Jalan Kemerdekaan: Otobiografi Seorang Pejuang Kemerdekaan, sejak berumur 18 tahun Yap sudah menaruh simpati pada perjuangan kemerdekaan Indonesia yang dipimpin Bung Karno dan Bung Hatta.

Namun, karena masih muda, pengetahuan politiknya belum banyak.

Baru di Belanda (1932-1939) dia berkesempatan membaca buku politik sebanyak mungkin dan ikut persidangan-persidangan para mahasiswa Indonesia yang tengah berusaha memperjuangkan kemerdekaan bangsanya, di bawah pimpinan Bung Hatta, Iwa Kusuma Sumantri, dan kawan-kawan. Sekembalinya ke tanah air, minatnya dalam politik dilanjutkan.

Pada bulan Agustus 1945 ia diangkat sebagai anggota PPKI, pada tanggal 18 Agustus 1945 ia menghadiri pengesahan UUD 1945 dan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden RI.

Pada 27 Agustus 1945, PPKI dibubarkan dan saat itu juga dibentuk KNIP, Yap Tjwan Bing diangkat sebagai salah satu anggotanya.

Dari Februari sampai Agustus 1950, ia duduk dalam DPR-RIS sebagai satu-satunya keturunan Tionghoa yang mewakili Pemerintah RI. Ketika pada Agustus 1950 terbentuk DPR-Sementara, Yap tetap menjadi anggota, tetapi sebagai wakil Partai Nasional Indonesia (PNI) sampai digantikan oleh Tony Wen.

Karena kesehatan putranya memerlukan perawatan khusus, ia beremigrasi ke Amerika pada 1963 dan meninggal pada 1988.

 

Idjon Djanbi

Idjon Djanbi memiliki nama lengkap Mochamad Idjon Djanbi. Dia merupakan seorang pria Belanda yang lahir di Booskop, Belanda, 13 Mei 1914. Sebelum menjadi warga negara Indonesia, nama asli Idjon adalah Rokus Bernadus Visser. 

Setelah Jepang kalah, Idjon masuk ke Indonesia sebagai pasukan khusus Belanda pada Maret 1946. Berkat kemampuannya, dia memimpin sekolah terjun payung di Jayapura, yang kala itu disebut Hollandia.  Sekolah terjun payung itu kemudian pindah ke Cimahi. Pada 1947, pangkatnya sudah kapten.

Idjon ternyata betah di Indonesia, dan setelah Tentara Belanda angkat kaki, dia memilih tinggal di Indonesia.

Dikutip dari situs resmi Kopassus, www.kopassus.mil.id,  Mayor Mochamad Idjon Djanbi merupakan mantan Kapten KNIL yang pernah bergabung dengan Korps Special Troopen dan pernah bertempur dalam Perang Dunia II.

Idjon diangkat menjadi komandan pertama Kesatuan Komando Teritorium III yang merupakan cikal bakal Korps Baret Merah Kopassus .

Dalam perjalanannya satuan itu beberapa kali mengalami perubahan nama di antaranya Kesatuan Komando Angkatan Darat (RPKAD) pada tahun 1953, Resimen Pasukan Komando Angkatan Darat) pada 1952. Selanjutnya berubah menjadi Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) pada 1955.

Pada 1966, satuan ini kembali berganti nama menjadi Pusat Pasukan Khusus TNI AD (Puspassus TNI AD), berikutnya pada 1971 nama satuan ini berganti menjadi Komando Pasukan Sandi Yudha (Kopassandha). Pada 1985, kesatuan ini berganti nama menjadi Komando Pasukan Khusus (Kopassus) sampai sekarang.

Idjon Djanbi meninggal di Yogyakarta, 1 April 1977. Pada HUT Kopassus ke-25 pada 16 April 1977 di Yogyakarta, Idjon menerima penghargaan kenaikan pangkat sebagai Letnan Kolonel. Nama Idjon Djanbi diabadikan menjadi nama Ksatrian Pusat Pendidikan Kopassus Batujajar, Jawa Barat.

 


Tan Eng Hoa dan Abdurrahman Baswedan

Tan Eng Hoa 

Mr. Tan Eng Hoa merupakan anggota Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Ketika Ketua BPUPKI, Radjiman Wediodiningrat, membentuk panitia-panitia kecil, Mr Tan masuk dalam Panitia Hukum Dasar.

Panitia itu dipimpin Ir Sukarno. Tan Eng Hoa yang lahir di Semarang, Jawa tengah, 1907, lulus menjadi sarjana hukum.

Dengan latar belakang itu ia banyak memberi masukan dalam penyusunan undang-undang dasar. Ahli sejarah Tionghoa, Didi Kwartanada, mengatakan Tan berkontribusi membangun pondasi demokrasi.

Tan meletakkan dasar kebebasan berserikat. Dalam suatu kesempatan rapat, ia mengusulkan penambahan ayat pada pasal 27 Undang-Undang Dasar. Usul itu mengatur kemerdekaan berserikat, berkumpul, dan sebagainya.

Belakangan, Sidang BPUPKI memutuskan ayat itu dibuat menjadi pasal tersendiri. Ayat yang diusulkan Tan menwujud dalam pasal 28 UUD 1945, yang mengatur kemerdekaan berserikat dan berlaku hingga saat ini.

"Tentu saja (kebebasan berserikat) amat diperlukan di dalam negara demokrasi," kata Didi.

Sayangnya, sedikit informasi yang bisa menjelaskan sosok Tan Eng Hoa. 

 

Abdurrahman Baswedan 

Abdurrahman Baswedan atau AR Baswedan adalah pejuang kemerdekaan sekaligus diplomat dan sastrawan Indonesia. Ia tak lain merupakan kakek Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan.

Lahir di Surabaya, 9 September 1908, AR Baswedan pernah menjadi anggota Badan Penyelidik Usaha dan Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI).

Ia pernah menduduki beberapa posisi penting seperti Wakil Menteri Muda Penerangan RI pada Kabinet Sjahrir, Anggota Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP-KNIP), anggota Parlemen, dan anggota Dewan Konstituante.

AR Baswedan adalah salah seorang diplomat pertama Indonesia. Ia berhasil memperjuangkan pengakuan de jure dan de facto pertama bagi eksistensi Republik Indonesia, yaitu dari Mesir.

Pria merupakan keturunan Arab yang fasih berbahasa Jawa. Dalam perjuangannya, dia menyerukan pada orang-orang keturunan Arab agar bersatu membantu perjuangan Indonesia.

Ia menginisiasi penyelenggaraan Sumpah Pemuda Keturunan Arab, 4 Oktober 1934, di Semarang. Ia mengajak keturunan Arab, seperti dirinya sendiri, menganut asas kewarganegaraan ius soli: di mana saya lahir, di situlah tanah airku.

Sumpah itu juga mendeklarasikan agar keturunan Arab berbaur dalam kehidupan bermasyarakat. AR Baswedan meninggal di Jakarta, 16 Maret 1986, pada usia 77 tahun.


HJ Princen dan Oen Boen Ing

HJ Princen 

Johannes Cornelis Princen adalah anggota militer Belanda yang membelot ke Indonesia. Tentara Kerajaan Hindia Belanda atau KNIL ini, memberontak ketika melihat ketidakadilan Belanda kepada rakyat Indonesia.

Princen muak menyaksikan tindakan negaranya sendiri. Padahal Indonesia saat itu sudah menyatakan diri merdeka. Pada 26 September 1948, Princen memutuskan meninggalkan KNIL di Jakarta dan bergabung dengan Tentara Nasional Indonesia (TNI).

"Kondisi politik dan sosial di Indonesia telah mengubah pandangannya terhadap kaum pribumi yang disebut kaum ekstremis oleh pemerintahan Belanda," kata seorang sejarawan Mohammad Iskandar kepada Liputan6.com.

Princen atau yang lebih akrab dipanggil Poncke, merupakan salah seorang 'bule' yang ikut berjasa dalam penyamaan hak-hak warga Indonesia. Saat Belanda menyerang Yogyakarta pada 1949, ia telah bergabung dengan Divisi Siliwangi di Purwakarta.

Poncke ikut serta dalam longmarch ke Jawa Barat dan terus aktif dalam perang gerilya. Saat bergabung dengan divisi Siliwangi, ia menikahi perempuan Sunda.

Di masa Orde Baru dan Orde Lama, ia dikenal aktif menyuarakan demokrasi. Pocke beberapa kali ditahan oleh pemerintah karena terlalu vokal. Peraih Bintang Gerilya ini wafat pada 22 Februari 2002, akibat penyakit yang dideritanya. 

 

Oen Boen Ing

Dr. Oen Boen Ing merupakan salah satu dokter yang ikut berjuang membantu mengobati prajurit di era perjuangan kemerdekaan.

Seperti dikutp dari www.droenska.com, pada 29 Januari 1933, delapan pemuda asal Tionghoa mendirikan klinik bernama Tsi Sheng Yuan. Dr. Oen mulai praktik di klinik tersebut sejak 1935. Belakangan nama klinik diganti menjadi RS Panti Kosala.

Ketika perang kemerdekaan datang, poliklinik berubah fungsi menjadi rumah sakit darurat. Klinik ini menampung para pejuang dan pengungsi.

Menurut kesaksian Soelarso, Ketua Paguyuban Rumpun Eks Tentara Pelajar Detasemen II Brigade XVII, tanpa menghiraukan tembakan Belanda, Dr Oen keluar masuk wilayah TNI untuk mengobati para prajurit.

Pemerintah menyematkan Satya Lencana Bhakti Sosial bagi Oen Boen Ing pada 30 Oktober 1979. Penghargaan itu sebagai ganjaran jasa-jasa dan pengabdiannya yang tanpa pamrih kepada masyarakat. Oen Boen Ing juga dianugerahi gelar kebangsawanan oleh Sri Mangkunegoro VIII, dengan nama Kanjeng Raden Toemenggoeng Oen Boen Ing Darmohoesodo.

Pada 24 Januari 1993, Sri Mangkunegoro IX menaikkan gelarnya dari Kanjeng Raden Toemenggoeng menjadi Kanjeng Raden Mas Toemenggoeng Hario Oen Boen Ing Darmohoesodo.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya