Liputan6.com, Jakarta Kebijakan pemerintah memberikan subsidi gas 3 kilogram (kg) dinilai tidak efektif dan rawan penyelewangan, karena fokus subsidi hanya pada barang. Pemberian subsidi dinilai sebaiknya langsung diberikan kepada masyarakat, bahkan untuk jangka panjang subsidi tersebut sebaiknya dihapus.
Dosen Ekonomi, Energi dan Sumber Daya Mineral Universitas Indonesia, Berly Martawardaya, mengatakan penyaluran gas 3 kg yang disubsidi pemerintah sangat rentan tidak tepat sasaran. Dengan demikian, realisasi janji-janji pemerintah mengenai subsidi tepat sasaran mengenai kartu subsidi perlu segera terwujud.
Baca Juga
Advertisement
“Subsidi LPG 3 kg jangan sampai salah sasaran. Ini sangat rentan sekali buat bocor karena belum ada pengawasannya. Janji-janji kartu dari mulai LPG, BBM, itu realisasinya sampai saat ini belum berjalan. Jangan sampai LPG 3kg ini bisa dinikmati oleh restoran-restoran yang menghabiskan ratusan tabung padahal mereka untungnya sudah banyak,” ujar dia di Jakarta, Rabu (18/10/2017).
Adapun pagu subsidi LPG pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2017, ditetapkan Rp 20 triliun dengan asumsi program subsidi langsung LPG dimulai secara bertahap pada 2017.
Diperkirakan, bila penyaluran dibatasi secara penuh, subsidi LPG akan turun menjadi Rp 15 triliun. Penurunan angka subsidi karena berkurangnya jumlah rumah tangga penerima yang semula 54,9 juta rumah tangga menjadi 26 juta rumah tangga karena gas 3 kg hanya dinikmati rumah tangga miskin dan 2,3 juta usaha mikro.
Dalam APBN Perubahan 2016, kuota gas 3 kg ditetapkan 6,25 juta ton dan pada 2017 ditetapkan 7,096 juta ton.
Dalam perjalanannya, konsumsi gas 3 kg dinilai tidak tepat sasaran. Sesuai ketentuan, gas 3 kg diperuntukan bagi masyarakat miskin dan usaha kecil dan mikro. Namun di lapangan, gas 3 kg digunakan oleh rumah tangga menengah dan mapan, pertanian, peternakan, bahkan jasa laundry pakaian.
“Selama ini gas 3 kg dikonsumsi siapa saja karena tidak diatur dengan mekanisme distribusi tertutup sehingga konsumsi terus meningkat. Ini juga kan jadi cost bagi Pertamina,” ujar Berly.