Liputan6.com, Semarang - Siapa sangka seorang kacung atau pembantu bisa menciptakan resep kuliner yang disukai banyak orang. Tak hanya itu, bahkan resep itu akhirnya melegenda dan menjadi ikon kuliner kota Semarang.
Pembantu atau kacung itu bernama Sukimin. Ia ikut orang yang menjadi bosnya berjualan es puter keliling pecinan. Sukimin kecil sangat rajin dan piawai meracik es puter. Peristiwa berpuluh tahun lalu ini rupanya menjadi jalan hidup bagi anak-anak Sukimin.
Advertisement
Imam Suwarto, anak dari Sukimin berkisah, ayahnya memang rajin bekerja. Sejak kecil hingga ia menikah dan punya anak, Sukimin menyetia dengan dunianya. Ia tetap berjualan. Hidupnya bertransformasi dari pembantu atau kacung cilik, untuk kemudian mandiri.
"Ayah saya dipanggil Conglik, kependekan dari kacung cilik. Dipanggil seperti itu karena banyak pembeli yang terkesan, masih kecil tapi sudah pintar cari duit. Sampai akhirnya bapak berpisah dan berjualan es sendiri," kata Iman Suwarto kepada Erlinda Puspita Wardani, finalis kelas menulis Citizen Journalist Academy Semarang.Iman Suwarto menyebutkan bahwa ia mengikuti ayahnya berjualan es puter. Apa keistimewaan resep es puter sang kacung cilik ini sehingga begitu diminati dan akhirnya menjadi legenda hidup?
Erlinda Puspita Wardani melaporkan bahwa es itu memiliki cita rasa buah yang sangat kuat. Dengan pilihan rasa Alpukat, Durian, Coklat, dan Kopyor. Ada keanehan, mayoritas es dijajakan dan nikmat disantap pada siang hari, namun Es Puter Conglik ini dijajakan setiap malam hari mulai pukul 18:00 WIB hingga 23:00 WIB.
Budaya Tionghoa yang kental di tempat ia bekerja yakni kawasan Pecinan Semarang biasa memberi apresiasi bagi sebuah prestasi. Itu sangat setara dengan perjuangan Sukimin dan Iman Suwarto kecil. Kini Iman Suwarto yang menuai berkah. Es puter resep ayahnya menjadi legenda hidup. Bahkan saat hujan sekalipun, es puter ini masih sangat laris dan pembeli harus antre.
Membuka lapak di jalan KH. Ahmad Dahlan Semarang yang dekat dengan kawasan Simpang Lima Semarang, es puter conglik mematok harga dari Rp 15 ribu hingga Rp 25 ribu.
(laporan : Erlinda Puspita Wardani, finalis Citizen Journalist Academy Semarang 2017 dari kelas menulis)