Liputan6.com, Jakarta Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) menyatakan pelaksanaan program BBM Satu Harga masih menemui sejumlah kendala. Salah satunya, minimnya investor yang mengelola SPBU Kompak atau SPBU mini sebagai subpenyalur BBM bagi masyarakat di wilayah terdepan, terluar, dan tertinggal.
Anggota Komite BPH Migas, Hendry Achmad, mengatakan, yang menyebabkan minimnya minat investor untuk menjadi subpenyalur BBM karena keuntungan dalam program ini yang kecil. Dari penjualan BBM ini, keuntungan yang didapatkan hanya sekitar Rp 150 per liter. Adapun biaya investasi untuk membangun SPBU Kompak atau SPBU mini mencapai Rp 150 juta.
Baca Juga
Advertisement
"(Keuntungan) Rp 150 per liter. Ini orang enggak semangat. Katakanlah orang berinvestasi masa misalnya Rp 150 juta, kalau seharinya 300 liter, berarti 300 liter dikali Rp 150 itu baru Rp 45 ribu. Siapa yang mau investasi segitu?" ujar dia di Kantor BPH Migas, Jakarta, Rabu (18/10/2017).
Untuk mengatasi hal ini, Pertamina mau tidak mau harus memberikan insentif dengan menambah keuntungan agar investor mau menjadi subpenyalur BBM satu harga. Untuk wilayah Papua misalnya, perusahaan pelat merah tersebut menambah margin keuntungan sebesar Rp 550 per liter, sehingga keuntungan yang didapatkan investor sebesar Rp 700 per liter.
"Untuk itu Pertamina, untuk Papua memberikan rangsangan. Ayo anda investasi di sana kami tambahkan marginnya (jadi) Rp 700 per liter. Kalau orang mau, yang nanggung Pertamina. Sementara ini baru di Papua saja," kata dia.
Selain itu, kata Hendry, pemerintah saat ini tengah mencari cara lain untuk mendorong minat investor menjadi penyalur BBM satu harga.
Salah satunya dengan menekan biaya investasi dari Rp 150 juta menjadi Rp 75 juta. Meski biaya investasinya ditekan, SPBU yang dibangun investor harus memiliki standar keamanan.
"Misalkan luasannya memadai, jangan di depan rumah, jadi harus tempat khusus. Paling tidak lahannya 100 meter. Kemudian ada gudang tempat simpan drumnya yang diberikan jarak dari tempat menyalurkan. Dan untuk menyalurkan dengan pompa tangan saja. Jadi, investasi akhirnya menjadi murah, apalagi BBM satu harga tanahnya murah sekali," tandas dia.
Tonton Video Pilihan Ini:
Jurus BPH Migas Antisipasi Penyalahgunaan BBM Satu Harga
BPH Migas menerapkan sistem pengawasan program penyaluran bahan bakar minyak (BBM) Satu Harga atau program BBM Satu Harga. Hal ini untuk mengantisipasi pelanggaran dalam pelaksanaan program tersebut.
Anggota Komite BPH Migas, Muhammad Ibnu Fajar, mengatakan, sistem dengan nama uji petik ini akan berlaku dalam Operasi Patuh Penyalur (OPP). Program pengawasan itu dimulai Oktober 2017 dan efektif mulai Januari 2018 di seluruh wilayah Indonesia.
"Khusus untuk BBM Satu Harga, kami akan mengadakan OPP kepada lembaga penyalur yang berizin efektif mulai Januari dengan sistem uji petik," tutur Muhammad, seperti yang dikutip dari situs resmi Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi (Ditjen Migas) Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM), di Jakarta, Selasa (17/10/2017).
Muhammad menjelaskan, pelaksanaan sistem uji petik akan diawasi oleh BPH Migas, dengan memanfaatkan setiap laporan yang masuk dari masyarakat. Ini apabila terdapat penyelewengan dalam penyediaan BBM Satu Harga.
"Jadi kalau ada laporan dari masyarakat atau media akan ditindaklanjuti oleh subdit pengawasan BPH Migas," jelas Muhammad.
Muhammad mengharapkan keterlibatan masyarakat secara langsung untuk mengawasi jalannya program BBM Satu Harga. "Masyarakat diminta segera melaporkan jika terjadi penyalahgunaan oleh lembaga penyalur," ujar dia.
Sebagaimana diketahui, kegiatan OPP ini sudah dimulai pada Oktober 2017 di lima lokasi di wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek) serta sebagian Jawa Barat. Kemudian dilanjutkan dengan OPP untuk wilayah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T) yang terkait dengan program BBM Satu Harga.
Advertisement