Liputan6.com, New York - Ri Jong-ho adalah pejabat bidang ekonomi yang ditunjuk Kim Jong-il, ayah pemimpin Korea Utara Kim Jong-un. Sebelum membelot, ia bekerja di lembaga rahasia yang dikenal sebagai Office 39, yang berfungsi menjadi 'mesin uang' bagi rezim Korut.
Sebagai sosok yang tahu persis soal kondisi keuangan Korea Utara, Ri mengaku menyaksikan tanda-tanda kelumpuhan ekonomi bekas negaranya. Ia mengatakan, terjangan efek sanksi perdagangan yang diberlakukan PBB terlalu hebat bagi Korut yang terkucil.
"Saya tak tahu apakah Korea Utara akan bisa bertahan dalam waktu setahun akibat hantaman sanksi," kata dia seperti dikutip dari News.com.au, Kamis (19/10/2017). "Banyak orang akan mati akibatnya."
Baca Juga
Advertisement
Ri menambahkan, sanksi yang diberlakukan tahun ini berada pada tingkat berbeda dari sebelumnya. Sebab, China, yang adalah sekutu dekat Korut, menutup semua bisnis milik Pyongyang di negara tersebut. Tak hanya itu, Tiongkok juga nyaris menghentikan suplai produk minyak bumi dan memutus impor tekstil dari Korea Utara.
Akibatnya, pasar untuk Korut terblokir, barang keluar atau pun masuk. Ratusan perusahaan kini terpaksa dihentikan operasinya.
"Dampaknya sangat signifikan, itu mengapa mereka merasa terancam dan meluncurkan rudal," kata Ri.
Pria berkaca mata itu mengatakan, dalam hal aktivitas ekonomi, bisa dibilang, Korut sudah lumpuh.
"Tak ada listrik, rezim membelanjakan uangnya untuk persenjataan militer," kata dia. "Dan jika tak ada tenaga listrik, bagaimana pabrik bisa beroperasi?"
Ri mengatakan, rakyat Korut putus asa menanti pasokan energi. Mereka kembali ke era pertanian yang primitif tanpa listrik. "Ketika melihat Semenanjung Peninsula dari atas, Korea Utara bak noktah hitam. Gelap gulita," tambah dia.
Bahkan sebelum sanksi terbaru PBB diberlakukan, Ri yang mengaku selama bekerja 30 tahun di pusat kebijakan keuangan rezim, ia menyaksikan penurunan ekonomi Korut yang membuat warganya kelaparan.
Pemimpin Tak Becus
Menurut Ri Jong-ho, Kim Jong-il, yang memimpin dari 1997 hingga 2011 tak punya pengetahuan yang baik soal ekonomi.
Bahkan, mundurnya hubungan Korut dengan mitra dagang sekaligus sekutu utamanya, China, dimulai saat Kim menyaksikan tetangganya itu merangkul kapitalisme.
Korut pun beranjak menjauh. Namun, "Kim Jong-il kemudian memutuskan Korut harus membuka diri sampai tingkat tertentu -- bahkan sebuah negara sosialis harus menghasilkan keuntungan -- dan menetapkan beberapa kebijakan. Akan tetapi, aturan dalam rezim Korea Utara tak cocok dengan sistem pasar," kata Ri.
Ia menambahkan, ketidakbecusan Kim Jong-il membuat ekonomi Korut morat-marit.
"Saat Kim Jong-il meninggal, ekonomi pun kolaps," kata Ri. "Orang-orang mulai kelaparan."
Apa yang tak terjadi sama sekali tak sesuai dengan propaganda rezim yang menyebut Korut ada dalam daftar 20 negara dengan pendapatan domestik bruto atau gross domestic product (GDP) tertinggi di dunia.
Hubungan Korut dengan China kian memburuk pada 2014, ketika Presiden Tiongkok Xi Jinping memilih lebih dulu berkunjung ke Korsel, daripada ke Utara.
"Kim Jong-un menganggapnya sebagai penghinaan," kata Ri. Di sisi lain, Beijing tak senang dengan kebijakan Pyongyang yang membangun kekuatan militernya, alih-alih memberi makan rakyatnya yang kelaparan.
"Kini, China memblokade perdagangan, sesuatu yang tak pernah terjadi sebelumnya. Ini adalah titik terburuk dalam hubungan dua negara," kata Ri.
Kim Jong-un memutuskan untuk mengalihkan perdagangannya dari China, ke Rusia dan Asia Tenggara. Namun, berurusan dengan Moskow bukan persoalan gampang.
"Jika Korea Utara membuka diri seperti yang dilakukan China, negara itu tak akan jatuh dalam krisis," kata Ri.
"Dan, apa yang terjadi di Korut menunjukkan betapa pentingnya seorang pemimpin. Dalam kata lain, kepemimpinan Kim Jong-un bisa dikatakan gagal."
Saksikan juga video menarik soal Korut berikut ini:
Jurus Melindungi Rezim
Bicara dalam ajang Asia Society, yang juga dihadiri mantan Perdana Menteri Australia Kevin Rudd, Ri Jong-ho berbagi wawasan tentang perilaku kejam rezim Kim.
Ri memutuskan untuk membelot dari Korut pada 2014. Ia terbang ke Korsel sebelum akhirnya menetap di Amerika Serikat. Keputusan Kim Jong-un untuk mengeksekusi para pejabat tinggi -- termasuk mereka yang loyal pada rezim -- membuatnya kabur.
"Mereka ditembak, hingga jasadnya hancur berkeping, sampai-sampai tak banyak bagian yang tersisa untuk dimakamkan," kata Ri.
Ri juga menyebutkan, provokasi nuklir Kim Jong-un dan uji rudal balistiknya, tak lebih dari upaya Kim untuk melindungi rezimnya dan demi menghentikan invasi Korea Selatan.
"Korut selalu menganggap Korsel sebagai musuh terbesar dan merasa terancam dengan negeri tetangganya."
Karena tak punya kekuatan ekonomi apa pun, rezim Pyongyang memilih membangun kekuatan militernya, sembari menjejali otak warganya dengan propaganda.
Apalagi, membuka keran ekonomi berisiko besar bagi kekuasaan Kim. "Jika mereka membuka pasar, dikhawatirkan hal itu akan menghancurkan rezim kediktatoran mereka," kata Ri.
Rezim Kim Jong-un berdalih, mereka membutuhkan senjata nuklir untuk bertahan. Pun dengan rakyat -- yang dimobilisasi untuk pertahanan, menindak pelanggaran, juga demi politik -- kelanggengan rezim.
Lantas, apakah Korea akan menggunakan rudal dan senjata nuklirnya untuk menyulut perang?
"Berkoar soal perang telah berlangsung puluhan tahun, ini bukan hal baru. Korea Utara bilang ratusan ribu kali bahwa mereka akan meledakkan AS," kata dia.
"Tapi Korea Utara tidak sepadan untuk melawan AS ... Mereka mengembangkan senjata nuklir bukan untuk melawan AS, tapi agar kekuatan mereka lebih besar daripada Korea Selatan."
Advertisement