Pemimpin Oposisi Korsel: Senjata Nuklir Jalan bagi Perdamaian

Pemimpin oposisi Korsel Hong Jun-pyo menilai bahwa negaranya perlu senjata nuklir agar dapat bernegosiasi sejajar dengan Korut.

oleh Khairisa Ferida diperbarui 19 Okt 2017, 16:04 WIB
Kim Jong-un berbincang dengan para peneliti saat meninjau pembuatan bom hidrogen pada 3 September 2017. Bom ini diklaim berkekuatan hingga ratusan kiloton ini dibuat dengan berbagai komponen produksi dalam negeri. (AFP Photo/Kcna Via Kns/Str)

Liputan6.com, Seoul - Korea Selatan membutuhkan senjata nuklir sendiri jika ingin bernegosiasi dalam posisi sejajar dengan Korea Utara. Hal tersebut diungkapkan oleh seorang tokoh oposisi terkemuka Korsel, Hong Jun-pyo.

Sebuah seruan agar Korsel menambahkan senjata nuklir ke gudang persenjataan mereka mendapat momentum dan dukungan dalam beberapa bulan terakhir menyusul perubahan kemampuan nuklir Korut dari ancaman teoretis ke bahaya nyata.

"Hanya dengan menyebarkan senjata taktis (nuklir) di wilayah Korsel, kita bisa bernegosiasi dengan Korut dalam jajaran yang sama," ujar Hong yang memimpin Partai Kebebasan Korea seperti dikutip dari CNN pada Kamis (19/10/2017).

Kubu Hong selama ini berpendapat bahwa Presiden Moon Jae-in dan Partai Demokrat bersikap terlalu lunak terhadap Pyongyang. Moon sendiri dalam sebuah kesempatan pernah menolak kehadiran senjata nuklir di negaranya dan ia memperingatkan bahwa hal itu bisa memicu perlombaan senjata nuklir di Asia Timur Laut.

Namun, Presiden Amerika Serikat Donald Trump yang akan mengunjungi Seoul bulan depan, sempat menyuarakan dukungan bagi Korsel untuk memiliki senjata nuklir. Demikian pula halnya dengan Senator Republik John McCain yang pada September lalu menyatakan bahwa AS harus mempertimbangkan penggunaan senjata nuklir oleh Korsel.

Pekan depan, Hong dikabarkan akan berkunjung ke AS untuk menyuarakan pandangannya. Ia menjelaskan, perjalanannya ke AS "karena putus asa atas apa yang dilakukan Korut dan apa yang dilihatnya sebagai ancaman terhadap keamanan Korsel".

"Yang saya lakukan adalah mencoba menyampaikan pendapat publik Korsel kepada anggota parlemen AS," terang Hong.

Survei Gallup pada September menunjukkan bahwa 60 persen warga Korsel mendukung sejumlah bentuk pengembangan nuklir bagi negara mereka.

Saat ini, Korsel berada di bawah payung nuklir AS, sebuah jaminan bahwa Washington akan membela Korsel jika terjadi serangan.

Namun, pada hari Rabu waktu setempat, Menteri Unifikasi Cho Myoung-gyon kembali menegaskan pandangan Presien Moon.

"Penyebaran nuklir taktis adalah solusi yang tidak mungkin," sebut Cho seraya menambahkan bahwa melakukan hal tersebut sama saja dengan diam-diam menerima pogram nuklir Korut.


Hong Trump

Sementara Presiden Moon Jae-in menentang adanya nuklirisasi lebih lanjut di Semenanjung Korea, Hong justru menggemakan pernyataan Trump dalam kampanye pilpres 2016 agar Korsel dan Jepang mengembangkan persenjataan nuklir.

Gayanya yang blakblakan serta terkadang ofensif membuat sosok politikus berusia 62 tahun tersebut disandingkan dengan Trump. Ia bahkan dijuluki "Hong Trump".

Hong berharap agar dalam kunjungan Trump ke Seoul turut dibahas tentang senjata nuklir. Ia juga menganjurkan agar Trump menyambangi zona demiliterisasi Korsel-Korut (DMZ). Hingga kini, Gedung Putih belum mengungkap secara jelas terkait hal ini.

Namun, meski mendukung kebijakan keras Trump terhadap Korut, Hong tidak menutupi kekhawatirannya tentang potensi konflik tiga negara.

"Saya gugup dan khawatir (saat AS bicara tentang opsi militer. Jika ada keseimbangan nuklir antara Korsel dan Korut maka tidak akan ada perang dan tidak menimbulkan kecemasan".

Sama seperti Trump, Hong pun menuai kritik tajam selama kampanyenya. Itu terkait dengan sikapnya terhadap wanita setelah ia mengatakan bahwa mencuci piring adalah pekerjaan perempuan.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya