Liputan6.com, Jakarta - Masih prematur untuk menakar keefektifan pembentukan Detasemen Khusus (Densus) Antikorupsi. Segala hal terkait rencana ini masih harus dibicarakan di tataran institusi pemerintahan, termasuk soal bentuk dari detasemen tersebut.
Demikian dinyatakan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Wiranto.
Advertisement
"Itu belum dapat kita bincangkan sekarang. Namanya masih prematur, masih usulan. Perbincangan bukan di publik, masyarakat. Perbincangan itu nanti di institusi yang berkait dengan masalah itu dulu," ujar Wiranto di Hotel Borobudur, Jakarta, Kamis, 19 Oktober 2017.
Presiden Joko Widodo atau Jokowi juga belum mengambil sikap terkait wacana pembentukan Densus Antikorupsi. Pembentukan Densus Antikorupsi ini masih harus dibahas dalam rapat kabinet.
Jokowi mengatakan rapat terbatas (ratas) ini akan dilakukan pada pekan depan. "Rencana (Densus Antikorupsi) itu masih usulan. Minggu depan kami bahas dalam ratas," kata Jokowi di Hotel Borobudur, Jakarta Pusat, Kamis.
Sementara, Polri sendiri telah mengajukan surat kepada Presiden tertanggal 25 September 2017 tentang usulan pembentukan Densus Antikorupsi. Kapolri Jenderal Pol Tito Karnavian berharap kehadiran Densus ini dapat memperkuat upaya pemberantasan dan pencegahan korupsi.
Pada paparannya dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi III DPR, Senin, 16 Oktober 2017, Kapolri mengusulkan dua format kelembagaan Densus Antikorupsi.
Pilihan pertama, dengan membentuk sistem satu atap. Pada format ini, Polri, Kejaksaan Agung, dan BPK bergabung dalam Densus Antikorupsi.
"Bentuk kekuatan kolektif kolegial dan sulit diintervensi. Satu bintang dua Polri, satu kejaksaan, satu BPK," ujar Tito.
Opsi lain, unsur Kejaksaan dan Polri berada di lembaga terpisah. Polanya mirip dengan Densus 88 Antiteror dalam penanganan kasus terorisme. Densus Antikorupsi akan langsung berkoordinasi dengan satgas khusus di Kejaksaan yang menangani tipikor.
Yang pasti, Tito mengatakan, kehadiran Densus Antikorupsi bukan bertujuan menegasikan institusi-institusi lain. Terlebih, ujar dia, tidak untuk menyaingi KPK.
"Kasus korupsi luas, sehingga bisa bagi tugas. Bukan menegasikan kejaksaan, karena tetap tangani penyidikan dan penuntutan di luar tim yang dimitrakan bersama dengan Densus," kata Tito.
Menaksir Kebutuhan
Kapolri mengharapkan Densus Antikorupsi dapat secara masif memberdayakan sumber daya manusia penyidik Polri yang berjumlah 446.951 personel di tingkat pusat sampai kewilayahan.
Saat ini penyidik tindak pidana korupsi di Direktorat Tipikor Bareskrim Polri tercatat 82 orang dan 2.878 orang di tingkat kewilayahan yang menempati 484 satuan kerja.
Kapolri Tito menaksir kebutuhan dana sebesar Rp 2.692.668.349.588 untuk densus ini. Adapun jumlah tersebut digunakan untuk belanja pegawai sebesar Rp 786.154.519.440, belanja barang Rp 359.061.083.000, dan belanja modal Rp 1.547.452.747.148.
Alokasi belanja pegawai tersebut, ucap dia, untuk membiayai 3.560 personel. Pembagiannya sendiri akan tersebar ke tiap wilayah yang digolongkan ke dalam tiga tipe.
"Densusnya sendiri ada 651 personel, Satuan Tugas Wilayah terbagi tiga. Wilayah tipe A 780 personel, tipe B 1.232 personel, dan tipe C 897 personel, total 3.560 personel," ujar Tito.
Polri menyiapkan jenderal bintang dua atau inspektur jenderal untuk memimpin Densus Antikorupsi. Pangkat serupa juga diberikan Kepala Densus Antiteror Polri.
"Densus berkedudukan langsung di bawah Kapolri dari tingkat pusat hingga wilayah. Dipimpin jenderal bintang dua," ujar Tito.
Namun, dia menegaskan pembentukan densus ini tidak untuk menyaingi lembaga penegak hukum lain. Polri hanya ingin menghindari bolak-baliknya berkas perkara korupsi yang ditanganinya.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pun tak mempermasalahkan wacana pembentukan Densus Antikorupsi Polri. Walaupun, pola kerja densus ini akan sama dengan KPK.
Wakil Ketua KPK Saut Situmorang mengapresiasi rencana pembentukan Densus Antikorupsi. Dia menilai pembentukan densus tersebut merupakan hal positif.
"Seperti yang saya bilang, itu keren, itu bagus," kata Saut di sela acara Ngamen Antikorupsi di pelataran parkir Stasiun Purwokerto, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, Sabtu, 14 Oktober 2017 malam.
Ketua Umum Partai Golkar, Setya Novanto, juga mendukung pembentukan Densus Antikorupsi. Terlebih, rencana tersebut sudah lama dibahas.
"Tentu kita harapkan densus ini melakukan arti yang sangat positif," kata pria yang akrab disapa Setnov tersebut.
Advertisement
Mematangkan Rencana
Komentar keras tentang wacana pembentukan Densus Antikorupsi berasal dari Wakil Presiden Jusuf Kalla. Pria yang akrab disapa JK ini ingin fokus pemberantasan korupsi dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Dia justru menyarankan agar semua instansi fokus membantu KPK.
"Jadi cukup biar KPK dulu. Toh sebenarnya polisi, kejaksaan juga masih bisa menjalankan tugas, dan itu bisa. Tidak berarti perlu ada tim baru untuk melakukan itu. Tim yang ada sekarang juga bisa," kata JK di kantornya, Jakarta, Selasa, 17 Oktober 2017.
Menurut dia, masih banyak permasalahan di kepolisian yang harus diperbaiki. Terutama masalah korupsi di internal Polri.
Dia juga memiliki kekhawatiran lain jika Densus Antikorupsi terbentuk. Ini berkaitan dengan banyaknya lembaga yang mengawasi korupsi di Tanah Air.
Pemerintah dan birokrasi, saat ini, diawasi enam institusi. Institusi itu adalah inspektorat, BPKP, BPK, Kejaksaan dan KPK.
Dia khawatir jika ditambah satu lagi, aparatur negara, terutama kepala daerah, justru takut mengeluarkan kebijakan.
"Nanti negara terlambat jalannya. Karena ada enam institusi yang memeriksa birokrasi. Mungkin dari seluruh negara, Indonesia yang terbanyak," ucap JK.
Koordinator Divisi Investigasi Indonesia Corruption Watch (ICW), Febri Hendri, pun meminta agar ada kaji ulang terkait rencana ini. Masih banyak hal yang perlu dimatangkan dalam usulan tersebut. Sebab, konsep yang dipaparkan Kapolri dalam RDP Selasa, 18 Oktober 2017 lalu, dinilai dapat memicu masalah yang lebih kompleks.
"Kaji ulang dulu, karena konsep Densus Antikorupsi yang diungkap oleh Kapolri dapat memicu masalah yang lebih kompleks yang mempengaruhi keefektifannya," ujar Febri kepada Liputan6.com.
Masalah itu salah satunya soal bentuk dan kedudukan densus dalam KUHAP. Dia mencontohkan soal posisi Kejaksaan dalam densus. Ada usulan posisinya berada dalam satu atap dengan densus. Namun, ucap dia, hal tersebut tidak sesuai dengan KUHAP.
Selain itu, ada masalah pada budaya bersih dalam Polri. Jika internal Polri belum bersih, pembentukan Densus Antikorupsi tidak akan seefektif KPK.
"KPK kan dari nol, budaya dibentuk dari nol juga. Sementara polisi sudah lama terbentuk. Budaya yang terbentuk itu menghambat efektivitasnya. Seperti bayang-bayang pengaruh politik," jelas Febri.
Dia mengatakan pemangkasan satu generasi untuk pembersihan di kepolisian juga mustahil dilakukan. Dia menilai butuh waktu 20 tahun untuk melakukannya. Sebab, Polri harus memulainya dari tahap perekrutan dan sterilisasi lulusan Akpol.
Akan lebih baik, lanjut dia, jika anggaran Rp 2,6 triliun itu digunakan untuk memperkuat Direktorat Tipikor Polri. Misalkan untuk menaikkan gaji penyidik setingkat penyidik KPK, peningkatan kompetensi personel, dan menambah anggaran penanganan perkara.
Namun, dia mengingatkan agar penguatan serupa dilakukan kepada Kejaksaan Agung. "Jangan sampai ada ketimpangan sosial. Dengan begitu pemberantasan korupsi di Tanah Air dapat efektif," pungkas Febri Hendri.