Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah Joko Widodo-Jusuf Kalla (Jokowi-JK) tercatat menambah utang sebesar Rp 1.258,67 triliun dalam kurun waktu tiga tahun.
Pemerintah mengklaim utang ribuan triliun itu digunakan untuk membangun infrastruktur, bukan untuk subsidi bahan bakar minyak (BBM).
"Kalau dihitung infrastruktur yang dibangun sudah banyak sekali. Infrastruktur ada yang belum selesai, sebagian sudah, sebagian masih dibangun, dan ada yang masih diproses, tapi Anda sudah menghitung utangnya, jadi pada dasarnya tidak begitu hitungnya," kata Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Darmin Nasution, Jakarta, Kamis (19/10/2017).
Baca Juga
Advertisement
Dia memastikan. utang tersebut digunakan untuk kegiatan produktif, salah satunya untuk membangun infrastruktur. "Kalau meminjam untuk sesuatu yang produktif pada dasarnya oke, kecuali produktifnya tidak benar. Tapi ini benar. Namanya membangun sesuatu jangka panjang," ujar dia.
Darmin menegaskan, pemanfaatan utang tidak untuk sesuatu konsumtif. "Pemerintah kalau yang konsumtif itu masih dalam soal subsidi BBM. Kalau ini kan tidak, dipinjam karena kita perlu pembiayaan infrastruktur," kata dia.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Utang Bertambah Rp 1.258 Triliun
Sebelumnya Pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla (Jokowi-JK) tercatat menambah utang sebesar Rp 1.258,67 triliun dalam kurun waktu tiga tahun. Penambahan utang tersebut ditujukan untuk membiayai pembangunan infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan.
Dari data Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan yang dirangkum Liputan6.com, Jakarta, Kamis 19 Oktober 2017, total outstanding utang pemerintah hingga September 2017 sebesar Rp 3.866,45 triliun. Jumlah utang ini naik Rp 40,66 triliun, dibanding Agustus 2017 yang sebesar Rp 3.825,79 triliun.
Sementara bila dibandingkan dengan posisi 2014, saat pemerintahan Jokowi mulai bekerja, jumlah tersebut membengkak Rp 1.258,67 triliun dari Rp 2.607,78 triliun. Pada 2015, total utang pemerintah pusat sebesar Rp 3.165,13 triliun dan naik menjadi Rp 3.515,46 triliun di periode 2016.
Rasio utang terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) ikut terkerek naik dari 24,7 persen di 2014 menjadi 27,4 persen di 2015. Lalu naik lagi menjadi 28,3 persen pada akhir 2016, dan hingga September 2017, rasio utang turun menjadi 28,6 persen dari PDB.
Jika posisi utang saat ini Rp 3.866,45 triliun dibagi dengan jumlah penduduk Indonesia sekitar 250 juta jiwa, maka satu orang menanggung utang sekitar Rp 15,46 juta.
Direktur Strategi dan Portofolio Utang DJPPR, Schneider Siahaan menegaskan, secara prinsip utang harus dipakai untuk kegiatan produktif. Artinya utang dipakai untuk menghasilkan tambahan penerimaan pajak dan atau menurunkan biaya ekonomi pada masa yang akan datang.
"Masa Presiden sekarang telah memenuhi prinsip tersebut, karena utang dipakai untuk menambah belanja infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan," ucapnya saat dihubungi Liputan6.com.
Schneider meminta kepada masyarakat untuk tidak khawatir atau mempermasalahkan posisi utang pemerintah pusat tersebut.
"Jika belanja utang dipakai secara produktif, besaran utang yang nambah tidak perlu dipermasalahkan. Karena semakin besar utang, semakin besar pula benefit untuk ekonomi nasional," tegasnya.
Terkait dengan besaran utang per kapita, Schneider bilang, hanya merupakan ilustrasi terkait magnitude utang tersebut dalam sebuah perekonomian.
"Tapi bukan berarti utang tersebut menjadi utang penduduk atau rakyat Indonesia. Buktinya sampai sekarang saya dan penduduk lain tidak pernah kan ditagih untuk bayar utang," Schneider menerangkan.
Data DJPPR juga menunjukkan bahwa dalam tiga tahun ini, pemerintah sudah membayar kewajiban utang sebesar Rp 613,1 triliun, baik utang dalam negeri maupun utang luar negeri pemerintah pusat.
Rinciannya pada 2014, realisasi pembayaran kewajiban utang sebesar Rp 133,4 triliun, sebesar Rp 156 triliun di 2015, dan sebesar Rp 182,8 triliun di 2016. Sementara dari Januari-Agustus ini, pemerintah sudah membayar utang Rp 140,9 triliun di Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) 2017.
Advertisement