Liputan6.com, Damaskus - Panglima Angkatan Bersenjata Iran, Mohammad Bagheri mengumumkan telah memperkuat kerja sama militer dengan rezim Presiden Suriah Bashar al-Assad. Pengumuman itu disampaikan bersama dengan Panglima Angkatan Bersenjata Suriah, Ali Ayoub, pada Rabu 18 Oktober 2017.
Dalam sebuah konferensi pers bersama di Damaskus kemarin, Bagheri menjelaskan, "Saya di Ibu Kota Suriah untuk berkoordinasi dan bekerja sama, untuk melawan musuh bersama, entah itu zionis dan teroris. Kami akan mendiskusikan cara untuk memperkuat relasi di masa depan dan merancang prinsip-prinsip dasar untuk kooperasi itu."
Jenderal Bagheri melanjutkan, Tehran tidak akan menolerir pelanggaran kedaulatan Suriah yang dilakukan oleh Israel. Ia juga menekankan, Tehran dan Damaskus akan bersama-sama memerangi musuh Suriah. Demikian seperti dikutip dari Asharq Al Aswat, Kamis (19/10/2017).
Panglima Militer Iran itu juga menyinggung soal referendum kemerdekaan Kurdistan Irak di Irak utara. Ia menyebut, Presiden Daerah Irak Kurdistan "telah melakukan kesalahan serius setelah melakukan referendum di Kurdistan, yakni mengambil langkah untuk mencapai kemerdekaan imajiner yang dapat menyeret daerah tersebut ke konfrontasi di masa depan."
Baca Juga
Advertisement
Sementara itu, Jenderal Ali Ayoub menjelaskan, pembicaraan dengan Bagheri 'mencakup penilaian menyeluruh atas semua perkembangan yang terjadi saat ini.'
Militer Suriah juga akan membahas secara rinci hubungan yang mengikat dan keinginan bersama angkatan bersenjata kedua negara.
"Perang melawan terorisme akan terus berlanjut sampai benar-benar hilang. Militer kedua negara juga akan memulihkan keamanan dan stabilitas ke semua wilayah Republik Arab Suriah," jelas Jenderal Ali Ayoub.
Israel Tolak Kehadiran Permanen Militer Iran di Suriah
Sementara itu, Israel tidak akan mengizinkan kehadiran militer Iran secara permanen di Suriah. Hal tersebut ditegaskan oleh Perdana Menteri Benjamin Netanyahu kepada Menteri Pertahanan Rusia Sergei Shoigu, sehari setelah Israel menghancurkan sebuah peluncur misil-anti serangan udara di Suriah yang menembaki pesawat Israel di Lebanon.
Baik Rusia dan Iran merupakan sekutu utama rezim Presiden Bashar al-Ashar.
Seperti dikutip dari The Jerusalem Post pada Rabu 18 Oktober 2017, menurut kantor Perdana Menteri Israel, pertemuan antara Netanyahu dan Shoigu mayoritas membahas upaya Iran untuk membentuk eksistensi militer permanen di Suriah.
"Iran perlu memahami bahwa Israel tidak akan mengizinkan hal tersebut," tegas Netanyahu kepada Shoigu.
Kesepakatan nuklir Iran dan keputusan Presiden Amerika Serikat Donald Trump yang belum lama ini menolak memberikan sertifikasi atas kesepakatan tersebut, juga turut dibahas dalam pertemuan keduanya.
Netanyahu pun menegaskan kembali posisi Israel yang meyakini bahwa jika kesepakatan tersebut tidak diubah, maka Iran akan mampu menghasilkan senjata nuklir dalam waktu delapan sampai 10 tahun mendatang.
Sementara itu, media Rusia yang mengutip pernyataan Wakil Menteri Pertahanan Alexander Fomin mengatakan, pasca-pertemuan Netanyahu dan Shoigu muncul keyakinan bahwa tatap muka yang dilakukan di Israel itu akan lebih mendorong pengembangan kerja sama kedua negara.
Fomin juga menuturkan bahwa dalam pertemuan tersebut, kedua negara mendiskusikan penolakan mereka terhadap antisemitisme, pemalsuan sejarah Perang Dunia II, dan pengabaian atas peran Uni Soviet dalam mengalahkan Nazi.
Pejabat diplomatik mengatakan, pengakuan Israel atas peran penting Tentara Merah dalam menaklukkan Nazi telah menjadi kunci dalam pengembangan hubungan kuat kedua negara. Karena selama ini Moskow merasa upayanya dan pengorbanannya atas kekalahan Nazi telah diremehkan Barat.
Pada tahun 2012, Israel mendedikasikan sebuah monumen bagi Tentara Merah di Netanya. Ini merupakan satu-satunya langkah yang dilakukan oleh negara di luar pecahan Uni Soviet.
Selama kunjungan perdananya ke Israel, Shoigu juga bertemu dengan mitranya, Menteri Pertahanan Avigdor Liberman pada Senin malam waktu setempat. Dalam kesempatan tatap muka itu, Shoigu menjelaskan bahwa operasi Rusia di Suriah "hampir selesai". Namun, ia menekankan ada banyak persoalan yang harus ditangani.
Campur tangan Moskow dalam perang sipil di Suriah bermula pada September 2015. Sejak saat itu pula, pejabat Israel dan Rusia telah mengadakan pertemuan reguler untuk membahas mekanisme dekonstruksi demi memastikan bahwa pasukan Israel dan Rusia tidak bentrok di Suriah.
Shoigu berharap kunjungannya ke Israel akan membantu lebih memahami satu sama lain dan berkontribusi memperkuat hubungan antar angkatan bersenjata kedua negara.
"Seiring dengan meningkatnya aktivitas terorisme, masyarakat internasional perlu tetap bersatu untuk berjuang melawan kejahatan ini," ungkap Menhan Rusia itu.
Advertisement